Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Rabu, 29 Desember 2010

JANGAN MENJADI ORANG YANG TIDAK BERADAB DI HADAPAN ALLOH

Tiada meninggalkan sedikit pun dari kebodohan,
siapa yang berusaha akan mengadakan sesuatu
dalam suatu masa, selain dari apa yang dijadikan
oleh Allah didalam masa itu. (Al Hikam 25)
Orang yang meninginkan berpindah dari situasi
yang telah ditetapkan oleh Allah, dan inginnya itu
karena dirinya sendiri, maka orang ini adalah orang
yang masih tetap dalam keadaan bodoh. Atau orang
ini tidak bisa meninggalkan kebodohanya. Ia bodoh
dari sifat ketuhanan Allah SWT Yang Maha Kuasa,
Maha Menemukan.
Maka jika ada seorang murid, atau orang yang
meninginkan sadar kepada Allah. (Murid di sini
bahasanya di tasawuf. Bukan murid orang yang
mengaji, seperti di sekolah-sekolah. Tapi murid
yang menginginkan dekat kepada Allah. Bukan
murid yang menginginkan ilmu dekat, namun
orang yang sudah ingin mendekat kepada Allah).
Jadi bila ada orang yang menginginkan dirinya dekat
kepada Allah SWT, kemudian dia berada dalam
suatu keadaan, baik yang menyangkut badaniyah-
pakaian, makanan, tempat tinggal – maupun
qolbiyah atau hati- situasi sumpek, tidak enak dan
sebagainya- pokoknya keadaan dalam suatu waktu
tertentu, dan keadaan itu tidak dikecam oleh syara ’
dan tidak dilarang oleh Allah, hanya karena tidak
enak perasaan kita, tapi syara ’ tidak melarang.
Kalau seorang murid sudah dalam keadaan itu
sebaiknya kita menyikapinya dengan memperbaiki
adab-adab kita melaksanakan apa yang ada itu saja.
Bukan bagaimana kita berpindah dari situasi itu
kepada situasi yang lain. Kita harus ridha. Ridha
bahwa ini adalah ketetapan Allah misalnya, kita
dicoba; situasi ekonomi agak turun, ada musibah
kecil-kecilan, pokoknya sesuatu yang tidak
memngenakkan, marah, benci, ini kita jangan
berpindah, mencari yang enak, dan hanya karena
didorong rasa ingin. Bukan karena lillah. Itu tidak
tepat. Yang tepat ya kita menyikapinya dengan
ridha. Bahwa ini qadha-qadharnya Allah SWT.
Kemudian kita ikhtiar, bagaimana keadaan ini bisa
diselesaikan. Ini pun harus lillah dan billah. Kita tidak
boleh nggersulo, tapi harus kita terima dengan
ikhlas. Mungkin inilah yang terbaik bagi kita, supaya
kita lebih koreksi diri dan meningkat. Bahkan kalau
kita yakin bahwa ini semua adalah peringatan Allah,
ini yang tepat. Tapi kalau ingin begitu saja tidak enak
pingin enak, itu sama dengan binatang. Dan itu
adalah sikap orang yang tidak sadar kepada Allah.
Jadi, walau bagaimana usaha kita ingin berpindah
dari situasi tidak mengenakkan itu, kalau Allah tidak
menghendakinya tidak bisa. Ketika kita ikhtiar, untuk
keluar dari musibah, dan dari semua kesulitan,
semua itu harus semata lillah. Semata-mata, yu ’ti
kulla dzi haqqin haqqah. Hatinya pasrah tawakkal,
patuh bahwa ini adalah ketetapan Allah. Diterima
dengan baik. Dan bahkan ini kita syukuri karena kita
telah diperingatkan oleh Allah. Sampai Allah nanti
memindahkan kita dari situasi itu.
Seseorang, maqamnya mungkin ada yang tajrid,
ada juga yang kasab. Maqam tajird, yaitu maqam
nyepi dengan menyepinya itu, seringkali Allah
mencukupi kebutuhanya. Ia juga tidak tamak, dan
tidak bergantung dengan pemberian orang lain. Ia
hanya menggantungkan diri kepada Allah. Ini
namanya maqamnya tajrid.
Sedangkan makam kasab, yaitu orang yang diberi
maqam usaha. Usahanya itu pun tidak merusak
agamanya, tidak merusak imanya, bahkan ia
senantiasa tetap menggantungkan diri kepada Allah,
bukan kepada pekerjaanya. Ini namanya maqam
kasab.
Tetapi apabila ada orang yang ditetapkan di maqam
tajrid, tergoda saat ia melihat orang kasab lebih
enak, lebih kaya daripada dirinya (ini menyangkut
ma ’isyah). Kemudian ia ingin pindah tajrid ke kasab.
Artinya dia merasa “Ah, nggak enak tajrid. Aku
bekerja saja biar enak.” Niatnya bukan yu’ti lagi, tapi
binafsi, karena nafsu. Bukan yu’ti lillah, tapi karena
untuk mengisi bidang saja, sebab ia punya
tanggung jawab besar.
Kalau dalam kepindahanya itu terbesit niatan,
“ Barangkali Allah juga meridhai.” Ini lain. Tapi kalau
hanya karena melihat tetangganya yang kasab lebih
kaya, lebih enak. Lalu ia tidak terima diberi tajrid,
yang nafkah dan rezekinya hanya setetes demi
setetes serta hanya cukup untuk dimakan.
Kemudian dorongan ini membuatnya ngotot mati-
matian bekerja karena ‘ingin’ lebih baik, ini tidak
boleh.
Atau orang kasab, yang sudah punya pekerjaan
enak, lancar, tapi ketika ada kesulitan fisik sedikit, dan
kemudian ia tahu seorang tajrid, “Wah, enak kyai
itu, lahiriyahnya duduk-duduk saja, jalan-jalan tok,
dapat duit, ” lalu ia ingin tajrid, hanya melihat
dorongan melihat orang lain sekilas enak itu tadi.
Atau sebaliknya, yang tajrid, ketika ia memandang
orang yang bekerja enak, duitnya banyak, semua itu
adalah pandangan nafsu.
Orang yang berpindah dari keadaan, baik dari tajrid
ke kasab atau dari kasab ke tajrid hanya kerena
dorongan nafsu ingin enak, maka orang seperti itu
adalah yang sedikit sekali adabnya kepada Allah.
Bahkan jika perlu bukan hanya adabnya sedikit, tapi
bahkan tidak punya adab. Ia telah berani kepada
Allah. Sudah ditetakan ingin pindah. Pindahnya
binafsi, lagi sebab nafsunya. Bukan lillah untuk
ikhtiar. Ini hati-hati. Kadang-kadang kita memandang
tetangga kita menanam jeruk, teman kita menanm
padi, kita ikut menanam padi. Tetangganya tajrid,
kita ingin tajrid. Ketika sudah diberi tajrid, ingin
bekerja agar bisa kaya. Orang ini hanya di ombang-
ambing nafsu dan suul adab kepada Allah. Dan dia
adalah orang yang bodoh sekali, karena melakukan
sesuatu yang tidak pantas di hadapan Allah. Di
hadapan Allah itu seharusnya pasrah, tawakkal,
tadhallul, tadharru ’. Nah, dia ini di depan Allah malah
banyak tingkah, tidak patuh sama sekali.
Dalam dunia murid ada istilah qabdhu dan basthu.
Istilah ini adalah bagi seorang murid dalam thariqah
atau murid dalam tasawuf. Kalau di sekolah ya
istilahnya bukan qabdhu atau basthu. Ya marah,
atau senang karena dapat uang, atau nilainya bagus.
Jadi, qabdhu dan basthu ini adalah halul qalbi yang
yurodu ala qolbihi. keadaan hati yang diberikan Allah
kepada hatinya murid, yang berhubungan dengan
nur-nur ilahiyyah atau nurul ma ’rifah. Kalau
demenya (senangnya) murid di SMP SMA, ya bukan
qabdhu. Ya hanya senang, begitu saja. Ini semua
bahasanya dalam disiplin ilmu tasawuf. Jadi bagi
pendengar dari luar supaya memahami disiplin
istilah ini. Agar nanti tidak miss interpretasi, atau
salah faham dengan istilah-istilah tasawuf. Sehingga
nanti tidak ada masalah yang timbul dari kesalah
pahaman ini.
Jadi, qabdhu dan basthu itu hanya berlaku dalam
dunia tasawuf, walau artinya bisa saja diterapkan
dalam hal lain. Tapi konteksnya adalah suatu
keadaan hati yang diberikan oleh Allah di dalam hati
seorang murid. Bukan senang karena dapat mobil,
dapat duit banyak dan sebagainya. Bukan itu yang
dinamakan basthu. Tetapi, ini menyangkut nur
ilahiyyah yang diberikan Allah sehingga Allah
menciptakan suatu keadaan hati, sumpek tanpa
sebab, senang tanpa sebab, berbunga-bunga karena
berhubungan dengan hadratullah SWT.
Orang yang diberi maqam atau keadaan qabdhu,
sumpek tanpa sebab, selalu bergetar, merasa kecil
dihadapan Allah, selalu minder di hadapan Allah,
nelongso dihadapan Allah, kemudian muncul
nafsunya, ia tidak diterima diberi qabdhu. Lalu ia
berubah ingin ke basthu, ingin senang. Orang
seperti ini juga suul adab kepada Allah.
Karena itu, dalam sebuah kisah ada seorang yan
masyhur auliya ’ berkata: “Aku selama 40 tahun ini
tidak pernah oleh Allah dipindahkan kepada situasi
yang aku menjadi tidak suka. Dan aku tidak pernah
dipindahkan oleh Allah dari situasi yang menjadilan
aku benci kepada sesuatu. ”
Dalam keadaan apapun, ia tetap ridha, tetap basthu
dan senang terus. Ini bukan berarti dia tidak ada
perubahan-perubahan keadaaan. Ya mungkin ia
juga dicoba, tetapi ia tetap selalu ridha. Shingga
selama 40 tahun itu, ia tidak pernah merasa sengit.
Ada musibah ya Alhamdulillah, ia menyadari bahwa
ini cobaan Allah. Apalagi saat ia diberi rziki mal atau
rizki ma ’rifah, atau hal-hal tentang ma’rifah, ia
senantiasa bersyukur. Ia tidak lagi benci kepada
keadaan karena ia telah menyadari betul bahwa
semua itu yang membuat Allah. Sehingga ia tidak
ingin berpindah dari tempat satu ke tempat yang
lain, karena dia tidak pernah merasa susah. Ini
selama 40 tahun lamanya. Kok ada orang selam 40
tahun tidak pernah susah? Karena ia dalam
menghadapi masalah ya senang, apalagi
menghadapi yang enak.
Mengapa seorang wali demikian? Karena dia telah
memahami ilmu billah. Ilmu kepada Allah SWT,
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat
yang menentukan segala-galanya. Dan kita adalah
hamba ciptaan Allah. Dia menyadari betul
keadaanya, dan ia adalah orang yang telah ma ’rifah
kepada ketuhanan-Nya.
Maka Zainal Ali berkata, Man arafa nafsahu fa qad
arafa rabbahu. orang yang tahu keberadaan dirinya,
pasti tahu kedudukan Tuhanya. di balik sama saja,
orang yang tahu Allah, pasti tahu keududukan
dirinya. karena itulah dia ridha. Inilah … mengapa
auliya’ dalam kisah tadi selama 40 tahun tidak
pernah susah, hatinya ridha terus, senang terus.
Tidak lain karena ia telah ma ’rifah kepada Allah SWT.
Sesungguhnya benci atau tidak suka pada keadaan
yang telah diisyaratkan oleh para sufi, kemudian ia
pindah dari keadaan itu karena nafsunya sendiri,
atau karena keinginanya dan bukan karena lillah,
kemudian ia ingin memperbarui keadaan yang telah
ditentukan oleh Allah itu, orang ini telah berada pada
puncak kebodohan kepada Allah SWT. Dan telah
mencapai serendah-rendahnya adab di hadapan
Allah SWT. Dan ini juga merupakan bagian dari
menentang waktu yang telah diisyarahkan oleh ahli
sufi. Menurut mereka, ini adalah sebesar-besarnya
dosa yang telah dilakukan seorang khos, atau
seorang yang sadar kepada Allah.
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk
orang yang khusnul adab atau isa ’atil adab,
rendahnya adab. Mari, bagaimana sikap kita bila
Allah menetapkan kita dalam suatu keadaan. Apakah
kita ridha kemudian ikhtiar dengan lillah dan billah
atau malah nggersulo karena nafsu. Jika kita polah
(bertingkah) dan tidak terima Allah, ya kita termasuk
orang yang fii isa ’atil adab atau balaghoti ghoyatidz
dzunubi. Puncak dosa inda ahlil khos.
Kalau ‘indal am, mereka menganggap dosa-dosa itu
tidak berat. Tapi kalau indal khos, indal waliyullah, itu
sudah dosa yang sangat tinggi. Apalagi ma ’siatul
badani. Mengapa ma’siatul badani disini tidak
dibahas, kok ma’siatul qalbi terus yang dibahas?
Apakah ma’siatul badani itu tidak dosa, sepereti zina
dan sebagainya? Ya itu sudah perbuatan dosa yang
sudah jelas. Inda syar ’i saja pelakunya itu sudah di
cap ahli ma’siat, maka tidak perlu dibahas lagi inda
khos. Ini bukan berarti dosa-dosa jarawih atau
badaniyah tidak ada. Ini bahasannya dosa-dosa
adab kepada Allah. Pembahasan dosa-dosa fisik
seperti zina dan sebagainya indal khos sudah
berlalu. Itu jelas mutlak dosanya.
Karena itu jangan sampai kita tergelincir mencari
sesuatu yang kita mengira itu lebih enak. Tapi
sesungguhnya, keinginan untuk lebih enak itu
sebenarnya justru akan membuat kita tergelincir dari
rel-rel yang telah ditentukan Allah SWT. Mudah-
mudahan kita oleh Allah dijadikan orang-orang yang
senantiasa menerima apa yang diberikan Allah SWT.
Dan mudah-mudahan kita segera dipindahkan dari
situasi yang tidak sadar kepada Allah menjadi situasi
yang betul-betul sadar kepada Allah SWT. Amin-
amin ya rabbal alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar