Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Rabu, 15 Desember 2010

DAKWAH KEBUTUHAN ATAU KEWAJIBAN>>by Wahidiyah page notes

Amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada
kebaikan dan mencegah kerusakan), atau istilah
pendeknya dakwah, adalah salah satu pilar penting
dalam islam. Mendengar istilah amar ma ’ruf nahi
munkar, seringkali yang terbayang dalam benak kita
adalah sosok juru ceramah di TV, Radio atau di
mimbar-mimbar. Seolah-olah penyebaran kebaikan
dan pencegahan kemunkaran hanyalah tugas dan
“ pekerjaan” ustadz, kiyai atau alim ulama’.
Sementara, kaum awam bertugas untuk mencari
nafkah dan jika ada kelebihan “menyantuni” para
juru dakwah tersebut.
Atau mungkin angan-angan kita ketika mendengar
amar-makruf nahi munkar langsung merujuk
kepada sosok berserban atau berjenggot yang
mengobrak-abrik berbagai tempat hiburan
sebagaimana sering di ekspos media. Akibat
berbagai pemberitaan media yang menyoroti
aktivitas sementara da’i dalam upaya menegakan
kebenaran dan memberantas kemunkaran dari
aspek bisnis atau seni, istilah dakwah, lebih-lebih
istilah amar ma ’ruf nahi munkar menjadi sedemikian
menakutkan. Sehingga yang kemudian terjadi
adalah, simpati publik justru terarah pelaku
kemunkaran. Sementara ‘pekerja’ dakwah justru
menjdai sasaran pantauan keamanan.
Bertambahnya para da’i memang tidak otomatis
menjadikan surutnya kemunkaran dan kemaksiatan.
Karena bisa jadi kalau sang juru dakwah itu hanya
pandai berdakwah dengan lisan, tetapi kosong
hatinya, umat yang didakwahi bukanya semakin
sadar, tetapi malah justru semakin parah. Sebab,
dakwah itu sesungguhnya bukan menyampaikan
ilmiah, pengertian dan pemahaman. Tetapi hakikat
dakwah adalah menyampaikan hidayah.
Dakwah haruslah menyentuh hati. Dakwah juga
merupakan komunikasi antara hati da ’i dan mad’u
(Yang didakwahi). Dan ini lebih penting dari pada
sejuta ilmiah yang disampaikan. Itulah mengapa,
dakwah Nabi dahulu sangat berhasil dengan gilang-
gemilang. Karena beliau lebih banyak berdakwah
dengan kekuatan hati yang disertai pancaran
hidayah Allah SWT.
Jika hati mad’u telah tersinari hidayah, interaksi
seperti memberi nasehat, memberi wejangan,
mengajak umat berbuat baik dan sebagainya
hanyalah wasilah saja. Karena sesungguhnya, hati
sang mad ’u telah iman dan tengah bergerak ke arah
itu.
DAKWAH, STANDAR KEIMANAN SESEORANG
Dakwah yang sementara ini masih dipresepsikan
umat sebagai aktifitas podium dan monopoli ulama
ternyata adalah salah satu satandar kualitas
keimanan seseorang Allah berfirman: ”Dan orang-
orang mukmin dan mukminat, sebagian mereka
adalah penolong yang lain; mengajak kebaikan dan
mencegah kemunkaran. ”(QS. At Taubah: 71).
Ayat diatas secara gamblang menyampaikan pesan
bahwa dakwah adalah aktifitas bersama dan sebagai
ciri keimanan seseorang. Karena itulah, Hujjatul
Islam Imam Al- Ghazali mengambil kesimpulan,
bahwa siapa saja yang tidak mengambil bagian
dalam mengajak aktifitas kebaikan dan mencegah
kemunkaran bukanlah orang beriman.
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW
bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat
kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan
tangan (kekuasaan)nya. Jika tidak mampu, maka
hendaknya merubah dengan tanganya. Jika itupun
tidak mampu dilakukan, maka hendaklah ia
merubah dengan hatinya. Sedangkan yang
demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. ”(HR.
Muslim).
Hadits di atas secara tersirat mengatakan bahwa
mereka yang didalam hatinya masih ada rasa iman,
mestilah ada kepedulian untuk memberantas segala
bentuk kemunkaran. Dan serendah-rendahnya
tingkatan keimanan tersebut adalah mereka yang di
dalam hatinya ada rasa prihatin dan berlepas tangan
dari berbagai kemunkaran yang ada. Sementara
mereka yang tidak ada kepedulian terhadap
kemunkaran bukanlah termasuk orang-orang
beriman.
Jika pencarian makna hadits tersebut diteruskan, kita
akan sampai pada pertanyaan; lantas bagaimana
dengan mereka yang ridha terhadap kemunkaran
yang ada? Maka jawabnya dapat kita temukan dalam
sebuah hadits berikut. Rasulullah SAW
bersabda: ”Barangsiapa yang berada didekat
kemunkaran dan ia tidak ridha dengan kemunkaran
itu, maka ia seperti orang yang tidak menghadiri
kemunkaran itu. Dan siapa yang berada jauh dari
kemunkaran tersebut, ia bagaikan orang yang
menghadiri kemunkaran tersebut. ”
DAKWAH, JALAN UMAT ISLAM MENUJU
KEMULIAAN
Dakwah yang selama ini banyak ditinggalkan umat
ternyata nilai yang setrategis menuju peningkatan
derajat umat Islam. Bukan hanya itu, dakwah
bagaikan jalan tol umat Islam menuju puncak
kemuliaan. Dalam QS. Ali Imran 110, Allah SWT
berfirman: ”Kalian adalah umat terbaik yang
dikeluarkan untuk manusia. Kalian mengajak kepada
kebaikan, mencegah kemunkaran dan beriman
kepada Allah SWT. ”
Kaum Muslimin pada masa awal Islam, Rasulullah
SAW sangat serius dalam masalah dakwah ini.
Bahkan Beliau kirim surat kepada raja para raja agar
menerima Islam. Pada Khulafaur Rasyidin, langkah
tersebut diikuti dengan pengiriman da ’i-da’i yang
hingga sampai ke India, Indonesia bahkan China.
Demikianlah kerja umat Islam saat itu. Dakwah
Islam bukan hanya jadi Agenda para Ulama ’ atau
sekelompok orang. Dakwah pada saat itu bahkan
menjadi proyek pemerintah yang mendapatkan
prioritas. Pada masa Kekhalifahan Sultan Sulaiman
Al-Qanuni (Sulaiman The Great, 520 1560) dari Bani
Utsman yang bersemayam di Istambul Turki,
rombongan dakwah yang diselenggarakan Negara
bukan hanya berjalan sendirian. Mereka begitu
perhatian dalam mengirimkan da ’i-da’i ke berbagai
penjuru dunia. Mereka bahkan mendapat
pengawalan prajurit yang berwibawa. Dan jika
rombongan tersebut melewati lautan, mereka
mendapat kawalan dari Angkatan Laut Turki yang
dahsyat itu. Akibatnya, wilayah Islam membentang
dari Andalusia di Barat hingga Irian Jaya di Timur.
Bukan hanya itu, mereka bahkan menjadi tuan
berbagai kerajaan dan bangsa. Venesia (Itali), Siprus,
Malta, Hongaria, Rumania, Yugoslavia, Yunani,
Rusia, dan banyak Negara Eropa lain pada saat itu
membayar upeti kepada kaum muslimin.
Sementara banyak bangsa yang lain, mulai Negro,
Barbar, Kurdi, Tukistan, Tajik, Pusthun, Melayu,
Jawa, Papua yang akhirnya memilih untuk menjadi
Muslim dan menyatakan tunduk di bawah
Kekhalifahan International Turki.
Sangat Ironis dengan apa yang menimpa kaum
Muslimin saat ini. Mereka acuh tak acuh terhadap
dakwah. Yang lebih menyedihkan, pemerintah
bukanya mengirim banyak da ’i keluar negeri,
namun mengirim kuli-kuli dan wanita. Itupun tanpa
perlindungan yang memadai dari Negara.
Akibatnya, banyak terjadi pelecehan dan penyiksaan
terhadap para tenaga kerja tersebut di luar negeri.
Belum lagi dengan citra bangsa yang akhirnya turun
menjadi bangsa kuli. Bukan lagi bangsa terhormat.
DAKWAH, PEMBUKA PINTU PERTOLONGAN ALLAH
Saat ini, berbagai kesulitan yang menimpa kau
muslimin di berbagai belahan dunia. Mulai kritis
politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain seolah-olah
tiada henti. Di tanah air Indonesia ini, hampir setiap
pojok negeri, pandangan seseorang akan menemui
orang yang menderita dan bermasalah. Kemiskinan,
pengangguran kerusuhan, bencana alam, dan 1001
masalah lainya.
Pada situasi seperti saat ini, dakwah adalah sebuah
pilihan untuk keluar dari berbagai problematika. Allah
SWT sendiri telah menjanjikan dalam Al Qur ’an:”Jika
kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan
menolong kalian. Dan akan mengokohkan telapak
kaki kalian. ”(QS. Muhammad: 7).
Pada masa Awal masa Islam, kaum Muslimin
mendapatkan berbagai macam tekanan yang berat.
Bahkan sangat berat tiada tara. Sehingga banyak
kaum muslimin yang meninggal akibat berbagai
siksaan tersebut. Khabbab, Sumayah, Yasir adalah
sedikit dari mereka yang meninggal pada masa itu.
Sungguh pun demikian, dakwah tetap mereka
laksanakan sebagai pilihan hidup. Hingga akhirnya
Allah memberikan berbagai pertolongan dan
kemenangan kepada kaum muslimin.
Pertolongan tersebut kadang turun di berbagai
medan perang. Allah menurunkan banyak Malaikat
yang menyebabkan kekuatan kaum muslimin
berlipat-lipat. Di awal-awal perang Mu ’tah 3000
kaum muslimin bisa memukul mundur 100.000
tentara musuh. Bahkan hingga musuh menambah
kekuatan tentaranya hingga 300.000, kaum
muslimin masih bisa mengimbangi mereka di
medan perang. Walaupun kemudian, karena alasan
strategi militer, kaum muslimin menarik diri dari
medan perang, namun musuh tidak berani
mengejar untuk menghancurkan mereka.
Pertolongan tersebut terkadang turun dalam
berbagai karomah yang tampak pada diri para da’i
Islam. Ketika Uqbah bin Nafi’ beserta rombongan
da’i muslim yang dikirimkan Khalifah Mu’awiyah di
Afrika utara sampai disebelah hutan belantara yang
penuh binatang buas , Uqbah berteriak kepada
segenap penghuni hutan itu, “Wahai binatang-
binatang hutan, kami adalah da’i Islam dan utusan
Rasulullah SAW, tolong jangan ganggu kami.
Menyingkirlah kalian !” Maka kemudian berbagai
binatang buas itupun meninggalkan hutan tersebut.
Sehingga rombongan da ’i tersebut bisa lewat tanpa
gangguan sedikit pun.
Di tanah Jawa karomah Wali Songo sedemikian
terkenal. Hal ini bukan karena mereka ahli ilmu sihir
atau ahli tenaga dalam. Namun karena mereka
mewakafkan diri mereka di jalan dakwah. Mereka
keluar masuk kampung dan hutan-hutan bukan
karena motif ekonomi. Namun dalam rangka
perjuangan Fafiru Ilallah wa Rasulihi SAW.
PRINSIP-PRINSIP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Amar ma’ruf nahi munkar (dakwah), atau dalam
konteks Wahidiyah adalah penyiaran Wahidiyah,
agar memiliki hasil yang diharapkan, haruslah
berjalan menurut prinsip-prinsip dakwah yang
benar. Sehingga kemudian yang timbul adalah
simpati. Jika sampai karena salah dalam cara
berdakwah, para da ’i bukan hanya menuai
penolakan, tapi juga bisa mencoreng nama Islam
secara keseluruhan.
Ada tujuh prinsip dalam dakwah.
>> Pertama, dakwah haruslah khalis (ikhlas). Dalam
konteks perjuangan Wahidiyah, dakwah Khalis
haruslah sepenuhnya dijiwai dengan Lillah-Billah,
Lirrasul-Birrasul dan Lilghouts-Bilghouts. Dengan
demikian, hati sang da ’i akan bersinar menerangi
hati para mad’u atau mereka yang didakwahi.
Sebaliknya, apabila dakwah tidak dilakukan dengan
ikhlas, maka tiada cahaya yang memancar dari hati
sang da ’i. Sehingga dakwah tersebut tidak akan
memiliki efek apapun terhadap mad’u (yang disiari).
>> Kedua, dakwah hendaklah sunny. Artinya,
hendaklah tata cara dakwah seseorang bercermin
dan mencontoh kepada tata cara dakwah Rasulullah
SAW (Lirrasul-Birrasul). Janganlah berdakwah
semau gue. Apalagi menggunakan cara-cara yang
tidak benar dalam berdakwah. Misalnya;
mengadakan dakwah yang dikemas menyatu
dengan pertunjukan dangdut nan erotis. Atau
berdakwah dengan suguhan minuman keras
misalnya. Dan semacamnya.
>> Ketiga, dakwah hendaklah disampaikan secara
tadrij (bertahap) berdasarkan prioritas-prioritas yang
terarah. Tidak mungkin berhasil dakwah yang
menuntut mad ’u-nya untuk menerima keseluruhan
ajaran Islam secara sekaligus. Karena itu, perlu
pertahapan-pertahapan dalam berdakwah. Diawali
dengan hal-hal yang prinsip dan mudah-mudah.
Kemudian hal-hal pelengkap dan sedikit agak berat.
Baru kemudian hal-hal yang mungkin agak berat.
Demikian Rasulullah SAW berdakwah. Diawali
dengan Tauhid dan prinsip-prinsip keimanan lainya.
Kemudian Ibadah. Baru yang terakhir hal-hal yang
berkaitan dengan mu ’amalah, siyasah dan lain-lain.
>> Keempat, dakwah hendaklah dilakukan dengan
istimror (kontinyu, terus-menerus dan
berkesinambungan). Jangan sampai terjadi
kemandegan dalam berdakwah. Sebagaimana air
yang tiada mengalir akan menimbulkan berbagai
penyakit dan kotor. Demikian juga dakwah yang
terhenti. Pasti akan menimbulkan masalah. Atau
bisa-bisa apa yang disampaikan akan hilang. Karena
itulah, sangat diperlakukan kesinambungan yang
terus-menerus. Sehingga dengan demikian , misi
dakwah akan berhasil dengan sempurna.
>> Kelima, dakwah hendaknya dilakukan dengan
layyin atau luwes. Tidak kaku dan monoton.
Adakalanya dengan lembut, jika keadaan
menghendaki kelembutan. Adakalanya dengan sikap
tegas. Bahkan dalam keadaan tertentu, dakwah
terkadang dipaksa untuk menggunakan senjata.
Sudah tentu, kulwesan itu harus selaras dengan
koridor-koridor syariah.
Ketika sunan Kalijogo hendak menggunakan
Wayang sebagai media dakwah, Beliau pun
kemudian merubah bentuk Wayang yang pada
masa Hindu berbentuk manusia, menjadi bentuk
yang ada sekarang. Hal ini untuk menghindari
penggambaran makhluk hidup yang diharamkan
Islam di satu sisi, dan disisi lain melakukan
terobosan yang luwes dalam berdakwah. Sehingga
dengan keluwesan tersebut, dakwah dapat diterima
secara gemilang tanpa harus timbul berbagai
gejolak.
>> Keenam, dakwah hendaknya dilakukan dengan
Jama ’i atau kolektif. Artinya, dakwah tersebut tidak
dilakukan sendiri-sendiri tanpa koordinasi dan
perencanaan. Dakwah harus dilakukan dengan
berjama ’ah serta perencanaan yang matang.
Sebuah kesebelasan lengkap tanpa kordinasi dan
pembagian tugas yang jelas, pasti akan kalah jika
bertanding dengan satu team sepak bola yang
walaupun hanya berjumlah 8 orang, tapi
terkordinasi secara rapi.
Kalau sejarah dakwah para salaf dibuka, maka
disana akan ditemukan suatu kerapian team. Ketika
pada masa Rasulullah SAW, Beliau secara langsung
mengatur berbagai kinerja dakwah. Demikian juga
dengan era para Khalifah sesudah Beliau. Sehingga
pada saat itu, gesekan dan benturan antar da ’i dapat
dihindari.
Di Jawa, pada masa Wali Songo, sebuah tim kecil,
hanya Sembilan orang, dengan kordinasi yang rapi,
dapat menyiarkan Islam hampir diseluruh tanah
Jawa. Bukan hanya itu, tim ini pada akhirnya bahkan
berhasil membentuk sebuah kerajaan besar, yaitu
Kesultanan Demak Bintoro.
>> Ketujuh, Dakwah harus dilakukan dengan
mengedepankan prinsip at tasyiir atau
mempermudah. Artinya, mad ’u atau obyek dakwah
haruslah diyakinkan, bahwa ketika mereka mengikuti
apa yang disampaikan, mereka akan mendapatkan
kemudahan. Walaupun kemudahan tersebut di
awali dengan kesulitan.
Prinsip ini juga berarti bahwa mad’u harus dapat
diyakinkan bahwa apa yang disampaikan adalah
sesuatu yang mudah. Dan sangat kecil nilainya
dibandingkan manfaat yang mereka peroleh jika
mengikuti nilai dakwah yang disampaikan. Dengan
demikian, mereka akan dengan ringan dan tanpa
beban mengikuti apa yang disampaikan oleh para
da’i . Karena menyadari, bahwa apa yang
disampaikan tersebut bukan kewajiban, namun
suatu kebutuhan mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar