Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Minggu, 15 April 2012

Ditulis oleh Sirul Barokah(Adam Sutawijaya) - GAMBARAN TENTANG NAFS DALAM DIRI MANUSIA -( 7 kota/wilayah Nafs dalam diri manusia ) oleh : As Syaikh Bahauddin An Naqsyabandi ra - Pendiri dan Al Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah. Beliau, As Syaikh Bahauddin An Naqsyabandi ra - menggambarkan setiap stasiun di dalam diri manusia sebagai kota/wilayah, satu sama lainnya saling menempati. Bacalah dengan membawa diri kita sebagai pelaku pengembara dalam setiap Kota/Wilayah yang digambarkan, agar kita mendapatkan makna didalamnya untuk diri kita sendiri, sehingga kita dapat mengetahui dimanakah kita sekarang ini berada. Bagian I - NAFS TIRANI ... Bagaikan dalam mimpi, aku tiba pada sebuah kota yang gelap. Kota tersebut sangatlah luas, aku tidak dapat melihat maupun membayangkan batasnya. Kota tersebut dihuni oleh manusia dari berbagai bangsa dan ras. Seluruh perilaku buruk dari setiap mahluk hidup, seluruh dosa, baik yang kuketahui maupun yang tidak berada di sekelilingku. Apa yang kuamati membawaku pada pemikiran bahwa sejak semula cahaya matahari kebenaran tidak pernah menyinari kota ini. Tidak hanya langit, jalan-jalan, maupun rumah-rumah di kota tersebut berada di dalam gelap gulita, tetapi para penduduknya, yang bagaikan kelelawar, memiliki pikiran dan hati segelap malam. Sikap amaliah dan perilaku mereka bagaikan anjing liar. Bergumul dan berkelahi satu sama lainnya untuk sesuap makanan, terobsesi oleh nafsu buruk dan amarah, mereka saling menghancurkan dan membunuh. Kesenangan utama mereka hanyalah bermabuk- mabukkan dan melakukan hubungan seks tanpa membedakan laki-laki dan wanita, isteri dan suami, atau yang lainnya. Berbohong, berbuat curang, bergunjing, memfitnah, dan mencuri adalah tradisi mereka, tanpa sedikitpun perduli terhadap orang lain. Mereka sama sekali tidak memiliki kesadaran dan rasa takut kepada Tuhan. Banyak di antara mereka menyebut dirinya sebagai Muslim. Bahkan, sebagian dari mereka dianggap sebagai orang bijak seperti para Syaikh, Guru, Cendikiawan dan Penceramah. Penduduk kota ini memberitahu kepada ku bahwa kota ini bernama "KOTA/WILAYAH AMARAH", kota kebebasan, tempat setiap orang melakukan apa yang mereka sukai. Aku menanyakan pula siapa nama penguasa kota tersebut. Penduduk kota ini berkata bahwa sang penguasa kota ini bernama "YANG MULIA KEPANDAIAN", ia seorang Astrolog, Ahli Sihir, Insinyur, Ahli Fiqih, Dokter yang memberikan kehidupan pada seseorang yang akan meninggal dunia, seorang Raja terpelajar yang terpandai dan tidak ada duanya di dunia ini, orang-orang Jenius, Profesor, Doktor, Analis, Presiden, Pejabat, dsb. Para Penasehat dan Menterinya disebut "LOGIKA", para Hakimnya bergantung kepada "HUKUM RASIONALITAS KUNO", para Pelayannya disebut "IMAJINASI DAN KHAYALAN". Seluruh penduduknya sepenuhnya setia kepada penguasanya, tidak hanya menghormati dan menghargainya serta setia kepada pemerintahannya, tetapi juga mencintainya, sebab mereka semua merasakan persamaan sifat, adat istiadat dan perilaku. Aku pergi menemui sang penguasa "YANG MULIA KEPANDAIAN", dan memberanikan diri untuk bertanya,"bagaimana mungkin para penduduk yang berpengetahuan dari kerajaanmu ini tidak berkelakuan sesuai dengan pengetahuan mereka dan tidak merasa takut terhadap Tuhan ?, bagaimana mungkin tidak seorang pun di kota ini takut terhadap hukuman Tuhan, sementara mereka takut akan hukuman dari mu ?, bagaimana mungkin rakyatmu berperawakan layaknya seorang manusia, namun sifat mereka bagaikan bianatang buas dan liar, dan bahkan lebih buruk lagi ?" "YANG MULIA KEPANDAIAN" menjawab, "Aku.. seorang yang mampu mengusahakan keuntungan pribadi dari dunia ini, walaupun keuntunganku adalah kerugian bagi mereka, dan itu adalah teladan bagi mereka. Aku memiliki utusan di dalam diri mereka masing-masing. Mereka adalah hamba- hambaku, dan hamba-hamba dari para utusanku yang berada di dalam diri mereka, namun aku juga memiliki seorang guru yang membimbingku, dialah IBLIS. Bagian II - NAFS YANG PENUH PENYESALAN ... Aku yang melalui kota/wilayah NAFS TIRANI memohon kepada sang Raja "YANG MULIA KEPANDAIAN" untuk diizinkan mendatangi sebuah wilayah dengan sebuah istana besar yang berada di tengah kota. Sang Raja "YANG MULIA KEPANDAIAN" menjawab,"Aku juga berkuasa atas wilayah istana tersebut. Wilayahnya disebut "PENYESALAN". Di dalam wilayah "PENYESALAN", imajinasi tidak memiliki kekuatan mutlak. Mereka juga melakukan apa yang disebut sebagai dosa. Mereka melakukan perzinaan, mereka memuaskan syahwat/seks mereka, baik dengan laki-laki maupun perempuan, mereka minum khmar/alkohol, mereka berjudi, mencuri, membunuh, bergunjing, dan memfitnah sebagaimana penduduk "NAFS TIRANI", namun sering juga mereka menyadari perbuatan mereka, kemudian mereka menyesal dan bertaubat. Aku bertemu dengan seorang cedikiawan di wilayah ini, ia menegaskan bahwa mereka berada di bawah kekuasaan "YANG MULIA KEPANDAIAN", namun mereka memiliki administrator- administrator sendiri, yang bernama "KEANGKUHAN, KEMUNAFIKAN DAN FANATISME". Di antara para penduduk banyak yang tampak seakan-akan suci, taat, soleh dan lurus. Aku mendapati mereka dicemari oleh keangkuhan, egoisme, dengki, ambisi, kefanatikan, dan di dalam persahabatan mereka ada ketidak tulusan, yang terbaik dari mereka adalah bahwa mereka berdoa dan berusaha mengikuti perintah Tuhan, karena mereka takut akan hukuman Tuhan dan takut pula akan Neraka. Setelah menyusuri wilayah itu, aku melihat lagi sebuah wilayah dengan sebuah istana lain lagi, aku bertanya mengenai istana tersebut kepada salah seorang penduduk yang terpelajar. Ia mengatakan bahwa wilayah istana tersebut di kenal sebagai wilayah "CINTA DAN ILHAM". Saya bertanya mengenai siapakah penguasa wilayah tersebut, dikatakannya bahwa penguasanya bernama "YANG MULIA KEARIFAN" yang memiliki seorang wakil yang bernama "CINTA". Penduduk terpelajar tersebut berkata,"Jika salah satu dari kami memasuki wilayah CINTA DAN ILHAM tersebut, maka kami tidak menerimanya kembali ke kota/wilayah kami. Karena siapapun yang telah pergi dan masuk kesana akan berubah layaknya para penduduk wilayah itu, siapapun akan sepenuhnya terikat pada wakil penguasa wilayah itu, dan siap mengorbankan apapun terhadap seluruh yang mereka miliki, harta kekayaan mereka, keluarga serta anak-anak mereka, bahkan kehidupan mereka. Itu semua demi sang wakil penguasa wilayah itu yang bernama CINTA." Ia melanjutkan,"Raja kami, YANG MULIA KEPANDAIAN, melihat bahwa sifat-sifat tersebut sama sekali tidak dapat diterima. Ia takut akan pengaruh dari mereka yang memiliki sifat-sifat tersebut, karena baik kesetiaan maupun tindakan mereka tampak tidak logis dan tidak diterima oleh akal sehat." Sang Raja berujar,"Kami mendengar bahwa penduduk wilayah CINTA DAN ILHAM tersebut menyebut-nyebut nama Tuhan, bersenandung, dan bernyanyi, bahkan di iringi oleh seruling, rebana, dan gendering, dan mereka melakukan hal tersebut hingga kehilangan kesadaran mereka dan masuk ke dalam Ekstase (para darwis/sufi yang bersenandung memuji Tuhan). Maka, para pimpinan Keagamaan dan Teologis kami melihat bahwa hal tersebut tidaklah dapat diterima. Karenanya, tidak satu pun dari mereka yang bahkan bermimpi untuk menginjakkan kaki di wilayah CINTA DAN ILHAM" Bagian III - NAFS YANG TERILHAMI ... Wilayah "CINTA DAN ILHAM" adalah sebuah wilayah yang kompleks, dengan wilayah positif dan negatif. Egoisme dan kemunafikan masih merupakan hal yang sangat berbahaya pada tingkat ini. Aku memasukinya, dengan semata-mata mengucapkan kalimat "Laa Ilaaha Ilallah - Tiada Tuhan Selain Allah". Tak lama kemudian, aku menemukan pondokan para darwis/sufi. Di tempat tersebut aku melihat golongan atas dan bawah, kaya dan miskin, seolah-olah satu. Aku melihat mereka saling mencintai dan menghargai, melayani satu sama lain dengan hormat dan santun, dalam keadaan gembira yang tak ada hentinya. Mereka berbincang-bincang dan bernyanyi, nyanyian dan perkataan mereka memikat hati, indah dan selalu berkenaan dengan Tuhan, alam akhirat, spritualis dan lepas dari segala kecemasan dan penderitaan, bagaikan hidup di alam surga. Aku tidak mendengar atau melihat apapun yang menyerupai perselisihan ataupun pertengkaran, tida ada yang membahayakan ataupun merusak. Tidak ada tipu daya ataupun kedengkian, kecemburuan, maupun gunjingan. Aku tiba-tiba merasakan kedamaian, kenyamanan dan kebahagiaan di tengah-tengah mereka. Aku melihat seorang tua, kepekaan dan kearifan memancar melalui matanya. Aku tertarik padanya dan kemudian menghampirinya, "Sahabat, aku seorang pengembara yang papa, dan dalam keadaan sakit, yang sedang mencari obat penyakit kegelapan dan kealpaan. Adakah seorang dokter di wilayah ini yang dapat menyembuhkan diriku ini ?". Ia terdiam sejenak, aku menanyakan namanya, ia menyebut namanya sebagai "PETUNJUK". Kemudian ia berkata, "Nama kecilku KEBENARAN, sejak zaman dahulu, tidak satu pun kebohongan keluar dari bibirku, tugas dan wewenangku adalah menunjukkan jalan kepada mereka dengan tulus mencari kebersamaan dengan YANG MAHA TERCINTA." Sang orang tua tadi kemudian menggambarkan pada ku mengenai wilayah KAUM PENIRU yang berada di dalam wilayah ini. Ia berkata,"inilah wilayah kaum munafik, yang menirukan bentuk luar dari pemujaan dan ajaran spiritual tanpa pemahaman batiniah. Dokter ahli yang engkau cari guna menyembuhkan penyakitmu itu tidak berada di wilayah ini. Tidak pula toko obat yang menyediakan obat untuk penyakit lalai, kegelapan hati, mereka sendiri disini sebenarnya sakit dengan penyakit diri mereka sendiri. Mereka menyebut diri mereka sebagai Kekasih Tuhan, namun hanya menjadi Tuan Peniruan." "Mereka menyembunyikan tipu daya, sikap munafik, dan kedengkian dengan sangat baik. Walaupun lidah mereka tampak mengucapkan doa-doa dan nama-nama Tuhan, dan engkau kerap menemukan mereka berada di tengah kumpulan para darwis/sufi. Engkau tidak akan menemukan pada mereka obat untuk menyembuhkan penyakit kelalaian dan kealpaan." Bagian IV - NAFS YANG TENTRAM ... (dalam manuskrip beliau - As Syaikh Bahauddin An Naqsyabandi ra menggambarkan Orang Tua yang ditemukan oleh pengembara pada Bagian III - NAFS YANG TERILHAMI adalah bahasa lain dari seorang Syaikh Mursyid/Waliyam Mursyida, yang dinamakan juga sebagai PETUNJUK. Beliau juga memberikan catatan bahwa pekerjaan lain yang diperlukan dalam tingkat wilayah ke IV ini adalah dengan mengurangi perasaan terpisah dari Tuhan dan mulai menyatukan beragam kecenderungan yang telah dibangun. ) Orang Tua itu mengirim aku untuk memasuki wilayah NAFS YANG TENTRAM, wilayahnya Para Pejuang Spiritual. Aku mengikuti nasehatnya dan pergi ke wilayah itu. Orang-orang yang kutemui di sana berperawakan kurus dan lemah, lembut, bijaksana, bersyukur, taat beribadah, patuh, berpuasa, merenung dan bermeditasi. Kekuatan mereka terletak pada pengamalan akan hal-hal yang mereka ketahui. Aku mendekati mereka, dan melihat bahwa mereka telah meninggalkan sifat- sifat buruk akibat sifat-sifat mementingkan diri sendiri, dan dari bayangan-bayangan alam bawah sadar mereka. Aku ikut bertempur dengan Egoku siang dan malam, namun tetap saja aku menjadi seorang Politeisme yang banyak "Diriku" dan "Aku" yang saling bertengkar walaupun menghadap kepada Tuhan Yang Satu. Hal ini, yakni penyakitku yang menjadikan banyaknya "Aku" sebagai mitra Tuhan, membentuk bayangan yang tebal di atas hatiku, menyembunyikan kebenaran, dan membuatku terjebak di dalam kelalaian yang fatal. Aku memberitahu mereka - Para Pejuang di wilayah ini, yang kuanggap sebagai Dokter, mengenai penyakitku, yakni Politeisme yang tersembunyi, kelalaian yang fatal dan memprihatinkan serta kegelapan hati, aku pun meminta pertolongan mereka. Mereka berkata kepadaku, "Bahkan di wilayah ini, tempat orang-orang bertempur dengan ego mereka, tidak ada obat bagi penyakitmu itu." Mereka menyarankan aku untuk tetap terus berjalan, menuju ke wilayah yang bernama Permohonan dan Tafakur (NAFS YANG RIDHA). Mungkin saja di sana, menurut mereka, akan ada orang yang dapat menyembuhkan penyakitku. Dengan izin dari Orang yang telah kutemukan sebelumnya, aku pun melanjutkan perjalan menuju wilayah yang disarankan oleh orang- orang di wilayah ini. Bagian V - NAFS YANG RIDHA ... Aku memasuki wilayah "NAFS YANG RIDHA" atau dengan nama lain wilayah "MEDITASI (TAFAKUR)". Ketika aku sampai di sana, aku melihat para penduduknya terlihat demikian tenang dan damai, mengingat Tuhan secara terus menerus, melantunkan nama-nama Nya yang indah dan agung. Perilaku mereka begitu lembut dan penuh sopan santun. Mereka hampir tidak pernah berbicara sebab takut akan saling mengganggu dalam melakukan meditasi yang khusyuk. Mereka begitu ringan bagaikan bulu burung, namun mereka takut akan membebani orang lain. Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun di wilayah ini, akan tetapi, aku belum juga sembuh dari penyakit Dualisme "AKU" dan "DIA" yang masih membentuk bayangan tebal di atas hatiku. Air mataku mengalir deras. Dalam keadaan teramat sedih, lemah, dan sangat terpesona, aku terjatuh dalam suasana yang aneh, ketika lautan kesedihan terasa menyeliputi dan mengelilingi ku. Saat aku berdiri dengan perasaan tidak berdaya, sedih, tak sadar, muncullah seseorang yang tampak amat Tampan bermandikan cahaya. Ia menatapku dengan mata yang penuh kasih sayang dan berkata kepadaku : "wahai budak dirinya yang papa, yang dalam pengasingan di tanah yang asing.. wahai pengembara yang jauh dari kampung halaman, wahai engkau yang berduka, engkau tidak akan menemukan obatmu di wilayah ini. Tinggalkanlah tempat ini, pergilah ke wilayah nun jauh lagi di sana. Nama wilayah itu adalah wilayah "PENAFIAN DIRI (FANA')". Di sana engkau akan menemukan obat yang engkau cari, Dokter yang telah menafikan diri mereka.." "Mereka tidak memiliki raga, yang mengetahui rahasia "Jadilah Tiada, Jadilah Tiada, Jadilah Tiada, maka Kau akan Ada, Kau akan Ada, Kau akan Ada, maka Kau menjadi Ada selamanya.." Bagian VI - NAFS YANG RIDHAI TUHAN ... Segara aku berangkat menuju wilayah "PENAFIAN DIRI(FANA')". Aku melihat para penduduknya membisu, terdiam seolah-olah mati, tanpa kekuatan di dalam dirinya untuk melontarkan sepatah kata pun. Mereka telah meninggalkan harapan untuk memperoleh keuntungan dari berbicara, dan siap menyerahkan jiwa mereka pada malaikat maut. Mereka sama sekali tidak perduli dengan keberadaanku. Bahkan, di tempat itu, di tengah-tengah mereka, aku merasakan penderitaan yang pedih. Namun, ketika aku hendak menggambarkan gejala penyakitku ini, aku tidak dapat menemukan raga ataupun eksistensi yang dapat kukatakan sebagai "ini tubuhku" atau "ini aku". Kemudian, aku tahu bahwa untuk mengatakan "raga ini milikku", adalah sebuah kebohongan, dan berbohong adalah dosa bagi setiap manusia. Dan aku tahu bahwa bertanya mengenai Pemilik Sejati apa yang disebut sebagai "milikku" adalah syirik yang tersembunyi yang justeru ingin kulenyapkan dari diriku. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan ? Aku merasa putus asa, jika kaku harus berdoa kepada-Nya dan berkata "Ya Tuhan", maka akan ada dua "Aku dan Dia", zat yang pada-Nya aku memohon pertolongan atas kehendak yang dikehendaki, hasrat yang dihasrati, pecinta dan yang dicintai, sungguh begitu banyak. Aku tidak mengetahui obatnya. Ratapan tersebut membuat iba Malaikat Pemberi Ilham, yang membacakan padaku KITAB ILHAM TUHAN, "mula-mula fana'kanlah tindakan- tindakanmu". Ia memberikan itu sebagai hadiah. Ketika ku ulurkan tangan untuk menerima hadiah itu, kulihat tiada tangan. Ia hanyalah campuran air, tanah, angin dan api. Aku tidak memiliki tangan untuk mengambil hadiah itu. Aku tidak memiliki kekuatan untuk bergerak. Hanya satu yang memiliki kekuatan, yaitu YANG MAHA KUAT. Tindakan apapun yang muncul melaluiku, maka ia adalah milik YANG MAHA KUASA. Seluruh kekuatan, seluruh tindakan, kuserahkan kepada- Nya, dan kuserahkan segala yang terjadi padaku dan melaluiku di dunia ini. Kemudia aku berdoa untuk meninggalkan sifat- sifatku, yakni sifat-sifat yang membentuk kepribadian seseorang. Ketika aku lihat, apa yang aku saksikan bukanlah milikku. Ketika aku bicara, apa yang kukatakan bukanlah pula milikku. Tak satupun adalah milikku. Sama sekali tidak berdaya, aku dilepaskan dari seluruh sifat, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, yang membedakan aku dari sifat-sifat luar dan dalam yang telah menjadikan diriku sebagai "Diriku". Dengan seluruh raga, perasaan dan ruhku, aku menganggap diriku sebagai sesuatu yang suci. Kemudian aku merasa bahwa ini adalah "DUALITAS" , bahwa bahkan esensiku telah diambil dariku, aku masih saja menginginkan dan mengharapkan diri-Nya. Aku merasakan makna dari "mereka yang mengharapkanku adalah hambaku yang sejati". Wahai Tuhan Yang Maha Meliputi Segala Sesuatu, yang Terdahulu dari yang terdahulu, Terkini dari yang terkini serta atas semua yang wujud dan yang tersembunyi, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Semuanya menjadi wujud di dalam misteri hatiku. Bahkan, setelah itu aku berharap bahwa misteri "MATI SEBELUM MATI" mewujud dalam diriku. Ooh.. terkutuklah, kembali "DUALITAS" yang tersembunyi dariku muncul di dalam diriku. Hal ini juga tentunya bukanlah kebenaran. Bagian VII - NAFS YANG SUCI ... Segelintir orang yang mencapai tingkat pada wilayah ini, yang telah melampaui diri secara utuh. Tidak ada lagi ego ataupun diri. Yang tertinggal hanyalah kesatuan dengan Tuhan. Inilah kondisi yang dinamakan "MATI SEBELUM MATI". Penyakit apakah yang menyebabkan rasa sakit yang pedih ketika aku bergerak, mengharap, memohon pertolongan, berdoa dan mengiba ?. Kondisi aneh apakah yang di dalamnya aku terjerumus, yang sulit untuk dijelaskan ?. Merasa tak berdaya, aku menyerahkan semua ini kepada Pemiliknya dan menanti di Pintu Gerbang Kepasrahan, di dalam perihnya Kematian, lumpuh, tanpa Pikiran ataupun Perasaan, seolah-olah Mati, mengharapkan Kematian menjemputku pada setiap hembusan nafasku. Menurut nasehat,"Mintalah fatwa pada hatimu", aku menyuruh hatiku untuk membimbingku, Ia berkata,"Selama masih ada jejakmu di dalam dirimu, kau tidak akan mendengar seruan dari Tuhanmu "Datanglah kepadaKu". Aku mencoba berfikir,"Pikiranku tidak dapat berpikir, akhirnya aku tahu, pemikiran tidak dapat menjangkau Misteri Ilahiah. Bahkan, pengetahuan tersebut tercabut begitu saja, ketika DIA datang kepadaku. Beliau - As Syaikh ra menutup : "Wahai Para Pencari !, apa yang kukatakan di sini tidaklah untuk memamerkan yang kuketahui. Karenanya, ia akan diberitakan kepadamu hanya setelah aku tiada diantara kalian." "Ia diperuntukkan bagi para Pencari Kebenaran, Para Pecinta yang mendamba YANG MAHA TERCINTA, sehingga mereka dapat menemukan di dalam kota/wilayah manakah mereka berada, dan penduduk kota/wilayah manakah yang menjadi kawan mereka." "Ketika, dan jika tulus, mereka memahami tempat mereka, mereka akan beperilaku sesuai denganya, dan mengetahui arah gerbang kenikmatan bersama Tuhan, untuk kemudian ber SYUKUR kepada Nya." - SELESAI -

Senin, 02 Januari 2012

RINGKASAN PENGAJIAN AL-HIKAM 1 JAN 2012

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Ringkasan ini dikutip dari konco-konco,bukan resmi dari Ponpes/YPW,Mohon dimaafkan segala salah dan khilaf.

1. Hinaan orang lain kepada kita adalah akibat dosa
yang telah kita lakukan.


2. Haqiqat sanjungan orang kepada kita adalah
haqiqat menyanjung Alloh swt mlalui perantara
manusia ibarat orang menyanjung jahitan baju
yang bagus haiqatnya adalah menyanjung yang
menjahit pakaian


3. Maqom farqu adalah kita hanya bisa ma'rifat/
melihat Alloh saja, makhluk tidak tampak


4. Maqom jam'u adalah kita ma'rifat/melihatAlloh
dan juga bisa melihat makhluk dan disertai dengan
adab(hubungan sosial yg baik)


5. jika belum bisa menerapkan Billah maka tidak
akan bisa menerapkan puji yang jumlahnya ada 4


* sebarkan dengan pengamal wahidiyah yang tidak
bisa hadir dikedunglo
Al Munadhdhoroh


sumber: kamar siaran/Jampeng/M2

Semoga bermanfaat,jazaakumulloh wassalam

Selasa, 22 November 2011

MengenalTasawuf Akhlaqi dan‘Amali

Allah menciptakan manusia di muka bumi
adalah untuk menjadi kholifah atau
pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas
dari fitrahnya ini, Allah SWT
menganugrahkan dua potensi penting
dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu.
Allah SWT memberikan akal kepada
manusia agar mereka mampu dan dapat
membedakan mana yang baik dan mana
yang benar, dalam bertindak, bertingkah
laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara
nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat
pekerjaan yang dilakukan oleh akal.
Sehingga, nafsu ini dapat menjadi nafsu
yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk
menghindar dari perbuatan-perbuatan
yang tercela dan membawa dosa, dan
nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih
untuk melakukan perbuatan-perbuatan
dosa dan salah.
Para ahli sufi memiliki pendapat bahwa
hawa nafsu dapat menjadi tabir
penghalang untuk dapat dekat dengan
Allah SWT. Hal yang seperti ini akan terjadi
ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh
hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini
akan membawa manusia cenderung
memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada
akhirnya bukanlah kenikamtan kehidupan
akherat yang dijadikan tujuan utama dalam
hidup, melainkan kenikmatan dunia lah
dijadikan tujuan utama dalam mencapai
keberhasilan hidun
Dalam kitab Ma’rifat Ghubahan Ihsanuddin
dinukilkan ungkapan para ahli sufi : Jalan-
jalan menuju Allah itu sebanyak bintang-
bintang di langit, atau sebanyak bilangan
nafas manusia. [1] Salah satu dari jalan itu
adalah dengan mengendalikan hawa nafsu.
Bila hawa nafsu ini dapat dikendalikan,
maka ia tidak akan membawa diri manusia
kedalam kesesatan. Para ahli sufi
beranggapan bahwa, dengan
mengendalikan hawa nafsu berarti
manusia tengah dalam upaya pembersihan
jiwa yang dapat menuntunnya untuk dekat
kepada Allah SWT.
Pada hakekatnya, para kaum sufi telah
membuat sebuah sistem yang tersusun
secara teratur yang berisi pokok-pokok
konsep dan merupakan inti dari ajaran
tasawuf. [2] Diantaranya adalah, Takhalli,
Tahalli, Tajalli, Munajat, Muroqobah,
Muhasabah, Syari ’at, Thariqat, dan Ma’rifat
yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf
yakni mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya.
A. TASAWUF AKHLAQI
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang
menerangkan sisi moral dari seorang
hamba dalam rangka melakukan taqorrub
kepada tuhannya, dengan cara
mengadakan Riyyadah [3] pembersihan diri
dari moral yang tidak baik, karena tuhan
tidak menerima siapapun dari hamba-Nya
kecuali yang berhati salim (terselamatkan
dari penyakit hati). [4] Isi dari ajaran
Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli,
Tajalli, Munajat, Murroqobah,
memperbanyak dzikir dan wirid,
mengingat mati, dan tafakkur.
1. Takhalli
Takhalli atau penarikan diri berati menarik
diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang
merusak hati. Definisi lain mengatakan
bahwa, Takhalli adalah membersihkan diri
sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran atau
penyakit hati yang merusak. [5] Takhalli
juga berarti mengosongkan diri sikap
ketergantungan terhadap kelezatan
duniawi. [6]
Dari definisi takhali di atas, dapat dinyatakan
bahwa takhalli ini dapat dicapai dengan
menjauhkan diri dari kemaksiatan,
kelezatan atau kemewahan dunia, serta
melepaskan diri dari hawa nafsu yang
jahat, yang kesemuanya itu adalah
penyakit hati yang dapat merusak. Menurut
kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua,
yakni maksiat lahir dan maksiat batin. [7]
Maksit lahir adalah segala bentuk maksiat
yang dilakukan atau dikerjakan oleh
anggota badan yang bersifat lahir.
Sedangkan maksiat batin adalah berbagai
bentuk dan macam maksiat yang dilakukan
oleh hati, yang merupakan organ batin
manusia.
Pada hakekatnya, maksiat batin ini lebih
berbahaya dari pada maksiat lahir. Jenis
maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh
manusia karena jenis maksiat ini adalah
jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak
seperti maksiat lahir yang cenderung
sering tersadari dan terlihat. Bahkan
maksiat batin dapat menjadi motor bagi
seorang manusia untuk melakukan maksiat
lahir. Sehingga bila maksiat batin ini belum
dibersihkan atau belum dihilangkan, maka
maksiat lahir juga tidak dapat dihilangkan.
Kelompok sufi beranggapan bahwa
penyakit-penyakti dan kotoran hati yang
sangat berbahaya tersebut dapa menjadi
hijab [8] untuk dapat dekat dengan tuhan.
Sehingga agar mudah menerima pancaran
Nur Illahi dan dapat mendekatkan diri
dengan tuhan maka hijab tersebut haruslah
dihapuskan dan dihilangkan. Yakni, dengan
berusaha membersihkan hati dari penyakit-
penyakit hati dan kotoran hati yang dapat
merusak. Upaya pembersihan hati ini dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menghayati segala bentuk ibadah,
agar dapat memahaminya secara
hakiki
2. Berjuang dan berlatih
membebaskan diri dari kekangan
hawa nafsu yang jahat dan
menggantinya dengan sifat-sifat
yang positif.
3. Menangkal kebiasaan yang buruk
dan mengubahnya dengan
kebiasaan yang baik.
4. Muhasabah, yakni koreksi
terhadap diri sendiri tentang
keburukan-keburukan apa saja
yang telah dilakukan dan
menggantinya dengan kebaikan-
kebaikan.
2. Tahalli
Secara etimologi kata Tahalli berarti berhias.
Sehingga Tahalli adalah menghiasi diri
dengan sifat-sifat yang terpuji serta
mengisi diri dengan perilaku atau
perbuatan yang sejalan dengan ketentuan
agama baik yang bersifat lahir maupun
batin. Definisi lain menerangkan bahwa
Tahalli berarti mengisi diri dengan perilaku
yang baik dengan taat lahir dan taat batin,
setelah dikosongkan dari perilaku maksiat
dan tercela. [9] Diterangkan pula bahwa
Tahalli adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap
serta perbuatan yang baik. [10]
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa
yang telah dikosongkan pada tahap
Takhalli. [11] Dengan kata lain, Tahalli adalah
tahap yang harus dilakukan setelah tahap
pembersihan diri dari sifat-sifat, sikap dan
perbuatan yang buruk ataupun tidak
terpuji, yakni dengan mengisi hati dan diri
yang telah dikosongkan aatu dibersihkan
tersebut dengan sifat-sifat, sikap, atau
tindakan yang baik dan terpuji. Dalam hal
yang harus dibawahi adalah pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik setalah jiwa
dibersihkan dan dikosongkan dari hal-hal
yang buruk bukan berarti hati harus
dibersihkan dari hal-hal yang buruk terlebih
dahulu, namun ketika jiwa dan hati
dibersihkan dari hal-hal yang bersifat kotor,
merusak, dan buruk harus lah diiringi
dengan membiasakan diri melakukan hal-
hal yang bersifat baik dan terpuji. Karena
hal-hal yang buruk akan terhapuskan oleh
kebaikan.
Pada dasarnya, jiwa manusia dapatlah
dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk
sesuai dengan kehendak manusia itu
sendiri. [12] Dengan kata lain sikap, atau
tindakan yang dicerminkan dalam bentuk
perbuatan baik yang bersifat lahir ataupun
dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah
kebiasaan dan dibentuk menjadi sebuah
kepribadian. Sehingga, pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik itu diawali
dengan melatih diri dengan melakukan hal-
hal yang baik, sehingga lama kelamaan hal-
hal yang baik tersebut akan berubah
menjadi kebiasaan, dan apabila secara
berkelanjutan dilakukan hal-hal yang baik
tersebut akan terbentuk menjadi suatu
kebiasaan.
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan
sifat-sifat Allah. Yaitu menghiasi diri dengan
sifat-sifat yang terpuji. Apa bila jiwa dapat
diisi dan dihiasi dengan sifat-sifat yang
terpuji, hati tersebut akan menjadi terang
dan tenang, sehingga jiwa akan menjadi
mudah menerima nur Illahi karena tidak
terhijab atau terhalang oleh sifat-sifat yang
tercela dan hal-hal yang buruk Hal-hal yang
harus dimasukkan, yang meliputi sikap
mental dan perbuatan luhur itu adalah
seperti taubat, sabar, kefakiran, zuhud [13],
tawakal[14], cinta, dan ma’rifah[15].[16]
3. Tajalli
Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh
oleh seorang hamba ketika ia sudah
mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli.
Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya
hijab dari sifat kemanusiaan atau
terangnya nur yang selama itu
tersembunyi atau fana segala sesuatu
selain Allah, ketika nampak wajah Allah.[17]
Tahap Tajalli di gapai oleh seorang hamba
ketika mereka telah mampu melewati tahap
Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk
menempuh tahap Tajalli seorang hamba
harus melakukan suatu usaha serta latihan-
latihan kejiwaan atau kerohanian, yakni
dengan membersihkan dirinya dari
penyakit-penyakit jiwa seperti berbagai
bentuk perbuatan maksiat dan tercela,
kemegahan dan kenikmatan dunia lalu
mengisinya dengan perbuatan-perbuatan,
sikap, dan sifat-sifat yang terpuji,
memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah,
memperbanyak ibadah dan menghiasi diri
dengan amalan-amalan mahmudah yang
dapat menghilangkan penyakit jiwa dalam
hati atau dir seorang hamba.
Tahap Tajalli tentu saja tidak hanya dapat
ditempuh dengan melakukan latihan-latihan
kejiwaan yang tersebut di atas, namun
latihan-latihan tersebut harus lah dapat ia
rubah menjadi sebuah kebiasaan dan
membentuknya menjadi sebuah
kepribadian. Hal ini berarti, untuk
menempuh jalan kepada Allah dan
membuka tabir yang menghijab manusia
dengan Allah, seseorang harus terus
melakukan hal-hal yang dapat terus
mengingatkannya kepada Allah, seperti
banyak berdzikir dan semacamnya juga
harus mampu menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dapat
membuatnya lupa dengan Allah seperti
halnya maksiat dan semacamnya.
Dapat pula diumpamakan pula bahwa,
seorang yang mencari tuhan adalah seperti
orang yang bercermin di depan sebuah
kaca besar yang kotor. Kotoran dalam
cermin itu diibaratkan sebahai sebuah hijab
yang menghalanginya untuk melihat
bayangannya dengan jelas, dan bayangan
itu diibaratkan sebagai tuhan. Untuk dapat
melihat bayangannya dengan jelas
seseorang tidak perlu memindahkan
cerminnya kekanan atau kekiri atau
membeli cermin yang baru. Melainkan,
seseorang tersebut hanya harus
membersihkan kotoran tersebut untuk
dapat melihat bayangannya dengan jelas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk
dapat membuka hijab antara manusia
dengan Allah seseorang harus mampu
membersihkan kotoran-kotaran yang
terdapat dalam jiwanya dan menggantinya
dengan perbuatan, sifat dan sikap yang
terpuji dan baik agar hatinya tidak lagi
tercemari dan terkotori oleh penyakit-
penyakit jiwa yang dapat menjadi hijab
antara seorang hamba dengan Allah.
4. Munajat
Munajat berarti melaporkan segala aktivitas
yang dilakukan kehadirat Allah SWT. [18]
Maksudnya adalah dalam munajat
seseorang mengeluh dan mengadu kepada
Allah tentang kehidupan yang seorang
hamba alami dengan untaian-untaian
kalimat yang indah diiringi dengan pujian-
pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam
suasanya yang hening teriring dengan
deraian air mata dan ungkapan hati yang
begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari
sebuah do ’a yang diungkapkan dengan
rasa penuh keridhoan untuk bertemu
dengan Allah SWT.
Menurut kaum sufi, tangis air mata itu
menjadi salah satu amal adabiyah atau ,
suatu riyadhah bagi orang sufi ketika
bermunajat kepada Allah. [19] Para kaum
sufi pun berpandangan bahwa tetesan-
tetesan air mata tersebut merupakan suatu
tanda penyeselan diri atas kesalahan-
kesalahan yang tidak sesuai dengan
kehendak Allah. Sehingga, bermunajat
dengan do ’a dan penyesalan yang begitu
mendalam atas semua kesalahan yang
diiringi dengan tetesan-tetesan air mata
merupakan salah satu cara untuk
memperdalam rasa ketuhanan dan
mendekatkan diri kepada Allah.
5. Muraqabah
Muraqabah menurut arti bahasa berasal
dari kata raqib yang berarti penjaga atau
pengawal. Muraqabah menurut kalangan
sufi mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan
dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
[20] Muroqobah juga dapat diartikan
merasakan kesertaan Allah, merasakan
keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap
waktu dan keadaan serta merasakan
kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun
ramai. [21]
Sikap muroqobah ini akan menghadirkan
kesadaran pada diri dan jiwa seseorang
bahwa ia selalu diawasi dan dilihat oleh
Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi
apapun. Sehingga dengan adanya
kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-
apa yang mereka telah lakukan dalam
kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah
sesuai dengan kehendak Allah ataukan
malah menyimpang dari apa yang di
tentukan-Nya.
Disamping itu ada satu istilah yang disebut
dengan sikap mental muqorobah, yakni
sikap selalu memandang Allah dengan
mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya, ia
pun juga menyadari bahwa Allah juga
melihatnya, mengawasinya, dan
memandangnya dengan sangat penuh
perhatian.
Ketika muroqobah dilakukan untuk
menghadirkan kemantapan hati dan
ketenangan batin seseorang dalam praktik
mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini
dikarenakan, bila sudah tertanam
kesadaran bahwa seseorang selalu melihat
Allah dengan hatinya dan ia sadar bahwa
Allah selalu memandangnya dengan penuh
perhatian maka seseorang tersebut akan
semakin mantab untuk mengamalkan dan
melakukan apa-apa yang diridloi oleh Allah
sehingga batin nya akan semakin terbuka
untuk dapat mendekatkan dirinya pada
Allah.
Sikap mental muroqobah ini dapat
digambarkan dalam sebuah cerita sufi,
yakni ketika seorang muslim yang
berjualan baju keliling diajak bersetubuh
oleh seorang wanita biarawati nasrani.
Ketika itu laki-laki muslim itu tengah
menjajakan barang dagangannya kerumah
biarawati tersebut. Kebetulan saat itu hanya
ada mereka berdua, dan tak ada orang lain
disana. Ketika itu pula seorang biarawati itu
mengajak laki-laki muslim itu untuk
bersetubuh. Dan laki-laki itupun
terpengaruh oleh godaan setan, dia berkata
“ ia saya mau”. Namun ketika laki-laki
muslim itu dan biarawati itu hampir
melakukan persetubuhan, tiba-tiba
tersadarlah dalam hati laki-laki tersebut, jika
Allah tak pernah tidur dan selalu
mengawasinya dengan penuh perhatian.
Sat itu pula laki-laki muslim itu berkata
“saya tak bisa melakukannya, saya takut
dengan Allah karna dia selalu mengawasi
saya ”. Hingga akhirnya mereka tidak jadi
bersetubuh dan laki-laki muslim itu
meninggalkan rumah itu.
6. Muhasabah
Muhasabah seringkali diartikan dengan
memikirkan, memperhatikan, dan
memperhitungkan amal dari apa-apa yang
ia sudah lakukan dan apa-apa yang ia akan
lakukan. Muhasabah juga didefinisikan
dengan meyakini bahwa Allah mengetahui
segala fikiran, perbuatan, dan rahasia
dalam hati yang membuat seseotang
menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada
Allah. [22]
Di dalam muhasabah, seseorang terus-
menerus melakukan analisis terhadap diri
dan jiwa beserta sikap dan keadaannya
yang selalau berubah-ubah. Orang
tersebut menghisab dirinya sendiri tanpa
menunggu hingga hari hari kebangkitan.
Dalam muhasabah hal-hal yang perlu
dipaerhatikan adalah menghisab tentang
kebajikan dan kewajiban yang sudah
dilaksanakan dan seberapa banyak maksiat
yang sudah dilaksanakan. Apabila
kemaksiatan lebih banyak dilakukan, maka
orang tersebut harus menutupnya dengan
kebaikan-kebaikan diringi dengan taubatan
nasuha.
Dengan demikian sikap mental muhasabah
dalah salah satu sikap mental yang harus
ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat
meningkatkan kualitas keimanan kita
terhadap Allah SWT. Sehingga sikap
mental ini akan dapat meningkatkan
kualitas ibadah kita kepada Allah SWT, dan
membukakan jalan untuk menuju kepada
Allah SWT.
B. TASAWUF ‘AMALI
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang
membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah. [23]
Terdapat beberapa istilah praktis dalam
Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat,
dan Ma’rifat.
1. Syari’at dan Thariqat
Secara umum syaria’t adalah segala
ketentuan agama yang sudah ditetapkan
oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-
orang sufi, syari ’at itu ialah amal ibadah
lahir dan urusan muamalat mengenai
hubungan antara manusia dengan
manusia. [24] Definisi lain mengatakan
bahwa Syari’at adalah kualitas amal lahir –
formal yang ditetapkan dalam ajaran
agama melalui Al-qur ’an dan sunnah.[25]
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa syari’at
adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya
menyentuh aspek lahir manusia dan tidak
menyentuh aspek batin manusia.
Ath-Thusi dalam Al-Luma’ mengatakan
bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang
mengandung dua pengertian, yaitu
riwayah dan dirayah yang berisikan
amalan-amalan lahir dan batin. [26]
Selanjutnya yang perlu dipahami adalah
bahwa apabila syari ’at di artikan sebagai
ilmu yang riwayah adalah segala macam
hukum teoritis yang termaktub dan terurai
dalam ilmu fiqih yakni ilmu-ilmu teoritis
yang bersifat lahiriah. Sebaliknya, apabila
syari ’at diartikan sebagai ilmu yang dirayah
maka makna dari syari’at itu adalah makna
batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat
disebut dengan makna hakikat dari ilmu
fiqih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan
dengan para fuqaha dan sufi yang memiliki
perbedaan pandangan, syari ’at yang
bersifat riwayah adalah macam ilmu yang
disebut dengan fiqih, yakni ilmu yang
menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan
syari ’at yang berkonotasi dirayah adalah
ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu
tasawuf yakni ilmu yang cenderung
menyentuh aspek batiniah.
Mengenai syari’at ini para ahli sufi lebih
menekankan pada aspek hakekat atau
makna batiniah dari dari ilmu lahiriah
(syari ’at) ketimbang para ahli fiqih yang
hanya menekankan pada aspek lahiriyah
saja. Memang pada dasarnya syari ’at
adalah simbol hukum yang mengatur
kehidupan agama yang bersifat lahiriyah.
Namun menurut para sufi hal ini tidak
berkaitan dengan kenyataan batin.
Kenyataan batin dan iman itu diluar
jangkauan dari syari ’at (ilmu yang bersifat
lahiriah) dan hal ini hanya dapat dilihat dan
dimengerti dengan jalan sufi. Menurut
keyakinan sufi, seseorang akan mencapai
hakikat suatu ibadah apabila mereka telah
menempuh jalan yang menuju pada
hakikat tersebut, yakni thariqat.
Thariqat menurut istilah tasawuf adalah
jalan yang harus ditempuh oleh seorang
sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat
mungkin dengan tuhan. [27] Thariqat
adalah jalan yang ditempuh para sufi dan
digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syari ’at, sebab jalan utama
disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut
dengan thariq.[28] Oleh sebab itu dapat
disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang
dari syari ’at yang merupakan pangkal dari
suatu ibadah. Hal ini dapat pula
digambarkan bahwa tidak mungkin adanya
suatu ibadah yang dilakukan tanpa adanya
perintah yang mengikat. Sehingga untuk
menempuh anak jalan yang menuntun
kepada hakikat tujuan ibadah harus
mengerti terlebih dahulu akar atau pangkal
dari jalan tersebut, yaitu syari ’at (landasan
hukum). Sehingga dapat digambarkan
bahwa jalan-jalan tersebut terbagi kedalam
tiga batasan antara manusia dan teologis,
yakni syari ’at, thariqat dan hakikat[29].
Dalam hal ini, terdapat pepatah sufi yang
mengatakan “untuk mencapai haqiqah (inti)
anda harus mampu menghancurkan kulit”.
[30] Yakni makna essensial melebihi
makna-makna yang bersifat eksotoris dan
tidak dapat direduksikan dalam bentuk
luaran yang bersifat eksotoris.
2. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu,
‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan,
pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat
adalah kumpulan ilmu pengetahuan,
perasaan, pengalaman, amal dan ibadah
kepada Allah SWT. [31] Dalam istilah
tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang
sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang
diperoleh melalui sanubari.
Al-Ghazali secara terperinci
mengemukakan pengertian ma’rifat
kedalam hal-hal berikut:
1. Ma’rifat adalah mengenal rahasia-
rahasia Allah dan aturan-aturan-
Nya yang melingkupi seluruh
yang ada;
2. Seseorang yang sudah sampai
pada ma ’rifat berada dekat
dengan Allah, bahkan ia dapat
memandang wajahnya;
3. Ma’rifat datang sebelum
mahabbah.[32]
Sebagian besar para sufi mengatakan
bahwa ma ’rifat adalah puncak dari tasawuf,
yakni mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya. Oleh karena itu, para sufi
berkeyakinan bahwa setiap orang yang
menempuh jalan tasawuf dan
mengamalkannya dengan sungguh-
sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan
tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya, yakni ma ’rifat.
Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat
adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di
diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak
dapat didapat lewat usaha manusia. [33] Hal
ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh
tuhan kepada hambanya yang
diistimewakan atau dipilih melalui
ketakwaan, kesalehan dan sufi [34]. Untuk
mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus
menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan
yang kotor dan memperbaiki diri dengan
sebaik-baiknya serta melakukan pendakian
tingkatan-tingkatan rohani yang disebut
dengan maoqamat [35] yang mana tujuan
akhir dari pendakian tersebut adalah
ma ’rifat yakni mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus
Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit
AMZAH.
Drs. Asmaran As., M.A. 1996. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.kawulagusti.blogspot.com/…/
isi-pokok-ajaran-tasawuf.html
http://
www.meetabied.wordpress.com/2010/02/20
ilmu-tasawuf/
http://www.ratih1727.multiply.com/
journal/item/171.html
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu
Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf.
Yogyakarta: Aura Media.
Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada. Hal. 40-41
[2] Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami
Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu
Tasawuf”. Yigyakarta : Aura Media. Hal 65.-
[3] Riyyadah diartikan sebagai latihan-
latihan mistik, latihan kejiwaan dengan
upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya
seperti perbuatan-perbuatan yang tercela
baik yang batin maupun yang lahir yang
merupakan penyakit hati yang sangat
berbahaya.
[4] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus
Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit
AMZAH. Hal. 263
[5] Ibid. Hal.233.
[6] Ibid, Hal 233.
[7] Ibid, Hal.233.
[8] Hijab menurut bahassa artinya adalah
kerudung, tirai, atau tabir. Pengertian Hijab
menurut istilah adalah segala sesuatu dari
diri manusia yang menyembunyikan dan
menutupi Allah. Hijab juga seringkali
dipahami sebagai dinding penghalang yang
membuat manusia tidak bisa berhubungan
dengan tuhan.
[9] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit Hal. 67
[10] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Op.cit. Hal. 227
[11] Ibid, Hal 227
[12] Ibid, Hal 227
[13] Zuhud adalah mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah.
Mengosongkan bukan berarti benar-benar
tidak menginginkan dunia, melainkan lebih
mementingkan kehidupan akherat
dibandingkan dunia.
[14] Tawakal biasa diartikan sebagai sikap
bersandar dan mempercayakan diri kepada
Allah. Tawakal tidak berarti beserah diri
tanpa ada usaha, melainkan
mempercayakan diri atau beserah diri
kepada Allah harus diiringi dengan usaha
dan perbuatan.
[15] Ma’rifah itu sebanarnya adalaha Allah
menyinari hati seorang hamba dengan
cahaya ma ’rifat yang murni, sehingga
ma’rifah bukanlah suatu yang dapat dicapai
dengan usaha manusia, melainkan dengan
pilihan Allah kepada hambanya yang
diistimewakan. Sehingga seorang hamba,
benar-benar seperti bisa mengenal Allah.
[16] Muhtar hadi, M.Si. Loc.cit. Hal.68
[17] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 229
[18] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 70
[19] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 71
[20] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 150
[21] Dikutip dari: http://
ratih1727.multiply.com/journal/item/171,
Tanggal 22 Oktober 2010
[22] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 147
[23] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 263
[24] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 74
[25] Ibid, Hal 217
[26] Ibid, Hal 217
[27] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 239
[28] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 75
[29] Hakikat atau Haqiqah adalah kebenaran
yang bersifat essensial. Makna kaqiqah
menunjukkan kebenarana esoteris yang
merupakan batas-batas dari transedensi
manusia dan teologis. Haqiqah merupakan
unsur ketiga setelah syari ’ah (hukum) yang
merupakan kenyataan eksoteris, Thariqat
(jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan
yang ketiga adalah haqiqah, yakni
kebenaran yang essensial.
[30] Loc.cit. Hal. 71
[31] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 76
[32] Ibid, Hal 141
[33] Loc.cit Hal. 77
[34] Nama sufi berlaku pada pria atau
wanita yang telah menyucikan hatinya
dangan dzikrullah, menempuh jalan
kembali kepada Allah, dan sampai pada
pengetahuan hakiki (Ma ’rifat).
[35] Maqomat secara bahasa berate
kedudukan, secara istilah adalah kedudukan
manusia dihadapan Allah yang disebabkan
oleh ibadahnya, mujahadatnya,
riyadhahnya, dan pencurahan hatinya pada
Allah.

Rabu, 27 Juli 2011

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI)VIII.TANDA2 CINTA KEPADA ALLOH TERJEMAHAN KITAB KIMY ATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI)VIII.TANDA2 CINTA KEPADA ALLOH

TANDA-TANDA
CINTA KEPADA ALLOH
Ramai orang berkata ia Cinta kepada Alloh
Subhanahuwa Taala. Perkataan itu hendaklah diuji
terlebih dahulu adakah yang murni atau hanya
palsu.
Ujian pertama adalah : Dia hendaklah tidak benci
kepada mati karena tidak ada orang yang enggan
bertemu dengan sahabatnya.
Nabi Muhammad saw bersabda :
“Siapa yang ingin melihat Alloh, Alloh ingin
melihat dia.”
Memang benar ada juga orang yang ikhlas
cintanya kepada Alloh berasa gentar apabila
mengingat kedatangan mati sebelum ia siap
menyiapkan persediaan untuk pulang ke akhirat,
tetapi jika betul-betul ikhlas dia akan bertambah
rajin berusaha lagi untuk menyiapkan persediaan
itu.
Ujian kedua adalah : ia mestilah bersedia
mengorbankan kehendaknya untuk menurut
kehendak Alloh dan dengan daya upaya yang ada
menghampirkan diri kepada Alloh dan benci
kepada apa saja yang menjauhkan dirinya
dengan Alloh. Dosa yang dilakukan oleh
seseorang itu bukanlah bukti ia tidak cinta kepada
Alloh langsung tetapi itu membuktikan yang ia
tidak menyintai Alloh sepenuh jiwa raganya.
Fudhoil bin Iyadh seorang wali Alloh berkata
kepada seorang lelaki :
“Jika seseorang bertanya kepada mu apakah
kamu cinta kepada Alloh? hendaklah kamu diam
karena jika kamu kata: “Saya tidak cinta
kepadaNya”, maka kamu kafir dan jika kamu
berkata, “Saya cinta”, maka perbuatan kamu
berlawanan dengan katamu.”
Ujian yang ketiga adalah : ingat kepada Alloh itu
mestilah sentiasa ada dalam hati manusia itu
tanpa ditekan atau direkayasa kebenarannya,
karena apa yang kita cinta itu mestilah sentiasa
kita ingat. Sekiranya cinta itu sempurna, ia tidak
akan lupa yang dicintainya itu. Ada juga
kemungkinan bahwa sementara cinta kepada
Alloh itu tidak mengambil tempat yang utama
dalam hati seseorang itu, maka cinta kepada
menyintai Alloh itu mungkin mengambil tempat
juga, karena cinta itu satu hal dan cinta kepada
cinta itu adalah satu masalah yang lain pula.
Ujian yang keempat adalah : kemudian
menunjukkan adanya cinta kepada Alloh ialah
bahwa seseorang itu cinta kepada Al-Quran,
yaiitu Kalam Alloh, dan cinta kepada Muhammad
yaitu Rasul Alloh. Jika cintanya benar-benar kuat,
ia akan cinta kepada semua orang karena semua
manusia itu adalah hamba Alloh. Bahkan cintanya
meliputi semua makhluk, karena orang yang
kasih atau cinta kepada seseorang itu tentulah
kasih pula kepada kerja-kerja yang dibuat oleh
kekasihnya itu dan cintanya juga kepada tulisan
atau karangannya.
Ujian yang kelima adalah : ia suka duduk
bersendirian untuk maksud beribadat dan ia suka
malam itu cepat datang agar dapat berbicara
dengan rekan atau sahabatnya tanpa ada yang
menggangu. Jika ia suka berbual-bual di siang
hari dan tidur di malam hari maka itu
menunjukkan cintanya tidak sempurna. Alloh
berfirman kepada Nabi Daud :
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-
orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat lalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”.
Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya;
maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu
menyungkur sujud dan bertobat”. (Shaad:24)
Pada hakikatnya, jika cinta kepada Alloh itu benar-
benar mengambil tempat seluruhnya didalam hati
seseorang itu, maka cintanya kepada yang lain itu
tidak akan dapat mengambil tempat langsung ke
dalam hati itu. Seorang dari Bani Israel telah
menjadi kebiasaan sembahyang di malam hari.
Tetapi apabila melihat burung bernyanyian di
sebatang pohon dengan merdu sekali, dia pun
sembahyang di bawah pohon itu supaya dapat
menikmati nyanyian burung itu. Alloh menyuruh
Nabi Daud pergi berjumpa dia dan berkata :
“Engkau telah mencampurkan cinta kepada
nyanyian burung dengan cinta kepadaKu,
Martabat engkau di kalangan Auliya’ Alloh telah
diturunkan,”
Sebaliknya ada pula orang yang terlalu cinta
kepada Alloh, suatu hari sedang ia melakukan
ibadatnya kepada Alloh rumahnya telah terbakar,
tetapi ia tidak tahu dan sadar rumahnya terbakar.
Ujian yang keenam adalah : ibadahnya menjadi
senang sekali. Seorang Wali Alloh ada berkata :
“Dalam tiga puluh tahun yang pertama saya
melakukan sembahyang malam dengan susah
payah sekali, tetapi tiga puluh yang kedua
sembahyang itu menjadi indah dan nikmat pula
kepada saya.” Apabila cinta kepada Alloh itu
sempuna, maka tidak ada keindahan yang
sebanding dengan keindahan beribadah.
Ujian yang ke ketujuh adalah : Orang yang cinta
kepada Alloh itu akan cinta kepada mereka yang
taat kepada Alloh dan mereka benci kepada
orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka
kepada Alloh.
Al-Quran menyatakan :
” Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu
ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan)
kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-
orang yang mengikuti jalan yang
lurus, .” (Hujurat:7)
Suatu masa, Nabi bertanya kepada Alloh, “Wahai
Tuhan, siapakah kekasihmu?” Terdengarlah
jawaban,
“Siapa yang berpegang teguh kepadaKu seperti
bayi dengan ibunya, mengambil perlindungan
dengan MengingatiKu seperti burung mencari
perlindungan disarangnya, dan yang marah
melihat dosa seperti singa yang marah yang tidak
takut kepada apa dan siapa pun.