Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Jumat, 31 Desember 2010

REMAJA KEKUATAN RAKSASA PERJUANGAN

Saat ini, ketika seseorang mendengar istilah remaja,
yang serigkali terbayang sosok anak-anak muda
yang berhuru-hara di kafe, diskotik atau tempat
hiburan lainya. Atau mungkin ketika seseorang
mendengar istilah remaja, maka yang nampak
adalah sosok anak-anak muda yang asyik
berpacaran, bermain musik atau berlenggak-
lenggok ala foto model. Yang lebih menyedihkan lagi
adalah bahwa seringkali istilah remaja ini dikaitkan
dengan berbagai bentuk ekspresi negatife seperti
seks bebas, narkoba atau berbagai bentuk
kriminalitas.
Berbagai gambaran diatas sebenaranya merupakan
pantulan dari kondisi kaum remaja dewasa ini.
Kebijakan pemerintah membuka lebar-lebar
terhadap berbagai kebudayaan luar telah
menghasilkan para remaja ala Hollywood. Remaja
yang mengahabiskan waktunya dengan hanya
berhura-hura tapi miskin prestasi. Kalaupun ada
prestasi, itupun hanya berkaitan dunia hura-hura.
Seperti juara modeling, juara nyanyi atau juara rias.
Sementara dalam berbagai bidang yang produktif,
seperti olahraga atau dunia ilmiah, sangat minim
prestasi yang didapatkan.
REMAJA DALAM PANGGUNG SEJARAH
Sejarah tegak dan runtuhnya suatu bangsa sangat
berkaitan erat dengan situasi dan kondisi remaja
pada suatu masa. Ketika kaum remaja terbiasa
hidup dengan dunia yang keras, disiplin, serta
penuh semangat belajar dan berkarya, maka pada
saat itulah sebuah bangsa berdiri dengan tegak.
Revolusi Islam di jazirah Arab pada masa awal Islam
ternyata menempatkan barisan remaja pada posisi
terdepan dan kunci. Orang-orang seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman, adalah sosok-sosok muda yang
saat itu berusia 30-40 tahun. Bahkan banyak sekali
remaja berusia belasan tahun memainkan peran
yang sangat penting dalam revolusi tersebut. Ali bin
Abi Thalib ketika menjadi Panglima perang Khaibar,
saat itu masih berusia 25 tahun. Abdullah bin
Rowahah ketika memimpin perang Mu ’tah baru
berusia 20-an tahun. Bahkan Usamah bin Zaid usia -
+ 16 tahun telah menjadi seorang jendral yang
memimpin sebuah resimen tentara. Dan lawan
yang dihadapinya pun tidak main-main. Mereka
adalah satuan-satuan pasukan professional
Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) yang
dipimpin oleh jendral-jendral yang telah dewasa,
matang dan berpengalaman dalam berperang
melawan kemaharajaan Persia. Toh akhirnya,
kelompok pemuda muslim tersebut bisa mengatasi
semua permasalahan-permasalahan kemiliteran
yang mereka hadapi.
Revolusi Kemerdekaan Indonesia juga menjadi
pelajaran yang menarik tentang peran remaja. Saat
itu, pasukan Belanda dan sekutu baru saja
memenangkan perang Dunia II dengan
menghancurkan Blok Jerman, Italia dan Jepang.
Mereka dengan di dukung oleh perwira-perwira
dewasa dan matang semisal Jendral Spoor atau
Jendral AWS Mallaby serta prajurit professional
datang kembali ke Indonesia untuk menancapkan
‘ kuku’ penjajahan.
Pasukan yang professional terebut dihadapi oleh
barisan remaja yang walaupn belum begitu
berpengalaman, namun memiliki semangat yang
menyala-nyala. Sebagaimana Revolusi Islam di
Arabia, dalam Revolusi Kemerdekaan Idonesia
inipun remaja memiliki posisi terdepan. Sebut saja
misalnya Pak Dirman. Pada usia 27 tahun beliau
sudah diangkat menjadi Panglima Besar yang
membawahi 3 juta tentara Indonesia yang
menyebar mulai dari Aceh hingga Merauke. Pada
usia yang sama, Jendral (saat itu baru Kolonel) Abdul
Haris Nasution menjadi Panglima Komando Jawa.
Demikian juga menteri-menteri Negara. Sebagian
besar adalah remaja-remaja berusia 30 tahun.
Namun sejarah membuktikan bahwa bangsa
Indonesia ternyata membikin penjajah Belanda
kembali hengkang ke Eropa.
Pada tahun 1979, kembali kita bisa menyaksikan
peristiwa spektakuler dalam sejarah dunia.
Sekelompok anak-anak muda di Iran dengan
inspirasi dari Ayatullah Khomaeni bergerak. Dengan
kekuatan laksana air bah yang meruntuhkan
Kerajaan Iran yang saat itu memiliki tentara terkuat
di Timur Tengah. Kerajaan dengan kekuatan tentara
ratusan ribu, peralatan perang modern, jaringan
intelijen yang rapi dan dukungan mutlak dari
Amerika dan Israel itu tiada mampu membendung
luapan semangat remaja-remaja Iran yang
menuntut keadilan.
Dan akhir kalinya, bangsa Indonesia menyaksikan
kekuatan yang menakjubkan dari remaja pada
Reformasi ’98. Kali ini yang menjadi sasaran
kekuatan raksasa para remaja adalah sebuah
kekuasaan di Indonesia, Rezim Orde Baru. Kekuatan
yang bercokol di Indonesia sejak tahun 1966 ini
memiliki segalanya. Tentara yang professional,
pegawai Negara yang loyal, persenjataan yang
canggih dan wibawa yang luar biasa. Bahkan
bebrapa saat sebelumnya, Golkar yang di dukung
oleh pemerintah, baru saja memenangkan pemilu
dengan angka yang spektakuler, 75%. Kekuatan
Orde Baru saat itu menjadi salah satu kekuasaan
terkokoh di Asia.
Awal tahun 1998, para remaja di berbagai kampus
perguruan tinggi mulai bergerak melihat
kepincangan-kepincangan pemerintah serta
penindasan yang tiada tertahan lagi oleh rakyat.
Kekuatan kaum remaja semula kecil tersebut
kemudian mulai membesar dan terus membesar.
Bahkan akhirnya menjadi kekuatan yang dahsyat.
Dunia akhirnya menyaksikan untuk kesekian kalinya.
Bahkan kekuatan remaja teramat dahsyat untuk
dilawan dengan senapan atau tentara. Kekuatan
inilah yang akhirnya memaksa Jendral Besar
Soeharto harus lengser dari jabatanya.
Sebaliknya, ketika para remaja terbuai dalam
berbagai hiburan dan sibuk memenuhi syahwatnya,
maka pada saat itulah sebuah bangsa berada di
ambang kehancurannya. Pada sekitar tahun 1650-
an, Kesultanan Mataran di bawah Sultan
Amangkurat I masih berdiri kokoh setelah
sebelumnya dibangun dengan susah payah oleh
Sultan Agung. Namun situasi kejiwaan para pemuda
Mataram jauh berbeda dengan era Sultan Agung.
Situasi pemuda pada masa Amangkurat I penuh
dengan hura-hura. Bahkan cenderung nista. Hingga
berbagai catatan Belanda saat itu memberitakan
bahwa Putera Mahkota setiap malam selalu
keluyuran merampas dan memperkosa istri orang.
Hingga bencana pun tibalah. Rakyat Madura
melakukan pemberontakan dengan didukung
berbagai elemen rakyat Mataram yang lain. Dalam
situasi seperti ini, para pemuda dan tentara Mataram
tiada memiliki semangat juang yang tinggi lagi
sebagaimana masa-masa raja sebelum Amangkurat
I. Akibatnya, tentara Mataram dengan mudah dapat
dikalahkan oleh kaum pemberontak. Bukan hanya
disitu saja. Keraton Plered, Ibukota Mataram saat
itupun akhirnya hancur-lebur dan jatuh ke tangan
kaum pemberontak.
Jika kita melihat dunia Islam saat ini, terlihat dimana-
mana penindasan dan penganiayaan kepada kaum
muslimin di berbagai Negara. Ini adalah potret
keadaan kaum remaja muslim saat ini. Dimana
mereka banyak terbuai oleh aneka kesenangan dan
hiburan. Hari-harinya diisi dengan aneka tontonan
dan kesenangan. Sangat sedikit sekali remaja
muslim yang memberikan perhatian terhadap
upaya peningkatan kualitas diri. Mereka asing
dengan belajar. Mereka jauh dengan ulama ’. Mereka
jauh dari majlis ilmu, majlis dzikir dan masjid.
Akibatnya, umat pun menjadi lemah dan kehilangan
wibawa. Hingga kemudian musuh-musuh Islam
pun saling berebut menerkam kaum muslimin,
laksana kawanan srigala berebut domba.
Kita takut, hal yang sama menimpa Perjuangan
Wahidiyah. Remaja-remaja Wahidiyah saat ini
hanya menghabiskan waktu-waktunya dengan
santai dan senang-senang. Hingga, pada suatu
ketika, saat ia diserahi tongkat estafet perjuangan,
mereka kaget, karena tidak adanya persiapan yang
dimiliki. Ia hanya bingung, susah. Tapi tidak tahu
apa yang ia bingungkan. Yang ia rasakan hanyalah
apa yang harus ‘saya’ kerjakan? Bagaimana cara
menggerakkan roda perjuangan yang diamanatkan
kepadanya. Dari sinilah kemudian awal mula
hancurnya perjuangan. Maka benarlah kata
pepatah: ”Jika perjuangan dipegang oleh bukan
ahlinya, maka tunggu sajalah saat
kehancuranya. ”Musthafa Al Ghalayain
mengatakan:”Sesungguhnya di tangan para
remajalah urusan umat (perjuangan). Dan di bawah
telapak kaki perjuanganyalah hidup dan matinya
umat (perjuangan). ”
MENUJU REMAJA UNGGUL
Remaja unggul dan berkualitas adalah sumber
kekuatan umat yang paling utama. Selama remaja
masih memiliki nilai-nilai keunggulan, maka umat
akan selalu aman. Sebaliknya, ketika remaja
kehilangan nilai-nilai keunggulanya, umat pun sudah
tentu diambang bahaya.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang
remaja agar menjadi generasi yang unggul.
Pertama, adalah shihhatul aqiidah (akidah yang
benar). Kelurusan dan kebenaran akidah ini bukan
hanya diperlukan oleh seorang remaja, namun juga
oleh semua golongan usia manusia. Dengan akidah
yang lurus, hidup seseorang menjadi terarah.
Dengan akidah yang lurus, manusia akan bernilai di
sisi Allah. Allah berfirman: ”Sungguh Kami ciptakan
manusia dalam bentuk yang terbaik. Kemudian ia
Kami kembalikan ke tingkat yang paling rendah.
Kecuali mereka yang beriman dan beramal
shalih. ” (QS. At Tien: 5-7).Dan dengan akidah yang
lurus pula, Allah menjanjikan pertolongan untuk
hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Al
Qur ’an:”Allah adalah penolong mereka yang
beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
menuju cahaya …” (QS. Al Baqarah: 257).
Kedua, adalah shalaahul a’mal (baiknya perbuatan).
Allah dalam memberikan janji pertolongan dan
kemuliaan selalu menyaratkan dengan iman
(shihhatul aqiidah) dan amal shalih (shalaahul a ’mal).
Sebagaimana firman Allah:”Dan sampaikanlah kabar
gembira bagi mereka yang beriman dan beramal
shalih bahwa sesungguhnya bagi mereka surga
yang dibawahnya mengalir sungai-sungai …” (QS. Al
Baqarah: 25).
Amal shalih ini memiliki bebarapa arti. Makna yang
pertama adalah melaksanakan syariah. Seroang
remaja muslim baru akan menjadi unggul jika ia
melaksanakan kewajiban Islam dan menjauhi
larangan Islam. Terhadap mereka ini, Allah
menjanjikan pertolongan dalam segala situasi dan
kondisi. Sebagaimana firman Allah Ta ’ala:”Dan
barangsiapa bertakwa kepada Allah, menjadikan
baginya jalan keluar (dari semua
permasalahan). ” (QS. Ath Thalaaq: 2).
Makna yang kedua dari amal shalih adalan
melaksanakan sesuatu secara professional. Artinya,
seorang remaja muslim yang unggul haruslah
melakukan pekerjaan dan profesinya secara baik dan
professional. Jika ia seorang penjahit, ia harus
menghasilkan karya yang bermutu dan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Jika ia seorang
pegawai, maka ia harus melaksanakan tugas
kepegawaian dengan baik serta berdisiplin terhadap
waktu. Jika ia seorang guru, maka ia harus
melaksnakan tugas-tugas keguruan dengan baik dan
sesuai dengan aturan. Demikian seterusnya. Dengan
demikian, masing-masing remaja msulim
menghasilkan karya-karya yang terbaik untuk
perjuangan.
Ketiga, remaja unggul mestilah memiliki akhlak yang
baik. Akhlak yang baik disini mencakup segala
kepribadian yang positif. Ia harus santun, namun
juga tegas. Ia harus lembut namun juga berani. Ia
harus luwes, namun harus juga kukuh pendirian.
Dan seterusnya dan seterusnya.
"Bangsa-bangsa itu hanya akan bertahan selama
mereka masih memiliki akhlak. Mereka akan hancur
berantakan bilamana akhlaknya telah rusak." (Kalam
Hikmah)
Terkadang seseorang meremehkan akhlak. Mereka
cukup mengandalkan kemampuan profesioanal.
Padahal, akhlak sebenarnya memiliki kekuatan yang
sangat dahsyat. Malah seringkali seseorang dapat
menaklukkan seorang musuh dengan seorang diri
melalui kekuatan akhlak. Padahal musuh tersebut
belum tentu dapat di taklukkan dengan satu batalion
tentara. Ada kala juga seseorang sebenarnya
memiliki kemampuan professional yang rendah.
Namun, ia dapat menembus ke puncak karier
dengan keluhuran akhlaknya. Padahal disisi lain,
banyak teman-temanya yang memiliki kemampuan
profesi yang kuat tidak dapat mencapai kedudukan
walaupun sekedar setengahnya saja dari apa yang ia
raih.
Keempat, seorang remaja yang unggul haruslah
meiliki pengetahuan di bidang yang ditekuninya. Bila
ia seorang seniman, ia harus menguasai ilmu seni.
Bila ia seorang akuntan, maka ia harus menguasai
ilmu akuntansi. Bila ia seorang Bodyguard, ia harus
menguasai ilmu bela diri. Pendeknya, seseorang
tidak akan menguasai profesi dan berkembang
dengan profesinya kecuali jika ia menguasai profesi
tersebut. Karena itu, poin keempat ini sangat
berkaitan dengan poin kedua tentang
profesionalisme.
Ilmu bagi remaja bahkan menjadi ciri dan identitas
keremajaanya. Bagi mereka yang tidak memiliki
ilmu, sesungguhnya tiada pantas disebut sebagai
remaja. Sebagaimana dikatakan Imam Syafi ’i
RA.”Demi Allah! Hidupnya para remaja hendaklah
dengan ilmu dan takwa. Bila keduanya tiada
padanya, maka tiada patut ia disebut sebagai
remaja. ”
Dalam konteks Perjuangan Wahidiyah saat ini,
sudah tentu menjadi sangat kompleks serta meliputi
multidimensi. Di sana di butuhkan pendidik, disana
dibutuhkan administrator, disana dibutuhkan teknisi
dan seterusnya dan seterusnya. Perjuangan hanya
akan maju dan unggul jika semua sisi tersebut
tertangani secara tuntas dan bermutu. Sebaliknya,
Perjuangan tentunya akan hancur jika semua sisi
tersebut dikelola secara setengah-setengah. Kata Ahli
Hikmah: ”Jika perkara yang haq (yang benar) tidak
dikelola dengan (manjemen yang) baik, ia akan
dikalahkan oleh perkara yang batil (salah) yang
dikelola (dimenej) dengan baik. ”
Disinilah diperlukan profesionalisme. Penanganan
suatu bidang secara total sehingga mendapat hasil
yang bermutu tinggi. Dan profesioanlisme tidak
akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sesuatu
berdasarkan ilmu. Karena itulah Ibnu Ruslam dalam
Kitab Zubad mengatkan , ”Setiap orang yang
beramal tanpa ilmu, Amalnya akan ditolak atau tidak
diterima. ”
Kelima, seorang remaja unggul haruslah memiliki
kekuatan ruhaniyah yang dahsyat. Hal ini diperoleh
melalui serangakaian riyadhah (latihan ruhani) yang
keras. Bukankah keris pada dasarnya hanyalah
sebilah besi? Jika kita melihat dari nilai besinya,
sebilah keris mungkin tidak akan mencapai Rp. 1000.
Namun ketika keris tersebut sudah mengalami
tempaan yang dahsyat serta mendapat doa dari
Empu, maka nilainya akan berlipat-lipat. Sebilah keris
bisa berharga ratusan ribu, bahkan jutaan atau
miliyaran rupiah.
Sebagaian besar para sahabat Rasulullah SAW
sebelumnya adalah manusia-manusia dari kelas
sosial yang rendah. Salman atau Bilal misalnya,
adalah seorang budak. Abdullah bin Mas ’ud adalah
seorang pengembala kambing. Namun dengan
riyadhah yang kuat, akhirnya mereka menjadi
orang-orang mulia. Salman menjadi Gubernur di
Irak, sedang Bilal menjadi tokoh masyarakat Syam.
Sementara Abdullah bin Mas ’ud menjadi maha guru
di Irak.
Bahkan dengan kekuatan riyadhah ini, bangsa Arab
yang miskin dan sebelumnya tidak pernah
disebutkan dalam sejarah, akhirnya dapat menjebol
kekuasaan dua super power itu, Romawi dan Persia.
Keenam, seorang remaja unggul haruslah memiliki
kekuatan fisik yang prima. Kerena sebuah bangsa
tidak akan kuat jika remajanya sakit-sakitan.
Rasulullah SAW bersabda, ”seorang mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada
seorang mukmin yang lemah. ”
Bangsa Arab, pada masa Rasulullah SAW menjadi
bangsa yang kuat salah satunya juga karena mereka
selalu memiliki fisik terlatih. Mereka aktif berlatih
menunggang kuda, memanah, bergulat, berenang
serta bermain pedang dan tombak. Rasulullah SAW
sendiri sangat menganjurkan pembinaan masalah
ini, hingga beliau bersabda, ”Ajarilah anak-anakmu
berenang dan memanah.” hingga selanjutnya, dlam
fiqih Islam, taruhan dalam dunia berkuda dan
panahan diatur dalam satu bab tersendiri.
Nah, ketika keenam syarat tersebut terkumpul,
sebuah bangsa pada dasarnya telah memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat. Bahkan jauh lebih
dahsyat dari sebuah nuklir sekalipun!. Allahu a ’lam

Kamis, 30 Desember 2010

DEMI MASA (AL WAKTU)

Betapa mahalnya waktu. Betapa berharganya
kesempatan. Ia merupakan satu-satunya sumber
daya yang hilang tak bisa dig anti lagi. Bagi kita,
waktu yang kita miliki sama dengan jatah usia yang
akan kita lalui. Karenanya, siapa yang membuang-
buang waktu sama dengan menyia-nyiakan
umurnya sendiri.
Isalm sendiri begitu besar perhatianya terhadap
waktu. Hingga di dalam Al Qur ’an banyak sekali
ayat-ayat yang menunjukkan ‘sumpah’ Allah
dengan waktu; demi waktu subuh, demi waktu
dhuha, demi malam apabila telah menutupi, demi
waktu siang apabila telah menerangi, adalah contoh
‘ sumpah’ Allah atas nama waktu.
Bahkan dalam surat Al Ashr yang berarti masa,
Allah telah bersumpah dengan masa atau waktu,
bahwa manusia akan merugi, kecuali orang-orang
yang beriman (billah) dan beramal shaleh (lillah)
serta saling menasehati supaya menetapi kebenaran
dan kesabaran.
Kenyataanya memang, orang-orang yang berleha-
leha menyia-nyiakan waktu; tidak mau bekerja, tidak
mau beribadah, yang ia dapat hanyalah kerugian
dan rasa penyesalan. Sebaliknya, mereka yang
mampu memanfaatkan waktunya dengan baik,
mereka mendapatkan keuntungan dan kebahagiaan
di kemudian hari.
Untuk melihat betapa berharganya waktu, kita bisa
mencermati apa yang ditemukan oleh para ahli
fisika. Menurut mereka, bahwa waktu 1 detik itu
sama dengan waktu yang diperlukan oleh otom
caesium untuk bergetar sebanyak 9.192.630.770
kali.
Sungguh, betapa sangat berharga nilai sebuah
waktu. Karenanya, dalam beberapa sabdanya
Rasulullah SAW pun tidak bosan-bosanya
mengingatkan kita soal pemanfaatan waktu. Kata
Nabi,
” Dua nikmat yang seringkali dilalaikan oleh
kebanyakan manusia: (nikmat) sehat dan waktu
luang. ” (HR. Turmudzi dalam Kitab Zuhud Juz 4 Hal.
550). Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda:
” Peliharalah lima perkara sebelum dating lima
perkara:1. Masa hidupmu sebelum datang
kematianmu,
2. Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu,
3. Waktu luangmu sebelum datang masa
sempitmu,
4. Masa mudamu sebelum datang masa tuamu,
5. Masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.
(HR. Hakim dan Baihaqi dalam bab Iman, dan
Ahmad dalam bab Zuhud dari Ibnu Abbas RA)
Karenanya, pada masa generasi sahabat, masalah
pemanfaatan waktu ini benar-benar menjadi
perhatian utama mereka. Bahkan konon, ketika
Sayyidina Umar mendapati dirinya sesaat saja lalai
tidak melakukan ibadah, seketika itu pula beliau
langsung mencambuk dirinya sendiri. Hingga
setelah kematianya, para sahabat yang mengurus
jenazah beliau, menemukan guratan-guratan
merahdi tubuh Sayyidaina Umar, bekas cambukan.
Perhatian Islam terhadap waktu memang
sedemikian besar. Tidak hanya soal pemanfaatanya,
tapi juga dalam hal pengalokasian. Bagi kita
pengamal Wahidiyah, setidaknya ada tigamacam
waktu yang harus kita atur dalam menjalani
kehidupan ini. Ada waktu untuk ibadah, waktu untuk
bekerja dan waktu untuk istirahat. Sebenarnya,
ketiga-tiganya bisa bermakna ibadah apabila
pelaksanaanya diniati ibadah kepada Allah, lillah. Niat
untuk taqarruban ilallah (mendekat kepada Allah).
Dan itulah sebaik-baik waktu. Sebagaimana
dikatakan dala Kitab Al Hikam: ”Sebaik-baik waktu
dalam hidupmu adalah waktu ketika kamu dalam
keadaan sadar kepada Allah merasa dan mengakui
kebutuhanmu serta kembali kepada adanya
kerendahan dirimu. ”
Di dunia ini, sesungguhnya tidak ada orang sukses
yang tidak disiplin dalam pemanfaatan waktu.
Mereka yang saat ini kita lihat hidupnya ’enak’, pada
awalnya mereka dalah orang-orang yang disiplin
menggunakan waktu. Disiplin memanfaatkan waktu
belajarnya. Disiplin menggunakan waktu
bekerjanya. Disiplin menjalankan ibadahnya, dan
disiplin dalam melakukan segala aktifitas
kewajibanya.
Karena itu, apabila kita ingin sukses, ingin jaya, ingin
bahagia di dunia dan di akhirat, tidak ada pilihan lain
kecuali kita harus memulainya dengan
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Jangan lagi
ada umur yang terbuang sia-sia. Jangan ada lagi
masa yang habis tiada guna. Jangan menunda-
nunda amal perbuatan jika ‘saat ini’ bisa dikerjakan.
Punya waktu sekali, gunakan yang berarti. Sebab,
waktu adalah ibarat pedang, kata Nabi, jika kamu
tidak mampu mempergunakan pedang itu sebaik-
baiknya, maka ia akan memotong lehermu.
Kata Syaikh Hasan Al Bashri: ”Setiap hari yang pada
saat itu fajar mulai terbit, pasti ada satu penyeru dari
Hadirat Yang Maha Haq: Wahai Anak Cucu Adam!
Saya adalah waktu, makhluk yang tercipta. Setiap
amalanmu aku menyaksikanya. Karena itu,
berbekallah kalian dariku dengan amal yang shaleh.
Karena aku tidak akan kembali lagi hingga hari
kiamat.” Wallahu a’lam

Rabu, 29 Desember 2010

JANGAN MENJADI ORANG YANG TIDAK BERADAB DI HADAPAN ALLOH

Tiada meninggalkan sedikit pun dari kebodohan,
siapa yang berusaha akan mengadakan sesuatu
dalam suatu masa, selain dari apa yang dijadikan
oleh Allah didalam masa itu. (Al Hikam 25)
Orang yang meninginkan berpindah dari situasi
yang telah ditetapkan oleh Allah, dan inginnya itu
karena dirinya sendiri, maka orang ini adalah orang
yang masih tetap dalam keadaan bodoh. Atau orang
ini tidak bisa meninggalkan kebodohanya. Ia bodoh
dari sifat ketuhanan Allah SWT Yang Maha Kuasa,
Maha Menemukan.
Maka jika ada seorang murid, atau orang yang
meninginkan sadar kepada Allah. (Murid di sini
bahasanya di tasawuf. Bukan murid orang yang
mengaji, seperti di sekolah-sekolah. Tapi murid
yang menginginkan dekat kepada Allah. Bukan
murid yang menginginkan ilmu dekat, namun
orang yang sudah ingin mendekat kepada Allah).
Jadi bila ada orang yang menginginkan dirinya dekat
kepada Allah SWT, kemudian dia berada dalam
suatu keadaan, baik yang menyangkut badaniyah-
pakaian, makanan, tempat tinggal – maupun
qolbiyah atau hati- situasi sumpek, tidak enak dan
sebagainya- pokoknya keadaan dalam suatu waktu
tertentu, dan keadaan itu tidak dikecam oleh syara ’
dan tidak dilarang oleh Allah, hanya karena tidak
enak perasaan kita, tapi syara ’ tidak melarang.
Kalau seorang murid sudah dalam keadaan itu
sebaiknya kita menyikapinya dengan memperbaiki
adab-adab kita melaksanakan apa yang ada itu saja.
Bukan bagaimana kita berpindah dari situasi itu
kepada situasi yang lain. Kita harus ridha. Ridha
bahwa ini adalah ketetapan Allah misalnya, kita
dicoba; situasi ekonomi agak turun, ada musibah
kecil-kecilan, pokoknya sesuatu yang tidak
memngenakkan, marah, benci, ini kita jangan
berpindah, mencari yang enak, dan hanya karena
didorong rasa ingin. Bukan karena lillah. Itu tidak
tepat. Yang tepat ya kita menyikapinya dengan
ridha. Bahwa ini qadha-qadharnya Allah SWT.
Kemudian kita ikhtiar, bagaimana keadaan ini bisa
diselesaikan. Ini pun harus lillah dan billah. Kita tidak
boleh nggersulo, tapi harus kita terima dengan
ikhlas. Mungkin inilah yang terbaik bagi kita, supaya
kita lebih koreksi diri dan meningkat. Bahkan kalau
kita yakin bahwa ini semua adalah peringatan Allah,
ini yang tepat. Tapi kalau ingin begitu saja tidak enak
pingin enak, itu sama dengan binatang. Dan itu
adalah sikap orang yang tidak sadar kepada Allah.
Jadi, walau bagaimana usaha kita ingin berpindah
dari situasi tidak mengenakkan itu, kalau Allah tidak
menghendakinya tidak bisa. Ketika kita ikhtiar, untuk
keluar dari musibah, dan dari semua kesulitan,
semua itu harus semata lillah. Semata-mata, yu ’ti
kulla dzi haqqin haqqah. Hatinya pasrah tawakkal,
patuh bahwa ini adalah ketetapan Allah. Diterima
dengan baik. Dan bahkan ini kita syukuri karena kita
telah diperingatkan oleh Allah. Sampai Allah nanti
memindahkan kita dari situasi itu.
Seseorang, maqamnya mungkin ada yang tajrid,
ada juga yang kasab. Maqam tajird, yaitu maqam
nyepi dengan menyepinya itu, seringkali Allah
mencukupi kebutuhanya. Ia juga tidak tamak, dan
tidak bergantung dengan pemberian orang lain. Ia
hanya menggantungkan diri kepada Allah. Ini
namanya maqamnya tajrid.
Sedangkan makam kasab, yaitu orang yang diberi
maqam usaha. Usahanya itu pun tidak merusak
agamanya, tidak merusak imanya, bahkan ia
senantiasa tetap menggantungkan diri kepada Allah,
bukan kepada pekerjaanya. Ini namanya maqam
kasab.
Tetapi apabila ada orang yang ditetapkan di maqam
tajrid, tergoda saat ia melihat orang kasab lebih
enak, lebih kaya daripada dirinya (ini menyangkut
ma ’isyah). Kemudian ia ingin pindah tajrid ke kasab.
Artinya dia merasa “Ah, nggak enak tajrid. Aku
bekerja saja biar enak.” Niatnya bukan yu’ti lagi, tapi
binafsi, karena nafsu. Bukan yu’ti lillah, tapi karena
untuk mengisi bidang saja, sebab ia punya
tanggung jawab besar.
Kalau dalam kepindahanya itu terbesit niatan,
“ Barangkali Allah juga meridhai.” Ini lain. Tapi kalau
hanya karena melihat tetangganya yang kasab lebih
kaya, lebih enak. Lalu ia tidak terima diberi tajrid,
yang nafkah dan rezekinya hanya setetes demi
setetes serta hanya cukup untuk dimakan.
Kemudian dorongan ini membuatnya ngotot mati-
matian bekerja karena ‘ingin’ lebih baik, ini tidak
boleh.
Atau orang kasab, yang sudah punya pekerjaan
enak, lancar, tapi ketika ada kesulitan fisik sedikit, dan
kemudian ia tahu seorang tajrid, “Wah, enak kyai
itu, lahiriyahnya duduk-duduk saja, jalan-jalan tok,
dapat duit, ” lalu ia ingin tajrid, hanya melihat
dorongan melihat orang lain sekilas enak itu tadi.
Atau sebaliknya, yang tajrid, ketika ia memandang
orang yang bekerja enak, duitnya banyak, semua itu
adalah pandangan nafsu.
Orang yang berpindah dari keadaan, baik dari tajrid
ke kasab atau dari kasab ke tajrid hanya kerena
dorongan nafsu ingin enak, maka orang seperti itu
adalah yang sedikit sekali adabnya kepada Allah.
Bahkan jika perlu bukan hanya adabnya sedikit, tapi
bahkan tidak punya adab. Ia telah berani kepada
Allah. Sudah ditetakan ingin pindah. Pindahnya
binafsi, lagi sebab nafsunya. Bukan lillah untuk
ikhtiar. Ini hati-hati. Kadang-kadang kita memandang
tetangga kita menanam jeruk, teman kita menanm
padi, kita ikut menanam padi. Tetangganya tajrid,
kita ingin tajrid. Ketika sudah diberi tajrid, ingin
bekerja agar bisa kaya. Orang ini hanya di ombang-
ambing nafsu dan suul adab kepada Allah. Dan dia
adalah orang yang bodoh sekali, karena melakukan
sesuatu yang tidak pantas di hadapan Allah. Di
hadapan Allah itu seharusnya pasrah, tawakkal,
tadhallul, tadharru ’. Nah, dia ini di depan Allah malah
banyak tingkah, tidak patuh sama sekali.
Dalam dunia murid ada istilah qabdhu dan basthu.
Istilah ini adalah bagi seorang murid dalam thariqah
atau murid dalam tasawuf. Kalau di sekolah ya
istilahnya bukan qabdhu atau basthu. Ya marah,
atau senang karena dapat uang, atau nilainya bagus.
Jadi, qabdhu dan basthu ini adalah halul qalbi yang
yurodu ala qolbihi. keadaan hati yang diberikan Allah
kepada hatinya murid, yang berhubungan dengan
nur-nur ilahiyyah atau nurul ma ’rifah. Kalau
demenya (senangnya) murid di SMP SMA, ya bukan
qabdhu. Ya hanya senang, begitu saja. Ini semua
bahasanya dalam disiplin ilmu tasawuf. Jadi bagi
pendengar dari luar supaya memahami disiplin
istilah ini. Agar nanti tidak miss interpretasi, atau
salah faham dengan istilah-istilah tasawuf. Sehingga
nanti tidak ada masalah yang timbul dari kesalah
pahaman ini.
Jadi, qabdhu dan basthu itu hanya berlaku dalam
dunia tasawuf, walau artinya bisa saja diterapkan
dalam hal lain. Tapi konteksnya adalah suatu
keadaan hati yang diberikan oleh Allah di dalam hati
seorang murid. Bukan senang karena dapat mobil,
dapat duit banyak dan sebagainya. Bukan itu yang
dinamakan basthu. Tetapi, ini menyangkut nur
ilahiyyah yang diberikan Allah sehingga Allah
menciptakan suatu keadaan hati, sumpek tanpa
sebab, senang tanpa sebab, berbunga-bunga karena
berhubungan dengan hadratullah SWT.
Orang yang diberi maqam atau keadaan qabdhu,
sumpek tanpa sebab, selalu bergetar, merasa kecil
dihadapan Allah, selalu minder di hadapan Allah,
nelongso dihadapan Allah, kemudian muncul
nafsunya, ia tidak diterima diberi qabdhu. Lalu ia
berubah ingin ke basthu, ingin senang. Orang
seperti ini juga suul adab kepada Allah.
Karena itu, dalam sebuah kisah ada seorang yan
masyhur auliya ’ berkata: “Aku selama 40 tahun ini
tidak pernah oleh Allah dipindahkan kepada situasi
yang aku menjadi tidak suka. Dan aku tidak pernah
dipindahkan oleh Allah dari situasi yang menjadilan
aku benci kepada sesuatu. ”
Dalam keadaan apapun, ia tetap ridha, tetap basthu
dan senang terus. Ini bukan berarti dia tidak ada
perubahan-perubahan keadaaan. Ya mungkin ia
juga dicoba, tetapi ia tetap selalu ridha. Shingga
selama 40 tahun itu, ia tidak pernah merasa sengit.
Ada musibah ya Alhamdulillah, ia menyadari bahwa
ini cobaan Allah. Apalagi saat ia diberi rziki mal atau
rizki ma ’rifah, atau hal-hal tentang ma’rifah, ia
senantiasa bersyukur. Ia tidak lagi benci kepada
keadaan karena ia telah menyadari betul bahwa
semua itu yang membuat Allah. Sehingga ia tidak
ingin berpindah dari tempat satu ke tempat yang
lain, karena dia tidak pernah merasa susah. Ini
selama 40 tahun lamanya. Kok ada orang selam 40
tahun tidak pernah susah? Karena ia dalam
menghadapi masalah ya senang, apalagi
menghadapi yang enak.
Mengapa seorang wali demikian? Karena dia telah
memahami ilmu billah. Ilmu kepada Allah SWT,
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat
yang menentukan segala-galanya. Dan kita adalah
hamba ciptaan Allah. Dia menyadari betul
keadaanya, dan ia adalah orang yang telah ma ’rifah
kepada ketuhanan-Nya.
Maka Zainal Ali berkata, Man arafa nafsahu fa qad
arafa rabbahu. orang yang tahu keberadaan dirinya,
pasti tahu kedudukan Tuhanya. di balik sama saja,
orang yang tahu Allah, pasti tahu keududukan
dirinya. karena itulah dia ridha. Inilah … mengapa
auliya’ dalam kisah tadi selama 40 tahun tidak
pernah susah, hatinya ridha terus, senang terus.
Tidak lain karena ia telah ma ’rifah kepada Allah SWT.
Sesungguhnya benci atau tidak suka pada keadaan
yang telah diisyaratkan oleh para sufi, kemudian ia
pindah dari keadaan itu karena nafsunya sendiri,
atau karena keinginanya dan bukan karena lillah,
kemudian ia ingin memperbarui keadaan yang telah
ditentukan oleh Allah itu, orang ini telah berada pada
puncak kebodohan kepada Allah SWT. Dan telah
mencapai serendah-rendahnya adab di hadapan
Allah SWT. Dan ini juga merupakan bagian dari
menentang waktu yang telah diisyarahkan oleh ahli
sufi. Menurut mereka, ini adalah sebesar-besarnya
dosa yang telah dilakukan seorang khos, atau
seorang yang sadar kepada Allah.
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk
orang yang khusnul adab atau isa ’atil adab,
rendahnya adab. Mari, bagaimana sikap kita bila
Allah menetapkan kita dalam suatu keadaan. Apakah
kita ridha kemudian ikhtiar dengan lillah dan billah
atau malah nggersulo karena nafsu. Jika kita polah
(bertingkah) dan tidak terima Allah, ya kita termasuk
orang yang fii isa ’atil adab atau balaghoti ghoyatidz
dzunubi. Puncak dosa inda ahlil khos.
Kalau ‘indal am, mereka menganggap dosa-dosa itu
tidak berat. Tapi kalau indal khos, indal waliyullah, itu
sudah dosa yang sangat tinggi. Apalagi ma ’siatul
badani. Mengapa ma’siatul badani disini tidak
dibahas, kok ma’siatul qalbi terus yang dibahas?
Apakah ma’siatul badani itu tidak dosa, sepereti zina
dan sebagainya? Ya itu sudah perbuatan dosa yang
sudah jelas. Inda syar ’i saja pelakunya itu sudah di
cap ahli ma’siat, maka tidak perlu dibahas lagi inda
khos. Ini bukan berarti dosa-dosa jarawih atau
badaniyah tidak ada. Ini bahasannya dosa-dosa
adab kepada Allah. Pembahasan dosa-dosa fisik
seperti zina dan sebagainya indal khos sudah
berlalu. Itu jelas mutlak dosanya.
Karena itu jangan sampai kita tergelincir mencari
sesuatu yang kita mengira itu lebih enak. Tapi
sesungguhnya, keinginan untuk lebih enak itu
sebenarnya justru akan membuat kita tergelincir dari
rel-rel yang telah ditentukan Allah SWT. Mudah-
mudahan kita oleh Allah dijadikan orang-orang yang
senantiasa menerima apa yang diberikan Allah SWT.
Dan mudah-mudahan kita segera dipindahkan dari
situasi yang tidak sadar kepada Allah menjadi situasi
yang betul-betul sadar kepada Allah SWT. Amin-
amin ya rabbal alamin

Selasa, 28 Desember 2010

IMAN KEPADA KEAGUNGAN KITAB KITAB ALLOH

Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al
Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-
kitab yang telah diturunkan sebelummu.” (Al
Baqarah: 4).
Ayat ini menceritakan ciri-ciri lain para muttaqiin
(mereka yang bertakwa). Yaitu bahwa para
muttaqiin memiliki rasa iman terhadap Al Qur ’an
dan kitab-kitab Allah sebelumnya yang diturunkan
kepada para Nabi yang lain sebelum Nabi
Muhammad SAW. Iman disini artinya adalah bahwa
mereka meyakini segala isi Al Qur ’an dan Kitabullah
yang lain sebagai kebenaran yang tidak
terbantahkan. Konsekuensi dari keimanan tersebut
adalah bahwa seorang muttaqiin mesti menjadikan
Al Qur ’an sebagai panduan hidup mereka dalam
segala aspek kehidupan.
Selanjutnya, pada ayat di atas disebutkan bahwa ciri
ketakwaan tersebut bukan hanya beriman terhadap
Al Qur ’an. Namun juga beriman terhadap kitab-kitab
Allah selain Al Qur’an. Yaitu Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa AS, Zabur yang diturunkan
kepada Nabi Dawud AS dan Injil yang diturunkan
jepada Nabi Isa AS. Berdasarkan ayat ini,
pengingkaran terhadap kitab-kitab terdahulu tersebut
berarti juga menunjukkan ketidak sempurnaan
tingkat ketakwaan seseorang. Bahkan keimanan
seseorang tersebut diragukan.
Pada ayat di atas, keimanan terhadap Al Qur’an
disebutkan pertama kali sebelum keimanan terhadap
kitab-kitab suci yang lain. Dalam disiplin ilmu
balaghah (sastra arab), penyebutan sesuatu dengan
didahulukannya sesuatu tersebut daripada yang lain
menunjukkan bahwa sesuatu yang pertama kali
disebut tersebut merupakan sesuatu yang paling
penting dan utama. Artinya adalah bahwa Al Qur’an
merupakan kitab suci yang paling utama diantara
kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah Ta ’ala.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Al Qur’an
memiliki keunggulan dan keutamaan atas berbagai
kitab-kitab suci yang lain.
Pertama, bahwa Al Qur ’an adalah satu-satunya kitab
suci yang orsinil dan asli. Seluruh dunia saat ini
hanya ada satu model Al Qur ’an. Yaitu Al Qur’an
Mushaf Utsmani. Memang ada berbagai aliran
bacaan dalam Al Qur ’an yang kemudian dikenal
dengan berbagai madzhab bacaan (qiroaat). Namun
berdasarkan studi kesejarahan, berbagai ragam
qiroaat tersebut diajarkan sendiri oleh Rasulullah
SAW. Malah dalam sebuah hadits beliau
bersabda: ”Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan atas
tujuh huruf (model bacaan). “ (HR. Abu
Ya’la).Sehingga dengan demikian, keragaman
bacaan tersebut tidak merusak bacaan Al Qur’an.
Sebab keragaman tersebut adalah dari Allah Ta’ala.
Bukan rekayasa manusia.
Sementara berbagai kitab suci yang lain, keaslianya
diragukan. Allah sendiri telah mengisyaratkan hal ini
dalam Al Qur ’an,”Celakalah mereka yang menulis Al
Kitab dengan tangan-tangan mereka. Kemudian
mereka berkata: ‘Ini (Al Kitab palsu) dari Allah’.
(semua itu mereka lakukan) supaya mereka dapat
membeli (dunia) dengan harga yang murah. ” (QS.
Al Baqarah: 79).Misalnya kitab Injil. Kitab ini memiliki
ratusan versi. Ketika dilakukan konsili (sidang Gereja-
gereja) Nicea, sekitar 300 M, telah ada sekitar 300
versi Injil. Dimana masing-masing versi tersebut
memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Kemudian, Kaisar Constantin I mendekritkan Markus
versi Injil saja yang disahkan. Yaitu versi Matius,
Lukas, Markus dan Yohanes. Pengesahan ini
menurut para ahli sejarah sarat dengan tendensi
politik Kaisar.
Berbagai kepalsuan Al kitab tersebut Nampak jika kita
mengamati berbagai isinya. Bukan hanya itu. Kitab-
kitab suci selain Al Qur ’an diatas memuat hal-hal
yang menjijikkan yang tidak pantas untuk dimuat
dalam sebuah buku pelajaran sekolah sekalipun.
Apalagi jika dimuat dalam kitab suci. Misalnya
ungkapan berikut: ”Aku bagaikan tembok dan buah
dadaku bagaikan menara.” (8: 10).“Sosok tubuhmu
seumpama pohon kurma dan buah dadamu
gugusanya. Kataku, ‘Aku ingin memanjat pohon
kurma itu dan memegang gugusan-gugusannya’.
Kiranya buah dadamu seperti gugusan anggur dan
nafas hidungmu seperti buah apel. ” (7: 7-8).
Kita juga bisa melihat berbagai penodaan terhadap
para Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
Misalnya di Ulangan 2: 19, disitu diceritakan
bagaimana Nabi Luth berzina dengan kedua anaknya
sendiri. Dalam kejadian 32: 28 dikatakan bahwa Nabi
Ya ’kub dikutuk oleh Tuhan sehingga Tuhan tiada lagi
sudi menyebut namanya. Dan masih banyak lagi
berbagai keganjilan yang menunjukkan kepalsuan
kitab-kitab terdahulu (Injil dan Taurat) saat ini.
Dan diantara keempat versi tersebut, saat ini yang
masih asli pun diragukan. Sebab saat ini versi-versi
Injil tersebut telah diterjemahkan kedalam berbagai
bahasa di dunia. Dan diantara masing-masing versi
terjemahan tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
makna mendasar. Sementara versi yang asli dalam
bahasa Aramaic pun nyaris tidak dikenal oleh
kalangan Kristiani. Sudah tentu keaslian kitab-kitab
tersebut sangat diragukan.
Kedua, Al Qur’an bersifat syaamil. Artinya, seluruh
aspek kehidupan manusia dibahas didalam Al
Qur ’an. Bagi mereka yang berdoa, mereka dapat
menemukan bimbingan dari Al Qur’an. Bagi para
penguasa, mereka juga dapat menemukan
bimbingan dari Al Qur ’an. Bidang-bidang ekonomi,
keluarga, pemerintahan dan pergaulan, juga tidak
terlepas dari bahasan Al Qur ’an. Pendeknya, tidak
ada satu pun bidang kehidupan yang tertinggal dari
Al Qur ’an. Hingga Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
berkata,”Andaikan aku kehilangan tali kendali unta,
saya pasti akan menemukan jawabanya di dalam Al
Qur ’an.”
Sementara kitab-kitab suci yang lain sangat parsial.
Kitab Injil misalnya, disana tidak membahas hukum-
hukum perang, jual-beli, rumah tangga, dan lain-
lain. Kitab Zabur hanya berisi puji-pujian dan doa-
doa. Sedang kitab Taurat yang ada saat ini penuh
berisi hal-hal yang tidak masuk akal dan menjijikkan.
Ketiga, Al Qur’an selalu dapat dibuktikan
kebenaranya dengan akal. Bahkan banyak yang
mendahului penemuan akal manusia. Jauh sebelum
manusia menemukan ilmu bedah dan pemantauan
kandungan, Allah Ta ’ala telah menginformasikan
dalam Al Qur’an tahapan-tahapan pembentukan
janin manusia. Allah berfirman:”Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) di tempat yang kukuh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang. Lalu tukang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah,
Pencipta Yang Paling Baik. ” (QS. Al Mu’minuun: 14).
Sementara berbagai kitab suci lain yang saat ini ada
banyak yang bertentangan dengan akal sehat
manusia. Dalam Perjanjian Lama (Old Testinoniy)
misalnya, terdapat kisah bagaimana Nabi Ya ’kub
bergulat dengan Allah (Kejadian 32:28). Sudah tentu
ini merupakan suatu hal yang tidak masuk akal.
Lebih menakjubkan lagi adalah bahwa dalam
pergulatan itu Allah kalah. Subhanallah!
Ayat diatas juga mengisyaratkan kepada kita bahwa
seluruh kitab-kitab agama samawi berasal dari
sumber yang sama. Karena itulah, jika misalnya ada
kemiripan antara AL Qur ’an dengan berbagai kitab-
kitab yang terdahulu., hal itu bukan berarti jiplakan.
Tapi suatu kewajaran. Bukankah semua berasal dari
sumber yang sama?!.
Ada beberapa kesamaan utama antara Al Qur’am
dengan ktab-kitab suci sebelumnya. Antara lain
dalam masalah tauhid. Semua kitab-kitab suci
terdahulu yang masih murni pasti mengajarkan
tauhid. Hanya saja kemudian timbul berbagai
tambahan dalam kitab-kitab suci terdahulu (Taurat
dan Injil) yang menyimpang dari tauhid. Seperti
ajaran Trinitas misalnya. Atau jika di dalam Taurat,
kita akan menemukan banyak sekali kisah-kisah
yang berisi peleceham terhadap kesucian Allah dan
para Nabi.
Diantara kesamaan yang lain adalah masalah
keyakinan tentang kiamat dan alam akhirat. Semua
kitab-kita suci mengajarkan masalah ini. Dan untuk
dua hal ini, sebagaian besar kitab-kitab suci tersebut
relatife sama. Ini yang membedakan kitab-kitab suci
samawi. Kitab Weda (Hindu) dan Tripika (Budha)
misalnya, di sana tidak ada istilah kiamat. Menurut
ajaran Weda, seluruh makhluk akan terus hidup.
Demikian dengan dunia. Menurut Weda, dunia tidak
akan pernah mengalami kiamat. Yang ada menurut
Weda adalah Reinkarnasi(tanassukh) dan Karma.
Yaitu bahwa makhluk hidup akan selalu lahir kembali
dengan berbagai bentuk baru (tanassukh) sesuai
dengan amal perbuatanya dalam kehidupan
sebelumnya (karma). Demikian terjadi secara terus-
menerus. Allahu a ’lam

Minggu, 26 Desember 2010

CERDAS RUHANIAH DENGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH

Sebagaian besar manusia modern mengalami rasa
dahaga dan miskin spiritual. Mereka mengalami
suasana kehampaan, bahkan menurut Erich Fromm
sebagai orang yang merasakan kesepian ditengah
keramaian. Orang-orang yang miskin di tengah
limpahan kekayaan sebagaimana dialami oleh
multimilioner Howard Hughes. Bagaikan ayam mati
kelaparan di lumbung padi. Mereka terguncang.
Bahkan mereka selebritis yang di tohok popularitas
dan limpahan materi, melirik pada dunia spiritual.
Dan tidak sedikit diantara mereka yang mengisi
kekosongan ruhaninya itu dengan mengikuti
kelompok atau aliran yang bersifat mistik, serta
paham-paham baru yang mencoba menggali
spiritual dari sudut pandang dan pemikiranya sendiri
tanpa mau menerima ajaran agama yang sudah
mapan. Sikap seperti ini pada akhirnya melahirkan
sebuah aliran yang sudah lama dikenal di lingkungan
kita dengan apa yang disebut aliran kepercayaan
atau aliran kebatinan, sebagaimana di Amerika
tumbuh berbagai aliran spiritual, seperti New Age,
New Thought, Iluminasi, Fremansonryy dan lain
sebagainya.
Rasa dahaga dan kemiskinan sepiritual makna hidup,
mereka salurkan memaknai dunia kearifan yang
berasal dari dunia Timur. Mereka melihat nilai-nilai
sepiritual tersebut dalam prespektif budaya, bukan
agama. Mereka pun menyelami nilai-nilai spiritual
tersebut dengan cara aktif ikut belajar yoga, meditasi
dan menjadikan tokoh-tokoh dari Timur semacam
Mahatma Ghandhi sebagai sosok yang paling pantas
menjadi model atau tipe orang yang cerdas secara
spiritual.
Sayangnya, dalam upaya pencerdasan spiritual
tersebut mereka tidak menjadikan Al Qur ’an dan
Hadits sebagai rujukan, sehingga mereka
memahami kecerdasan spiritual hanya sebagai
potensi yang khas di dalam jasad, tanpa
mengkaitkanya secara jelas dengan kekuasaan
Tuhan. Alhasil, ruhaniah mereka tetap hampa dan
rapuh. Hal ini diperarah dengan penafsiran salah
mereka bahwa agama hanya dipandang sebagai
penemuan orang-orang arif belaka. Bagi mereka,
agama tidak memberikan kebebasan pencarian
kebenaran ilmiah. Keyakinan mutlak terhadap ajaran
agama melahirkan sikap yang otokratis yang
bertentangan dengan nilai demokratik sehingga tidak
memberdayakan daya imajinasi kreatifnya.
Padahal, ajaran Islam memberikan keleluasaan
kemerdekaan bagi pemeluknya untuk
mempergunakan kecerdasan spiritualnya melakukan
eksplorasi, tetapi kata kuncinya tetap berawal dan
berakhir kepada Tauhid, sebagaimana firman
Allah: ”Yaitu orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi. ” (QS. Ali Imran: 19).
KECERDASAN RUHANIAH
Sebelum membahas secara luas apa itu kecerdasan
ruhaniah yang biasa disebut dengan kecerdasan
spiritual serta pendapat para ahli mengenai
kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengetahui
pendapat Sayyidina Ali RA dalam memaknai
kecerdasan. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA,
kecerdasan adalah: karunia tertinggi yang diberikan
Tuhan kepada manusia. Ia akan mencapai puncak
aktualisasinya jika diperuntukkan sebagaimana visi
dan misi penciptaan dan keberadaannya yang
ditetapkan Tuhan baginya.
Dannah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT
(Massachusetts Institute of Tehnology), dan
menyelesaikan post graduate dibidang psikologi,
agama dan filsafat di Harvard Univerity, dalam
bukunya SQ (Spiritual Intelligence) mengatakan
bahwa, ”kecerdasan spitirutal adalah kecerdasan
untuk menghadapi dan memcahkan persoalan
makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks
makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ
dan EQ secara efektif.
Sementara itu Jalaludin Rahmat dalam pengantarnya
di buku SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam berfikir Integralistik dan Holistik untuk
memaknai Kehidupan, menukil pendapat Khalil
Khavari menjelaskan bahwa kecerdasan Spiritual
adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh
manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita
semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti
apa adanya, menggosoknya sehingga berkilap
dengan tekad yang besar dan menggunakannya
untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua
bentuk kecerdasan lainya, kecerdasan spiritual dapat
ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi,
kemampuanya untuk ditingkatkan tidak terbatas.
Toto Tasmara, penulis sekaligus dai yang sufistik
dalam bukunya, Transcendental Intelligence
(Kecerdasan Ruhaniah) memaknai kecerdasan
ruhaniah dengan kemampuan seseorang untuk
mendengarkan Hati nuraninya atau bisikan
kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya
mengambil keputusan atau melakukan pilihan-
pilihan. Berempati, dan beradapsi. Lain lagi pendapat
dalam bukunya ESQ (Emotional Spiritual Quation).
Ari mengatakan, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah
terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah,
menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki
pola pemikiran tauhid serta berprinsip, “Hanya
karena Allah (lillah).”
Dari bebagai pendapat diatas, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah
bersumber dari fitrah (God Spot) manusia itu
sendiri. Kecerdasan ini tidak dibentuk melalui
diskursus-diskursus atau memori-memori
fenomenal, tetapi merupakan aktualisasi fitrah itu
sendiri. Ia ‘memancar’ dari kedalaman diri manusia,
jika dorongan-dorongan keingintahuan dilandasi
kesucian, ketulusan dan tanpa pretense egoism.
Dalam bahasa yang sangat tepat, kecerdasan
spiritual ini akan aktual, jika manusia hidup
berdasarkan visi dasar dan misi utamannya, yakni
sebagai ’abid dan sekaligus khalifah Allah di muka
bumi.
Sebagai Khalifah Allah atau Wakil Tuhan di bumi,
manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini
menjadi kehidupan yang baik dan benar serta
diridhai Allah SWT. Namun didalam menjalankan
fungsinya sebagai khalifatullah manusia tidak bebas
begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti
haluan garis besar pokok yang harus dituju oleh
manusia, sebagaimana ketetapan Allah dalam Al
Qur ’an.”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz
Dzariyat: 56).
Manusia sebagai ‘abid, hamba Allah hendaknya
orientasi hidupnya diarahkan untuk mengabdikan
diri beribadah kepada Allah SWT, dan dijadikan
sebagai pelaksanaan dari liya ’buduun. Artinya, agar
jin dan manusia mengenal (sadar) kepada Allah. Jadi,
segala hidup dan kehidupan manusia maupun jin
menurut penafsiran Ibnu Abbas RA harus
sepenuhnya diarahkan atau sebagai saran untuk
makrifat, mengenal Allah SWT.
Istilah Wahidiyah, sebagaimana sering difatwakan
Romo Yahi RA, orang yang senantiasa lillah billah
adalah orang yang wushul (makrifat) kepada Allah.
Dan orang yang senantiasa lillah billah adalah orang
yang dapat beribadah setiap saat.
TAKWA INDIKATOR CERDAS RUHANIAH
Menurut Kyai Subhan Khotib, dai muda asal
Sumenep Madura, indikator orang yang cerdas
ruhaninya adalah dia yang memiliki sense of
responbility atau takwa yang terefleksi dalam
kehidupan nyata sehari-hari. Takwa bukan hanya
sekedar pengetahuan, tetapi merupakan sikap dan
tindakan didalam menerima sesuatu sebagai
amanah dengan penuh rasa cinta ingin
menunaikanya dalam bentuk amal-amal shaleh.
Dalam arti dia harus merealisasikan pengetahuannya
dalam wujud amal nyata sehari-hari dengan penuh
tanggung jawab dan rasa cinta dengan semata-
mata mengharap ridha Allah. Seorang santri sangat
tahu hukum-hukum syariat agama. Bahkan dia
dididik langsung untuk mengerathui dan
mengamalkanya. Akan tetapi, dalam kenyataannya
sikap dan perilakunya tetap saja tidak berubah
sebagaimana ketika belum menjadi santri. Dia tidak
bisa dikatakan sebagai orang yang bertakwa. Karena
dia tidak bertanggung jawab, tidak amanah atas
pengetahuan yang telah diperolehnya dan tidak
mewujudkannya dalam pencapaian amal nyata
sehari-hari.
Takwa sebagai bentuk tanggung jawab hanya
sinkron dengan kebaikan saja. Takwa hanya dapat
bersanding dengan prinsip keimanan. Selain itu,
tidak ada takwa atau tanggung jawab. Sehingga
seseorang tidak diperkenankan untuk mengikuti apa
saja di luar pengetahuanya, karena seluruh
keputusanya akan dimintai pertanggung
jawabannya. Sebagaimana firman Allah:”Janganlah
kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki
pengetahuan tentang hal tersebut, karena
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawabanya. ” (QS. Al Isra:
36).
Karena rasa tanggung jawab itu pula maka seorang
muslim tidak mungkin menghianati hati nuraninya
dengan melakukan perbuatan dosa dan
permusuhan. Karena prinsip keimananya lebih
menekankan pada perdamaian dan penghargaan
yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itulah Allah berfirman: ”Dan tolong-
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. ” (QS. Al Maidah: 2).
Dengan demikian, takwa berkaitan dengan masalah
nurani. Sehingga takwa merupakan hasil dari
pencerahan qalbu yang senantiasa berada pada
posisi menerima curahan cahaya ruh yang
bermuatkan kebenaran dan kecintaan kepada Allah
SWT. Karena itulah orang yang bertakwa akan selalu
berbuat dan bertindak di atas kebenaran dan
kebaikan saja. Dan akan selalu meminta nasihat
kepada qalbunya. ”Mintalah nasehat pada dirimu,
mintalah nasehat pada hati nuranimu wahai
Habhishah (Nabi mengulang tiga kali). Kebaikan
adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan
membuat hati senang. Dosa adalah sesuatu jiwa
tidak tentram dan dosa terasa bimbang di dalam
hati. ” (HR. Ahmad).
Itulah mengapa Rasulullah SAW (sambil
menunjukkan jari tangan ke dadanya) bersabda: ”At
takwa hahuna,” takwa itu ada disini (di qalbu).
Untuk memelihara prinsip tanggung jawab atau nilai
tersebut, orang yang merindukan kecerdasan ruhani
akan senantiasa berupaya membersihkan hatinya
(tazkiyatun nafs) agar dinding qalbunya menerima
cahaya nurani yang terus-menerus membisikkan
kebenaran Ilahiah.
MEMILIKI VISI
Orang yang cerdas ruhaninya sangat menyadari
bahwa hidup yang dilakoninya bukanlah ‘kebetulan’
melainkan sebuah kesengajaan yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab
terhadap masa depan. ”Hai orang-orang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari
esok. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala yang kamu
kerjakan. ” (QS. Al Hasyr: 18).
Menghayati makna ayat tersebut diatas seakan
memperingatkann setiap orang akan visi atau tujuan
hidupnya. Serta persiapan apa yang dilakukannya
untuk mencapai harapan tersebut. Tentu saja orang
yang ingin mempertajam kecerdasan ruhaninya,
menetapkan visinya melampaui wilayah yang
bersifat duniawi, dan menjadikan qalbunya sebagai
suara hati yang selalu didengar. Karena itu visi atau
tujuan hidup setiap muslim yang cerdas ruhaninya,
akan menjadikan perjumpaan dengan Allah sebagai
puncak dari pernyataann visi pribadinya yang
kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik
yang terukur dan terarah. Perjumpaan dengan Allah
atau kerinduan untuk pulang ke kampung akhirat
merupakan obsesi yang mendorong dirinya untuk
menjadikan dunia hanya sekedar hamparan sajadah
ibadah, sebuah perjalanan yang harus kembali
pulang ke akhirat dengan membawa bekal serta
memenuhi seluruh tanggung jawabnya untuk dapat
berjumpa dengan sang kekasih sejati yaitu Allah
SWT.
MERASAKAN KEHADIRAN ALLAH
Mereka yang cerdas secara ruhaniah, merasakan
kehadiran Allah dimana saja dan kapan saja mereka
berada. Mereka meyakini sepenuh hati ada kamera
Ilahiah yang terus menyoroti gerak-geriknya.
Mereka juga merasakan serta menyadari bahwa
seluruh bisikan hatinya diketahui dan dicatat Allah
tanpa ada satu pun yang tertinggal. Mereka
merasakan pengawasan Allah. Allah
berfirman: ”Sesungguhnya telah Kami ciptakan
manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan
hatinya. Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
nadinya. ” (QS. Qaaf: 16).
Takwa tidak mungkin tumbuh kecuali ada kesadaran
yang sangat mendalam, bahwa Allah senantiasa
tampak dimanapun kita berada dan tampak dalam
pandangan mata batinnya. Kesadaran bahwa Allah
senantiasa bersamanya dan perasaan bahwa Allah
menyaksikan dirinya, merupakan fitrah asasi
manusia yang telah melekat pada saat manusia
masih berada di dalam ruhani. Pesan ke-Ilahian
yang berupa perjanjian moral dan pengakuan
keberadaan Tuhan itu berbunyi: ”Bukankah Aku
Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan
Kami), kami menjadi saksi. ” (QS. Al A’raf: 172).
Dengan kesadaran inilah, maka nilai-nilai moral akan
terpelihara. Karena seluruh tindakannya berasal dari
pilihan hatinya yang tercerahkan Nur Ilahiyah, akan
melahirkan kemampuan untuk terus berjalan ke
depan di atas prinsip-prinsip iman yang sangat
merindukan perjumpaan dengan-Nya.
Tentu saja, perasaan kehadiran Allah didalam hati
tidak akan begitu saja, melainkan harus dilatih
melalui keheningan batin dan menjalankan riyadhah-
riyadhah qalbiyah. Menerapkan ajaran Wahidiyah
lillah billah dan seterusnya secara terus-menerus
serta dipupuk dengan Mujahadah Shalawat
Wahidiyah.
AHLI DZIKIR DAN DOA
Dzikir atau mengingat Allah adalah amaliah yang
tidak pernah ditinggalkan oleh mereka yang cerdas
ruhaniyahnya. Dzikirnya da-iman (terus-menerus)
berkesinambungan tanpa diselingi. Baik waktu
berdiri, duduk maupun berbaring. Diwaktu sunyi
maupun ramai. Diwaktu sibuk maupun santai. Di
waktu senang maupun susah. Ingat Allah meskipun
di waktu marah. Pendek kata, hatinya senantiasa
tawajuh kepada Allah fi kulli lamhatin wa nafasin.
Dzikir merupakan tiang yang kuat dalam menuju
whusul kepada Allah, juga sebagai langkah utama
dalam menggapai cinta Ilahi jika tidak mengningat-
Nya secara terus-menerus. Orang yang beriman
dan cinta kepada Allah hatinya selalu dihiasi dengan
dzikrullah, karena dzkir telah menjadi santapan qalbu
mereka . hidup tanpa terus mengingat Allah, adalah
hampa dan kering. Kalau kita mencintai seseorang
misalnya, kita akan senantiasa mengenang dan
menyebut-nyebut namanya. Oleh karena itu,
siapapun yang dalam hatinya telah tertanam cinta
akan Allah, disitulah dzikir akan terus terlantunkan.
Jadi, sebenarnya kita bisa mencapai mahabbatullah
dengan menempuh jalan dzikrullah.
Mereka yang cerdas secara ruhani juga menyadari
bahwa doa mempunyai makna yang sangat
mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa, mereka
memiliki sikap optimis. Karena doa pada hakekatnya
adalah rintihan seorang hamba yang memiliki
harapan untuk memperoleh kemuliaan, pertolongan
Allah SWT dan sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan menuju Allah. Begitu dahsyatnya doa
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga
dapat mengubah takdir.
Mengingat doa merupakan bagian dari dzikir, dan
dzikir adalah keyakinan yang mendalam bahwa aku
selalu dilihat oleh Tuhanku. ” Maka dalam berdoa,
mereka merasakan dirinya sedeng beraudensi
dengan Tuhanya. Ia menghadapkan seluruh wajah
batinya kepada Allah dengan bersungguh-sungguh
penuh rasa rendah diri dan rasa cemas tetapi
sekaligus penuh harap. Dia yakin bahwa Allah tidak
akan pernah memalingkan wajah-Nya dari hamba-
hamba yang memohon dengan penuh
kesungguhan menyatakan suara batinya dengan
optimis. Dia sangat yakin bahwa Allah tidak akan
pernah mengingkari janjinya untuk mengabulkan
permohonan hamba-Nya yang berdoa. Allah tidak
pernah mengenal kata jemu untuk mendengarkan
hamba yang menjerit meminta petunjuk-Nya. Karl
Jesper mengatakan bahwa, ”Tuhan adalah satu-
satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan
doa manusia. ” Allah berfirman:”Berdoalah kepada-
Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al
Mukmin: 60).
Perihal doa ini, Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul
Latif RA dawuh, ”Kalau doa itu didalami dengan
sungguh-sungguh, maka akses dari doa itu sendiri
mutlak diatas semua ikhtiyar manusia. ”Beliau lantas
mencontohkan kekuatan doa ini dengan
kemenangan pasukan perang muslim di zaman
Khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi pasukan
Rumawi, Negara adidaya kala itu yang notabene
bersenjata lengkap dan canggih. Sementara
persenjataan kaum muslimin sangatlah terbatas dan
amat sederhana. Namun dibalik itu semua, ada
kekuatan dahsyat yang tidak dapat dikalahkan
dengan senjata super canggih sekalipun yakni doa.
Banyak orang yang kagum dan heran akan
kebesaran Wahidiyah yang dalam waktu relative
singkat sudah me-Nasional bahkan go Internasional.
Ketika Romo Yahi RA ditanya apa rahasianya? Beliau
menjawab, ”Hanya satu, Bid-du’a (dengan doa).
Tentu saja doa bukan sembarang doa tapi doa yang
berkualitas. Berdoa dengan nama Kebesaran Allah
bijahi Sayyidima Muhammadin SAW. Para ulama
sepakat, bahwa barangsiapa berdoa dengan nama
kebesaran Allah juga malalui nama dan hak
kebesaran Rasulullah SAW, ijabah doanya.
SHALAWAT WAHIDIYAH DAN KECERDASAN
RUHANIAH
Kecerdasan Ruhaniah adalah kebeningan batin akibat
pancaran nur-nur Ilahiah yang menyinari hati
seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Pancaran
Nur tersebut selanjutnya akan menuntun hatinya
menggerakkan lahiriyah: untuk berbuat, berkreasi,
beramal dan beribadah kepada Tuhanya dengan
sebenar—benarnya.
Untuk meraih kebeningan batin (kejernihan hati)
yang notabene syarat utama menghadap Allah, di
akhir zaman ini, tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Apalagi kalau tidak ada seorang guru kamil-
mukamil yang menuntun. Sementara, untuk
menemukan seseorang guru penuntun pun sangat
sulit. Saking sulitnya, dalam sejarah para sufi,
mereka kemudian melakukan uzlah, bertapa,
riyadhah dan sebagainya. Ini menunjukkan, bahwa
kecerdasan ruhaniah tidak bisa dicapai dengan main-
main. Agar ruhani cerdas, batin menjadi bening
sehingga bisa mencapai wushul kepada Allah di
akhir zaman ini, khususnya bagi orang yang banyak
dosa, bagi orang bodoh secara ruhaniah, menurut
kalangan sufi, salah satunya adalah dengan
membaca Shalawat.
Karena shalawat banyak sekali macamnya, maka
sesuai dengan situasi dan tuntutan zaman, sudah
seharusnya kita mengamalkan shalawat yang dapat
memberikan faedah bagi kebeningan batin dan
ketentraman jiwa. Atau shalawat yang
mendatangkan kecerdasan ruhaniah, yang
mendorong pada peningkatan iman dan takwa,
peningkatann ingat dan sadar (wushul) kepada Allah
wa Rasulihi SAW.
Secara umum, membaca shalawat kepada Nabi
SAW memang dapat mengantarkan whusul. Tetapi
hal itu pada dasarnya tidak lepas dari niat awalnya.
Bahwa kita membaca shalawat ini bertujuan sebagai
tahriqah (jalan) menuju Allah. Sebab, jika membaca
shalawat hanya niat untuk mendapatkan karomah,
ingin diberi ilmu hikmah, ingin hutang-hutangnya
terbayar, ekonominya lancar dan sebagainya, maka
bacaan shalawat itu tidak akan menyampaikan kita
kepada Allah. Shalawat yang kit abaca paling-paling
hanya membuat kita diberi karomah, doa kita ijabah,
apa yang diucapkan terjadi, kesulitan-kesulitan kita
teratasi, dan sebagainya. Dan ini, menurut para sufi,
adalah salah satu rintangan bagi seorang murid
dalam menuju Allah. Mereka banyak tergiur oleh
godaan itu, hingga perjalananya menuju Allah putus
ditengah jalan.
Dan Alhamdulillah, Shalawat Wahidiyah dikaruniai
faedah menjernihkan hati dan makrifat billah.
Menjadikan hati bening, membuat ruhani cerdas dan
mengantarkan wushul kepada Allah. Shalawat
Wahidiyah, dimana setiap hurufnya mengandung
nadrah, apabila diamalkan dengan sungguh-
sungguh dan mengikuti tuntunan-tuntunan yang
telah ditetapkan, baik cara membacanya, adab-
adabnya, penerapan ajaranya, apalagi jika disertai
dengan riyadhah qalbiyah, maka akan mampu
membuka fadhal Allah serta mengekang pengaruh
nafsu, sehingga hati selalu yuthufullaha daiman, atau
thawaf bergerak sowan dan sadar ke hadirat Allah
SWT.
Jika seseorang telah sadar kepada Allah, maka dalam
hatinya akan timbul kesadaran-kesadaran yang lain.
Kesadaran bermasyarakat, kesadaran berbangsa,
kesadaran bernegara, dan kesadaran-kesadaran
yang lain sesuai bidang masing-masing. Dan ini
merupakan dari ruhani yang cerdas. Dengan kata
lain, ruhani yang cerdas memiliki pengaruh yang
besar bagi kecerdasan lahir. Sebaliknya, akal yang
cerdas (lahir), belum tentu bisa membuat ruhani
menjadi cerdas. Bahkan mungkin sebaliknya(?)
Sebagaimana kata Nabi dalam haditsnya riwayat Ad
Daylami RA, ”Barangsiapa yang hanya bertambah
ilmunya (kecerdasannya) tetapi tidak bertambah
hidayahnya (keimanan/ kecerdasan ruhaninya),
maka ia bukan semakin bertambah dekat kepada
Allah, melainkan justru semakin jauh dari
Allah. ”Wallahu a’lam bisshawab

Jumat, 24 Desember 2010

CAKRAWALA UNGU: ASING

CAKRAWALA UNGU: ASING

ASING

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW pernah
bersabda: ”Kemunculan Islam (pertama kali)
dianggap oleh orang-orang waktu itu sebagai
sesuatu yang asing. Dan, suatu saat nanti, Islam
akan kembali dianggap asing sebagaimana awal
kemunculanya. Maka alangkah untungnya orang-
orang yang di-cap asing itu. ” (Al Hadits)
Di zaman sekarang, menjadi orang yang ingin
meneladani Rasul dan salafus shalih kadang sama
artinya menjadi orang asing. Apalagi bila teladan itu
berupa perbuatan yang jarang dilakukan orang
kebanyakan. Terlebih lagi bila orang-orang yang
meneladani sunah Rasul itu ’dipandang’ sebagai
komunitas kecil dalam masyarakat. Mereka marjinal
secara profesi dan kumal secara status sosial.
Pengajian, dzikir, mujahadah, mendengarkan fatwa
seorang ulama hingga menangis tersedu-sedu,
dianggap asing. Asing, sebab orang-orang sekarang
jarang melakukanya. Asing, karena menyesali dosa
hingga menangis tidaklah umum. Hari-hari bagi
orang sekarang adalah waktu untuk tertawa,
bersenang-senang, bercanda ria, bersuka cita.
Katanya, hidup hanya sekali, kenapa dibuat sedih.
Hingga akhirnya, seluruh umur mereka habis untuk
bersenang-senang. Barulah kalau mereka tertimpa
musibah, tangis mereka pun mulai terdengar.
Padahal dalam beberapa haditsnya Rasulullah SAW
pernah mengecam: ”Barangsiapa berbuat dosa ia
masih sempat tertawa, maka ia kelak masuk neraka
dengan menangis. ” (HR. Abu Nu’aem dari Ibnu
Abbas RA).Dalam hadist lainya beliau bersabda:”Dua
jenis mata yang tidak akan menyentuh api neraka.
Pertama; mata yang menangis karena takut kepada
Allah. Kedua; mata yang semalaman tidak tidur
dalam sabilillah. ” (HR. Thabrani dari Anas bin Malik)
Di masa lalu, kita punya Umar bin Abdul Aziz,
seorang penguasa yang selalu menangisi dosa-
dosanya. Begitu juga dengan salafus salih yang lain.
Tetapi di masa kini, untuk melakoni ibadah seperti itu
sedemikian asing. Kalaupun pernah kita lakukan,
jangka waktu terhentinya mungkin demikian lama.
Hingga makna dan pengaruhnya tidak begitu besar.
Saat ini, betapa dunia yang kita huni terasa asing.
Asing, kala suatu hari kita pernah melihat orang-
orang melakukan amal shaleh. Asing, karena suatu
saat kita pernah mendapati sesama muslim
bersaudara. Asing, ketika di suatu tempat kita
menemukan seorang ulama tengah berjuang
menghidupkan kembali sunah Rasul. Asing, kala
suatu waktu kita melihat sekelompok orang tengah
berdzikir dengan menyebut-nyebut Raslulullah
SAW.
Lalu, apakah memang kebaikan itu disediakan untuk
orang-orang yang asing? Asing dari hiruk-pikuk
dunia yang panas. Dan kelupaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Disini, kita mungkin bisa merenungi kekuatan tekad
yang tersembul dibalik pernyataan Rasulullah SAW
” Kalau saja seluruh manusia menempuh jalan yang
nyaman, sementara kaum Anshar menempuh
lembah yang berduri-duri, aku akan memilih jalanya
orang-orang Anshar. ”
Ini ungkapan keimanan, sekaligus pernyataan
tentang kesiapan menghadapi keterasingan.
Terasing bila hidup hanya harus dengan orang-
orang Anshar itu. Maka Rasulullah pun tak kuasa
menahan tangis. Pipi dan janggut beliau basah oleh
air mata. Akhirnya, orang-orang Anshar itupun
turut menangis sesenggukan.
Jalan orang-orang Anshar itulah jalan ”Orang-orang
asing”. Tidak banyak yang mau melewati lembah
belukar yang memang dipenuhi onak dan duri.
Tetapi sekali lagi, itulah pilihan hidup Rasulullah dan
para sahabatnya. Pilihan untuk tetap berada dalam
jalur kebaikan, meskipun dianggap asing.
Bagian dari hidup dalam kebaikan adalah adanya
rasa terasing. Apalagi di tengah alunan badai
kemaksiatan yang banyak orang terlena dan hanyut.
Terasing, sebab tidak banyak yang mau berjalan
sealur. Malah mungkin kita dikucilkan. Hingga tak
jarang, banyak yang kemudian mundur teratur.
Mereka lebih memilih membunuh keterasingan itu.
Padahal keterasingan adalah pilihan hidup orang-
orang shaleh.
Bagi yang melihat dari luar, jalan ini memang
menyesakkan, menakutkan, serba tidak boleh.
Mungkin ia memang terasing. Tetapi mereka yang
merasakan ketentraman di jalan ini, tidak mau
dibelokkan ke jalan lain. Seperti dalam fragmen kisah
para sahabat Anshar di atas. Walau dibeli dengan
seluruh dunia. Karena diatas jalan inilah, orang-
orang asing itu bisa menghirup nafas sepuasnya.
Tanpa takut kepada siapapun, kecuali kepada
pemberi nafas, Allah SWT.
Kesiapan kita untuk menanggung hidup dalam
keterasingan sangat tergantung seberapa kuat kita
menempa diri dan mengasingkan diri dari nafsu
duniawi yang memperdayai kita. Tugas yang berat
ini, memang harus ditopang dengan aktifitas ibadah,
riyadhah dan mujahadah. Agar jiwa terkontrol,
langkah tidak terpeleset dan pandangan tidak cepat
silau. Saat itu pula kita dapat mengintropeksi diri. Kita
bisa menangisi dosa. Kita bisa merendahkan jiwa.
Orang-orang yang terasing itu, mereka ibarat
sedang mendaki ke atas gunung yang tinggi.
Semakin keatas, semakin sunyi dan sepi. Tetapi
udara semakin bersih dan sejuk. Di sini ada kekuatan
dahsyat di balik keterasingan itu. wallahu a ’lam

Kamis, 23 Desember 2010

PEDAGANG YANG PALING BERUNTUNG (SHUHEIB BIN SHINAN)

Nama lengkapnya adalah Shuheib bin Shinan bin
Aslam bin Aus Al Manat bin Namir bin Qosith
Arrumi. Ibunya bernama Qu ’eid. Ia lahir dari
seorang bapak yang menjadi Hakim dan Walikota
Ubullah yang diangkat oleh Kaesar Persi. Istananya
berada disekitar sungai Euferat. Sebagai seorang
pejabat terhormat, Shuheib hidup berkecukupan
dan tumbuh menjadi anak yang cerdas. Tapi, belum
sempat tumbuh dengan baik bersama lingkungan
keluarganya, terjadilah musibah. Pasukan Rumawi
menyerbu kota Ubullah dan menahan beberapa
penduduk untuk dijadikan budak berlian, termasuk
Shuheib.
Karena dipelihara oleh salah seorang parajurit
Rumawi, Shuheib pun sangat mahir berbahasa
Rumawi.
Pada suatu hari, ia dijual oleh pedagang Rumawi ke
Makkah. Pada waktu itu, Makkah merupakan pusat
kegiatan bisnis berbagai Negara. Ketika sampai di
Makkah, ia dibeli oleh sahabat Abdullah bin Jad’an
Attaimi Al Quraisyi, dan selanjutnya dimerdekakan.
Sebagai pedagang besar kota Makkah, Abdullah
melihat Shuheib memiliki potensi untuk menjadi
pedagang. Maka ia pun kemudian mengkader
Shuheib untuk meneruskan profesinya di bidang
perdagangan.
Tentang perjalanan ruhaninya, Imam Al Wakidi
menjelaskan. Pada suatu hari, Amar bin Yasir
bercerita tentang pertemuannya dengan Shuheib di
depan pintu Al Arqam yang dijadikan majlis ta ’lim
oleh Rasulullah SAW.
” Ya Shuheib! Mau kemana engkau?” Tanya Amar.
”Engkau sendiri mau kemana?” Shuheib balik
bertanya.
” Saya ingin masuk untuk mendengarkan ceramah
Rasulullah SAW.” Kata Amar.
”Saya juga ingin mendengarkan.” Sambung
Shuheib.
Akhirnya keduanya memasuki rumah Al Arqam
yang dibatasi dengan sebuah kayu. Masuk ke lokasi
tersebut sangat berbahaya pada waktu itu, karena
para intel kafir Quraisy selalu mengawasi dengan
ketat tempat tersebut.
Pelan-pelan, keduanya mengetuk pintu Al Arqam
dan masuk mendengarkan ceramah Rasulullah
SAW. Seusai ceramah, keduanya pun menyatakan
masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW. Keduanya
juga menyadari betul bahwa masuk Islam adalah
sesuatu yang sangat besar resikonya. Apalagi Amar
bin Yasir berasal dari keluarga miskin, sementara
Shuheib dari suku perantau yang secara kultural
orang Quraisy sangat membenci orang Arab
menjadi pelaku bisnis jazirahnya. Setelah keduanya
masuk Islam, benar, penyiksaan pun datang
bertubi-tubi. Amar bin Yasir ditarik oleh kuda dan
dipukuli sampai babak belur, bahkan pendengaranya
sampai terganggu. Sementara siksaan yang diterima
oleh Shuheib adalah ia dibebani baju besi yang
sangat berat sambil dijemur diterik matahari padang
pasir yang sangat panas. Tapi, penyiksaan terhadap
Shuheib tidak berlanjut. Kawan-kawan bisnisnya
datang menolongnya sambil memberikan air.
MERELAKAN TUMPUKAN HARTANYA HILANG, DEMI
AKIDAH
Ketika sebagian sahabat hijrah dari Makkah ke
Madinah, Shuheib berencana berangkat hijrah
bersama Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Tapi,
rencana tersebut tidak terlaksana lantaran
pengawasan kafir Quraisy pada setiap sektor cukup
ketat.
Dan, ketika Shuheib tahu bahwa Rasul dan Abu
Bakar telah meninggalkan Makkah, maka ia pun
segera mamacu kudanya dengan kencang
menyusul Rasul dan Abu Bakar.
Melihat Shuheib pergi menyusul kuda sahabatnya
itu, kafir Quraisy rupanya tidak tinggal diam. Mereka
berusaha menghadang laju Shuheib. Maka terjadilah
kejar mengejar cukup seru yang akhirnya Shuheib
pun bisa terkepung. Ketika itulah terjadi negoisasi
antara Shuheib dan para pengejarnya. Saat itu
Shuheib sempat mengancam: ”Ya, Ma’syyarol
kuffar! Saya pemanah professional. Di pundak saya
banyak panah yang bisa membunuh kalian. Oleh
sebab itu, berilah aku jalan agar bisa sampai ke
Madinah. ”Perwakilan kafri Quraisy
menjawab:”Wahai Shuheib! Kami tidak bermaksud
menghalangi perjalanan kamu akan ke Madinah,
silahkan saja. Tapi dengan catatan, bahwa hartamu
yang kamu sembunyikan harus kamu serahkan
kepada kami seluruhnya. Sebab kalau kamu hijrah
ke Madinah membawa sejumlah modal besar dan
kamu bangun tatanan ekonomi baru di sana, maka
hal itu ancaman besar bagi kami”
Shuheib memahami maksud mereka, maka ia pun
segera memberi tahu tempat menyimpan sejumlah
emas dan barang lainya kepada mereka.
Ketika Shuheib menyerahkan hartanya kepada kafir
Quraisy, salah seorang kolega bisnisnya berkata: ”Ya
Shuheib! Apakah kamu tidak sayang terhadap
hartamu yang kamu kumpulkan bertahun-tahun.
Tapi setelah harta itu melimpah, kamu tinggalkan
begitu saja ?”
Shuheib menjawab dengan penuh keyakinan: ”Saya
sebagai manusia sangat mencintai harta saya, tapi
rasa cinta saya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih
besar ketimbang kepada harta saya. Saya rela
berpisah dengan harta benda daripada saya harus
berpisah dengan Allah dan Rasul-Nya yang sangat
saya cintai. ”
Akhirnya Shuheib pun meninggalkan kota Makkah
yang sangat ia cintai tanpa bisa membawa harta
miliknya menuju kota Madinah mengikuti jejak
Rasulullah SAW.
Sesampainya di daerah Quba, perbatasan kota
Madinah, ia langsung menemui Rasulullah SAW
yang pada waktu itu sedang berkumpul dengan
para sahabat yang lain. Kedatangan Shuheib
disambut dengan seruan Rasulullah SAW, Ribhulba’i
Aba Yahya! (Ribhulba’i artinya dagang yang paling
untung adalah cara Aba Yahya). Aba Yahya adalah
nama lain dari Shuheib.
Ketika itu pulalah turun ayat:”Dan diantara manusia
ada yang mengorbankan jiwa dan raganya kerena
mencari keridhaan Allah, maka Allah pun mencintai
terhadap hamba tersebut. ” (QS. Al Baqarah: 207).
Para sahabat yang mendengarkan ucapan Rasulullah
SAW itu sangat kaget. Betapa tidak. Di kalangan para
pedagang, yang disebut pedagang untung adalah
mereka yang memiliki laba atau minimal modal
kembali. Tetapi Shuheib? Jangan kan untung, malah
seluruh modalnya sendiri di tahan oleh orang kafir
Quraisy. Tapi ternyata Shuheib lebih memilih
menyelamatkan akidah dari pada bergelimang harta
yang bercampur lumpur dosa.
Di kota Madinah atas bantuan kaum Anshar,
Shuheib pun meniti karir kembali dari awal. Berkat
ketekunanya, tak lama kemudian ia pun menjelma
menjadi pedagang besar dan karirnya lebih maju
ketimbang waktu di Makkah. Ia juga lebih
dermawan dan sering membagi-bagikan makanan
kepada fakir miskin. Sampai-sampai pada suatu hari
Umar bin Khatthab bertanya sambil bergurau
kepada Shuheib: ”Anda termasuk makhluk aneh
yang memiliki tiga sifat.”“Sifat apa itu, wahai Umar?”
Tanya Shuheib.
Umar menjawab: “Pertama: Engkau diberi gelar Abu
Yahya, padahal engkau sendiri belum beristri apalagi
beranak. Kedua: Engkau ini orang Rumawi, tapi
kenapa bahasa Arabnya cukup bagus dan mencintai
orang Arab. Ketiga: Engkau kalau punya makanan
hampir semuanya diberikan kepada orang lain.
Apakah engkau tidak makan ?”
“Wahai sahabat Umar! Yang memberi gelar saya
Abu Yahya adalah Rasulullah SAW sendiri. Abu
Yahya maksudnya bapak yang menegakkan
semangat perjuangan Fafirruu Ilallah. Yang kedua:
Saya asli bangsa Arab dari kabilah An Namir bin
Qasith, hanya saja saya dibesarkan di Rumawi dan
berbahasa Rumawi. Adapun yang ketiga: Bukankah
Rasulullah pernah bersabda: ”Khairukum man
ath’ama tho’am” (Sebaik-baik kamu adalah orang
yang senang membagi-bagikan makanan).”
Umar pun sangat kagum terhadap kepribadian
Shuheib, sehingga beliau pernah berwasiat kepada
sahabat lain: ”Kalau saya mati, maka gantilah imam
shalat ini oleh Shuheib.”
Shuheib memang profil pembisnis yang memiliki
akhlak karimah, jujur dan berhati lapang dalam
menghadapi problematika bisnisnya. Ia tidak pernah
mengorbankan akidahnya demi keuntungan
duniawi. Prinsip bisnisnya adalah: Apalah artinya
untung materi, kalau zakat tijarohnya tidak
dikeluarkan. Karena hal itu hanya akan
memperbanyak daftar dosa-dosa kita.
Akhirnya pada bulan syawal 38 H, Shuheib bin
Shinan menghadap Sang Pencipta dalam usia 73
tahun, diiringi isak tangis para sahabat, terutama
kaum miskin dan papa. Mereka merasa sangat
kehilangan ‘bapaknya’ yang tercinta.*

Rabu, 22 Desember 2010

TATA ADAB BERBICARA

ADAB BERBICARA
1. Semua pembicaraan harus kebaikan, (QS 4/114,
dan QS 23/3), dalam hadits nabi SAW disebutkan:
“Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan
hari akhir maka hendaklah berkata baik atau
lebih baik diam. ” (HR Bukhari Muslim)
2. Berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana
dalam hadits Aisyah ra:
“Bahwasanya perkataan rasuluLLAH SAW itu
selalu jelas sehingga bias difahami oleh
semua yang mendengar. ” (HR Abu Daud)
3. Seimbang dan menjauhi bertele-tele,
berdasarkan sabda nabi SAW:
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci
dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat
ialah orang yang banyak omong dan
berlagak dalam berbicara. ” Maka dikatakan:
Wahai rasuluLLAH kami telah mengetahui
arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu
apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab
nabi SAW: “Orang2 yang sombong.” (HR
Tirmidzi dan dihasankannya)
4. Menghindari banyak berbicara, karena kuatir
membosankan yang mendengar, sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Wa ’il:
Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari
kami setiap hari Kamis, maka berkata
seorang lelaki: Wahai abu AbduRRAHMAN
(gelar Ibnu Mas ’ud)! Seandainya anda mau
mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu
Mas ’ud : Sesungguhnya tidak ada yang
menghalangiku memenuhi keinginanmu,
hanya aku kuatir membosankan kalian,
karena akupun pernah meminta yang
demikian pada nabi SAW dan beliau
menjawab kuatir membosankan kami (HR
Muttafaq ‘alaih)
5. Mengulangi kata-kata yang penting jika
dibutuhkan, dari Anas ra bahwa adalah nabi SAW
jika berbicara maka beliau SAW mengulanginya 3
kali sehingga semua yang mendengarkannya
menjadi faham, dan apabila beliau SAW
mendatangi rumah seseorang maka beliau SAW
pun mengucapkan salam 3 kali. (HR Bukhari)
6. Menghindari mengucapkan yang bathil,
berdasarkan hadits nabi SAW:
“Sesungguhnya seorang hamba
mengucapkan satu kata yang diridhai ALLAH
SWT yang ia tidak mengira yang akan
mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh
ALLAH SWT keridhoan-NYA bagi orang
tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan
seorang lelaki mengucapkan satu kata yang
dimurkai ALLAH SWT yang tidak dikiranya
akan demikian, maka ALLAH SWT
mencatatnya yang demikian itu sampai hari
Kiamat. ” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadits
hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu
Majah)
7. Menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan
hadits nabi SAW:
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah
mendapatkan hidayah untuk mereka,
melainkan karena terlalu banyak
berdebat. ” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Dan dalam hadits lain disebutkan sabda nabi
SAW:
“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang
menghindari berdebat sekalipun ia benar,
dan aku jamin rumah ditengah surga bagi
yang menghindari dusta walaupun dalam
bercanda, dan aku jamin rumah di puncak
surga bagi yang baik akhlaqnya. ” (HR Abu
Daud)
8. Menjauhi kata-kata keji, mencela, melaknat,
berdasarkan hadits nabi SAW:
“Bukanlah seorang mu’min jika suka
mencela, mela’nat dan berkata-kata keji.” (HR
Tirmidzi dengan sanad shahih)
9. Menghindari banyak canda, berdasarkan hadits
nabi SAW:
“Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi
ALLAH SWT di hari Kiamat kelak ialah orang
yang suka membuat manusia tertawa. ” (HR
Bukhari)
10. Menghindari menceritakan aib orang dan
saling memanggil dengan gelar yang buruk,
berdasarkan QS 49/11, juga dalam hadits nabi
SAW:
“Jika seorang menceritakan suatu hal
padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu
menjadi amanah bagimu untuk
menjaganya. ” (HR Abu Daud dan Tirmidzi
dan ia menghasankannya)
11. Menghindari dusta, berdasarkan hadits nabi
SAW:
“Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara
berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika
diberi amanah ia khianat. ” (HR Bukhari)
12. Menghindari ghibah dan mengadu domba,
berdasarkan hadits nabi SAW:
“Janganlah kalian saling mendengki, dan
janganlah kalian saling membenci, dan
janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan
janganlah kalian saling menghindari, dan
janganlah kalian saling meng-ghibbah satu
dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba
ALLAH yang bersaudara. ” (HR Muttafaq
‘alaih)
13. Berhati-hati dan adil dalam memuji,
berdasarkan hadits nabi SAW dari
AbduRRAHMAN bin abi Bakrah dari bapaknya
berkata:
Ada seorang yang memuji orang lain di
depan orang tersebut, maka kata nabi SAW:
“ Celaka kamu, kamu telah mencelakakan
saudaramu! Kamu telah mencelakakan
saudaramu !” (2 kali), lalu kata beliau SAW:
“Jika ada seseorang ingin memuji orang lain
di depannya maka katakanlah: Cukuplah si
fulan, semoga ALLAH mencukupkannya,
kami tidak mensucikan seorangpun disisi
ALLAH, lalu barulah katakan sesuai
kenyataannya. ” (HR Muttafaq ‘alaih dan ini
adalah lafzh Muslim)
Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata:
Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di
depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-
lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan
menaburkannya di wajah orang itu, lalu
berkata: Nabi SAW memerintahkan kami
untuk menaburkan pasir di wajah orang
yang gemar memuji. (HR Muslim)
ADAB MENDENGAR
1. Diam dan memperhatikan (QS 50/37)
2. Tidak memotong/memutus pembicaraan
3. Menghadapkan wajah pada pembicara dan
tidak memalingkan wajah darinya sepanjang
sesuai dengan syariat (bukan berbicara dengan
lawan jenis)
4. Tidak menyela pembicaraan saudaranya
walaupun ia sudah tahu, sepanjang bukan
perkataan dosa.
5. Tidak merasa dalam hatinya bahwa ia lebih
tahu dari yang berbicara
ADAB MENOLAK / TIDAK SETUJU
1. Ikhlas dan menghindari sifat senang menjadi
pusat perhatian
2. Menjauhi ingin tersohor dan terkenal
3. Penolakan harus tetap menghormati dan
lembut serta tidak meninggikan suara
4. Penolakan harus penuh dengan dalil dan taujih
5. Menghindari terjadinya perdebatan sengit
6. Hendaknya dimulai dengan menyampaikan sisi
benarnya lebih dulu sebelum mengomentari
yang salah
7. Penolakan tidak bertentangan dengan syariat
8. Hal yang dibicarakan hendaknya merupakan
hal yang penting dan dapat dilaksanakan dan
bukan sesuatu yang belum terjadi
9. Ketika menolak hendaknya dengan
memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara, tidak
berbicara di luar kemampuan lawan bicara yang
dikuatirkan menjadi fitnah bagi diri dan agamanya
10. Saat menolak hendaknya menjaga hati dalam
keadaan bersih, dan menghindari kebencian serta
penyakit hati.
Wamaa taufiiqi illaa biLLAAH, ‘alaihi tawakkaltu wa
ilaihi uniib.

Selasa, 21 Desember 2010

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 19 DES 2010

Assalamualaykum
warokhmatullohi wabarokatuh
RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 19 DES 2010
Segala salah dan khilaf saya mohon maaf yang
sebesar besarnnya,ringkasan ini diperoleh dari info
sdr.Barek Bom Nda dan ditulis oleh Ika Gp.
Rangkumannya adalah sbb:
1. JISIM (raga) dengan alam senantiasa dapat
menyatu seperti layaknya air dengan gula.
2. Jika JISIM masih bisa menerima manfaat dari
alam maka akan tetap hidup tapi jika tidak maka
akan rusak.
3. RUH dengan alam tidak akan bisa bersatu,karena
bukan sejenis dan sebangsa tapi RUH bisa
menyatu dengan PENCIPTANYA.
4. Untuk menyempurnakan jiwa harus dengan
dzikir,riyadhoh,mujahadah dan LILLAH BILLAH
sehingga jiwa patut dekat dengan ALLOH.
5. Pertanyaan yang harus kita jawab "Wahai budak
JISIM !!! betapa kau menyibukkan diri hanya untuk
mengabdi pada JISIM(makan dan minum saja)
betapa engkau mencari keuntungan yang
sesungguhnya didalamnya penuh KERUGIAN.
6.Hakikat manusia bukan pada JISIM melainkan
pada RUH.
7. JISIM itu berasal dari makanan yang berubah
jadi daging(jasad) dan nanti akan rusak kembali
menjadi tanah.
8. Mari senantiasa memperhatikan RUH ,hubungan
kepada Alloh dengan RUH ,bahkan dalam
memenuhi kebutuhan JISIM harus disertai
hubungan RUH dengan Alloh caranya adalah
dengan menerapkan LILLAH BILLAH.
AL FATIKHAH
Semoga manfaat wassalam
nb.ditulis berdasarkan ide pribadi dan bukan resmi
dari YPW/PONPES trimakasih

Zuhud

Zuhud menurut bahasa ialah meninggalkan sesuatu
serta tidak menginginkanya. Menurut istilah, zuhud
ialah meninggalkan secara sukarela sesuatu yang
merupakan keinginan alami seseorang.
Dengan pengertian terakhir ini, istilah zuhud tidak
digunakan dan memang kurang tepat bila digunakan
untuk orang sakit, misalnya tidak mau makan
karena memang telah kehilangan selera makan. Atau
seorang miskin yang menempuh cara hidup serba
kekurangan karena memang tak mempunyai uang
untuk mencukupi kebutuhanya.
Zuhud ialah,“Hendaknya kamu tidak terpengaruh
dan iri kepada orang-orang yang serakah terhadap
keduniaan, baik dari orang-orang mukmin maupun
dari orang-orang kafir. Demikian kata Sayyidina Ali
bin Abi Thalib KW.Syaikh Abul Qasim memberikan
pengertian zuhud yaitu, “Dermawan dari harta yang
dimiliki sehingga tak mempunyai harta, serta tidak
mempunyai sifat serakah. ”Sementara menurut
ulama Sufi yang lain, Ibnu Qudamah Al Muqaddasi
mengatakan, “Bahwa harta kekayaan bagi orang
zuhud adalah sekadar perlu. Hal ini untuk
memelihara kehormatanya, memperjuangkan
agama dan membantu masyarakat. ” Sementara itu
keterangan lain menyatakan bahwa, “Seorang zahid
yang sebenarnya ialah orang yang tidak pernah
memujinya. Bila dunia datang, dia tidak bergembira
karenanya, dan dunia pergi meninggalkanya diapun
tak pernah berduka cita olehnya. ”
Demikian banyaknya definisi tentang zuhud yang
diberikan oleh para ulama sufi. Dari sekian banyak
definisi dan pendapat tersebut, satu kemasan
presepsi yang dapat dikemukakan disini adalah
bahwa zuhud merupakan lawan dari cinta dunia.
Kalau dalam perasaan cinta dunia terdapat rasa
menggebu-gebu untuk memilikinya, maka dalam
zuhud malah meninggalkan dunia dengan segala
kesenanganya. Meninggalkan dunia ini adalah dalam
keadaan dimana seseorang tersebut benar-benar
ingin meninggalkan dunia bukan karena terpaksa
atau paksaan. Zuhud, lahir dari kedalaman hati dan
bukan tumbuh dari perasaan kondisi.
Satu hal yang perlu jadi catatan disini adalah bahwa
zuhud tidak sama dengan kemiskinan. Banyak sekali
kalangan awam yang selalu mengindentikan zuhud
dengan miskin. Adalah sangat disayangkan, zuhud
telah diselewengkan dari artinya yang agung dan
mulia, sehingga hampir-hampir zuhud disamakan
dengan hidup dalam kemiskinan yang selalu
diagungkan dan dipuji sebagai jalan seseorang yang
hendak mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maka
banyak orang yang beranggapan bahwa seorang
zahid adalah mereka-meraka yang rela hidup
melarat dan enggan bekerja keras untuk meraih
segala bentuk kenikmatan material.
Islam pada hakikatnya adalah sebuah agama yang
sama sekali tidak menganjurkan adanya pemisahan
antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat.
Walaupun menurut Islam sendiri ada yang lebih
utama dan harus diutamakan dari keduanya, namun
itu bukan berarti pemisahan antara keduanya.
Sebaliknya, Islam malah menganggap kehidupan
satu dengan lainya adalah sebagai jembatan
penghubung untuk menuju akhirat. Begitu juga
dengan akhirat, ia adalah tempat kekal abadi yang
merupakan cerminan kehidupan dunia.
Oleh sebab itu, zuhud dalam pandangan Islam
sama sekali tidak berarti memisahkan dari kiprah
kehidupan, atau menjauhkan diri dari pencarian
kekuatan serta kemampuan yang diperlukan dunia
menunaikan tanggung jawab terhadap Allah di
muka bumi. Zuhud sebenarnya berarti pembebasan
diri dari tarikan nafsu yang rendah, dan zuhud
sebenarnya adalah tidak ada rasa cinta sama sekali
pada dunia.
Dengan Kata lain ;“Zuhud bukan berarti tidak memiliki
harta benda, tetapi zuhud adalah tidakmemilki
ketergantungan terhadap harta benda. ”
Dengan kesimpulan yang terakhir ini, bisa dikatakan
bahwa seorang zahid tidak harus dalam jerat-jerat
kemiskinan dan tidak punya apa-apa. Bahkan
seorang zahid sah dan boleh-boleh saja memilki
harta atau dari seorang kaya raya, seperti Ibnu
Arabi, misalnya. Tetapi orang tersebut dalam
hatinya tak punya sedikitpun ketergantungan
dengan harta benda, dan tak ada rasa cinta secuil
pun kepada harta benda dunia yang dia miliki. Inilah
hakikat zuhud yang sebenarnya, yang mempunyai
makna dan pengertian positif sekaligus, yang
mempunyai kesesuaian dengan keberadaan
manusia yang hidup didunia ini, yang mempunyai
beban tanggung jawab baik kepada keluarga,
masyarakat, dan kepada Allah SWT. Wallahu a ’lam
bisshowab.

Senin, 20 Desember 2010

HANYA YANG TERTUTUP MATA HATINYA YANG TIDAK DPT MELIHAT ALLOH

”Bagaimana dapat digambarkan bahwa Allah dapat
dihijab oleh sesuatu, padahal Allah-lah yang
mendhahirkan (menampakan) segala sesuatu.”(A-
Hikam ke 16).
Allah memiliki sifat Kuasa Memaksa kepada manusia.
Yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak mungkin
menjadi mungkin. Seperti juga matahari sekarang
jalan kebarat, besok bisa dipaksa Allah berjalan
kearah timur. Begitulah sifat memaksa-Nya Allah.
Allah Dzat yang Maha Dhahir. Dia bahkan bisa
memaksa kahanan (sesuatu). Yang tidak ada
(makhluk). Bisa menjadi tutup sehingga kita tidak
mengetahui-Nya. Sesuatu yang nyata bisa ditutupi
dengan sesuatu yang tidak nyata. Barang yang
wujud bisa ditutupi dengan barang yang tidak
wujud. Hal ini sepertinya memang tidak masuk akal.
Tapi nyatanya, Allah mempunyai kuasa memaksa
sesuatu. Memaksa kita tidak mengetahui adanya
Allah hanya dengan ditutup oleh sesuatu yang kecil
yang tidak kelihatan.
Bagi orang yang hatinya telah dibuka oleh Allah
SWT, tidak mungkin baginya makhluk menutupi
Allah. Tapi bagi orang yang hatinya masih tertutup
(belum sadar kepada Allah), sesuatu yang tidak
mungkin itu malah menjadi mungkin.
Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syay-in wa
huwalladzi dhahara likulli syay-in. Bagaimana
mungkin makhluk ini dapat menutupi Allah? Padahal
Allah itu adalah Dzat Yang Dhahir dalam segala
sesuatu? Ay tajalla likulli syay ’I hatta ‘arafahu; atau
Allah menampakan diri kepada segala sesuatu; di
hati seseorang atau di hati semua makhluk sehingga
mereka (mestinya) mengetahui-Nya?
Wa lidza kaana sajidan lahu wa musabbihan
bihamdihi. Oleh karena Allah itu menampakan diri
pada sesuatu, maka semua makhluk (yang
mengetahui-Nya) ini sujud kepada Allah SWT
dengan membaca tasbih kepada-Nya. Wa laakin laa
tafqahu dzaalik. Namun karena hati kita buta, kita
tidak mengetahui-Nya. Padahal sebenarnya, semua
makhluk; termasuk binatang, tumbuh-tumbuhan
dan sebagainya, mereka berdzikir dan sujud kepada
Allah SWT, karena pada hakikatnya mereka semua
mengenal Allah.
Fa kullu syay-in aarifun bihi ala qadri tajallihi lahu.
Dengan demikian, hakikat semua makhluk ini adalah
whusul makrifat kepada Allah, sesuai dengan ukuran
dan tajjali-Nya Allah kepada makhluk tersebut.
Seberapa Allah menampakan diri kepada makhluk,
sebesar itu pulalah kita bisa melihat Allah. Adanya
diri kita tidak bisa melihat tajjali-Nya Allah kepada
kita, adalah karena kita tertutup oleh nafsu kita
sendiri. Padahal, ketika pada zaman Azali dulu saat
kita masih di alam ruh, semua ruh itu makrifat
kepada Allah. Namun setelah mereka dilahirkan
kedunia dan karena di dunia ini ada nafsu, maka hati
merekapun langsung tertutup oleh nafsu-nafsunya
sendiri. Sehingga mata hati mereka, mata hati kita,
semuanya buta. Tajjali-Nya Allah di hati kita tertutup
nafsu kita sendiri. Sehingga kita tidak dapat whusul
dan makrifat kepada-Nya.
Wa in kaa-na fil asy-ya’I man laa yaqdirullaha haqqa
qadrihi linaqshi ma’rifatihi wa qushuurihaalaa lintifaa-
I ashliha.. Jika Allah Nampak pada sesuatu kemudian
manusia tidak bisa melihat Allah, itu karena
kurangnya makrifat dirinya kepada Allah, apesnya
makrifatnya kepada Allah. Semua itu karena hatinya
tertutup nafsunya sendiri. Apabila nafsunya itu di
buka, pasti mereka semua akan kembali makrifat
kepada Allah SWT. Dengan demikian manusia
sebenarnya tertutup oleh makhluk berupa nafsu,
sehingga Allah yang Nampak jelas pada segala
sesuatu pun tidak terlihat.
Pada umumnya, hati manusia itu tertutup oleh
hartanya, oleh motornya, oleh pasanganya yang
ayu, yang ganteng, dan ‘duniawiyah’ lainya. Padahal
Allah menampakan diri dari makhluk-makhluk itu
tadi. Harusnya tidak mungkin kita tertutup makhluk
itu tadi. Tapi kenyataanya Allah bisa memaksa
menutupi dengan makhluk-makhluk tersebut. Hal ini
hanya terjadi bagi orang yang belum sadar kepada
Allah SWT.
Kaifa yutashawwuaru an yahjubahu syay-un
wahuwadh dhaahiru qabla wujuudi kulli sya-i.
Bagaimana lagi sampai tertutup manusia ini dengan
sesuatu, hingga tidak bisa melihat Allah, padahal
Allah itu Dhahir (nyata, jelas) sebelum diwujudkanya
semua makhluk ini. Maka sekali lagi. Sesuatu yang
diwujudkan dapat menutup yang mewujudkan
(Allah) ini hanya bagi orang yang tertutup mata
hatinya Karena hakikatnya itu tidak mungkin.
Fadhuuhuuru Ta’aala Dzaa-tiyyun ghairu muktasibin
laa mustafaadun wa laa ma’luulun.. Allah nyata
Dzatnya. Yang tidak diusahakan lahir. Dan dhahir-
Nya Allah itu bukan untuk mengambil manfaat atas
kedhahiran-Nya. Allah Dhahir bukan karena
disebabkan. Tidak seperti makhluk. Kalau makhluk
disebabkan karena Khaliq. Sedang Dhahir-Nya Khaliq
tidak disebabkan makhluk. Wujud-Nya Allah ada
dengan sendiri.
Wa dhuhuurul akwaani naa-syi-un min jalliihi alaiha
bi sifatidh dhuhuuri. Wujudnya makhluk ini karena
tajjalli-Nya Allah. Wujudnya makhluk karena
diwujudkan oleh Allah. Karena Allah memiliki sifat
mewujudkan. Fa kaifa takuunu haa-jibatun lahu.
Sehingga bagaimana mungkin makhluk dapat
menutupi Allah. Itu tidak mungkin. Tapi nyatanya
kita tertutup dari Allah, kita tidak dapat makrifat
kepada Allah. Sekali lagi, itu disebabkan hati kita
tertutup dengan nafsu kita sendiri.
Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syay-un wa
huwa adh-haru min kulli syay-in. Bagaimana
mungkin lagi Allah yang lebih nyata, lebih jelas dari
pada sesuatu, dapat ketutupan sesuatu.
Sebagaimana matahari. Ia lebih jelas daripada
lampu, kok bisa nutupi terangnya sinar matahari, ini
muhal. Tidak mungkin Allah ditutupi oleh makhluk,
karena Allah lebih jelas daripada makhluk. Tapi kalau
nyatanya kita tetap terutup oleh makhluk hingga hati
kita tidak bisa melihat Allah. Ini bukan Allah yang
tidak jelas, tapi karena butanya mata hati kita. Ingat
saja sulit, apalagi melihat Allah.
Li annal wujuuda adhhara minal ‘adami ala kulli
haalin. Sesuatu yang wujud itu (Allah), pasti lebih
kuat, lebih jelas, lebih nyata dari pada sesuatu yang
tidak wujud, atau yang wujudnya diwujudkan.
Sebagaimana contoh tadi; terangnya matahari pasti
lebih kuat daripada terangnya lampu.
Wa liannadh dhuhuuradz Dzaa-tiyya aqwaa minal
aradhiyyi. Allah itu mempunyai sifat Daim
(langgeng). Sedang kita punya sifat fana (hancur).
Dhahir-Nya Allah yang merupakan Dhahir bangsa
Dzat ini jelas lebih kuat dari pada dhahir baru datang
(huduts, lawanya sifat qidam: baru). Dhahir-Nya
mutlak, tidak membutuhkan apa-apa. Wujud yang
dengan sendirinya tanpa sebab, lebih kuat daripada
wujud yang disebabkan atau yang diadakan. Seperti
halnya perbedaan antara barang yang langgeng
(abadi) dengan barang kuno, apalagi yang baru.
Sekuat-kuatnya barang kuno, barang antik, pasti
akan rusak. Seberapapun umurnya barang lama
tetap akan mengalami kerusakan. Tapi kalau barang
langgeng, daim itu tidak bisa rusak.
Wa innama lam yudrok lil ‘uquuil ma’a syiddati
dhuhuurihi. Li anna syiddatadh dhuhuurihi laa
yuthiiquhaad dhu ’afaa’u kal khuffaasyi yabshuru bill
ail duunan nahaari.. Wujudnya Allah, kalau kita pikir,
tidak dapat ditemukan. Karena kejelasan Allah itu
sendiri tidak dapat dikuasai oleh dhahir yang apes
(lemah). Sesuatu yang apes tentu tidak bisa melihat
sesuatu yang dhahirnya lebih kuat. Seperti halnya
Lowo (kelelawar). Ia hanya mampu melihat
dimalam hari. Ia tidak bisa melihat diwaktu pagi,
siang atau sore hari. Lowo tidak bisa melihat
diwaktu siang, karena terangnya siang itu sendiri.
Juga karena pandangan Lowo yang lemah.
Lemahnya pandangan Lowo, kalah dengan
pancaran sinar/cahaya nurnya matahari, ketika
matahari bercahaya.
Fayakuunu syiddatu dhuhuurin nahaari ma’a dhu’fi
basharihi sababan limtinaa’I abshaarihi.. Sekali lagi,
karena kuatnya sinar matahari, terangnya siang,
disertai lemahnya pandangan Lowo, hingga Lowo
tidak bisa melihat disiang hari.
Fakadzalika lil uqul dha’Ifatan wa jamalil hadroh
ilahiyah bi ghayatil ashrof.. Begitu juga bagi yang
memiliki akal dan hati yang lemah, yang masih
tertutup dengan nafsunya. Luhur dan besarnya
Hadroh-Nya Allah dan sangat jelas sekali menjadikan
kita tidak mampu melihat Allah SWT, kecuali bagi
mereka yang sudah dibukakan mata hatinya oleh
Allh SWT. Jadi, terangnya Hadroh-Nya Allah, atau
jelasnya Hadroh-Nya Allah (syiddati dhuhurihi;
bangetnya terangnya Allah), bagi akal dan hati yang
lemah, adalah seperti yang digambarkan yang diatas
(mata kelelawar yang lemah), ia tidak akan mampu
melihat Allah. Semuanya tertutup, baik maknawiyah
atau kauniyah (wujud-Nya Allah).
Kauniyah, jelas mata (lahir) kita tidak mampu melihat
Dzat-Nya Allah. Maknawiyah, bila tidak dengan
makrifat, kita tidak mampu melihat Allah SWT.
Karena mata hati kita tertutup.
Secara Kauniyah, saking jelasnya Allah, mata kita
tidak mampu melihat Dzat-Nya Allah. Padahal Allah
Dzat yang Dhahir, illa fi yaumil mahsyar, kecuali
besok dipadang Mahsyar. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa manusia bisa melihat jelas
kepada Allah SWT. Dan ada juga yang mengatakan
bisa melihatnya Allah itu adalah bi amil bashiro
(dengan mata hati).
Karena itu saudara-saudariku Allah menutupi.
Hingga secara Kauniyah kita tidak bisa melihat Allah
karena ketutupan makhluk yang seharusnya tidak
bisa menutupi. Tapi itulah diantara sifat kuasa-Nya
Allah, qadhar-Nya Allah mampu menutupi mata hati
manusia, dengan makhluk (yang sesungguhnya
tidak mungkin menutupi Allah).
Begitupun maknawiyah bashiroh. Mata hati kita ini
tidak bisa melihat Allah hingga kita tidak bisa wushul
kepada-Nya, karena tertutup oleh nafsu-nafsu kita
sendiri. Itulah Kuasanya Allah. Dia punya kekuasaan
menutupi diri-Nya dengan makhluk. Dan.., Dia
punya kuasa untuk membuka hijab itu sehingga hati
manusia bisa whusul dan makrifat kepada-Nya.
Karena itu, Mari kita merasa dosa di hadapan Allah
SWT. Kita akui bahwa selama ini kita hanya
menuruti hawa nafsu saja, hingga hati kita terhijab
dari Allah. Allah Yang Dhahir, Yang Nyata, tapi hati
kita tidak bisa melihat Allah, Dzat Yang Qawiyun,
Yang punya Irodah.
Saudara-sudariku mari kita semua saling
mengingatkan, yang salah di benarkan yang benar
dibimbing agar senantiasa selalu berada di jalan
Allah SWT, agar selalu mendapatkan Rahmat-Nya,
bukankah atas rahmat-Nya kita bisa berbuat
kebaikan dan selalu di beri kemudahan dalam
melakukan kebaikan sesuai apa yang diperintahkan-
Nya dan mudah menjauhi apa-apa yang dilarang-
Nya, Mari kita tobat kepada Allah SWT, Memohon
diberi Taufiq Hidayah-Nya, diampuni dosa-dosa kita,
hingga kita bisa whusul kepada Allah. Untuk diajak
dzikir aja sulit, apalagi kita harus makrifat kepada
Allah, Wallahu’alam
Jazakumullahi Khoiroti wa sa’adatid dunya wal
akhiroh, aamiin…