Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Jumat, 03 Desember 2010

NIKAH DAN CERAI WANITA YG DALAM KEADAAN HAMIL (bahasan sdr.Sarkup Al Faqiir)

1. Perempuan yang dinikahi
dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya
dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan
zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini
– Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah
menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari
dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh
suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah
nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan
sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala :
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
'iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil
seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak
sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-
Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna
ayat ini :
Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai
lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan
para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah
pada masa 'iddah.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu'
17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad
5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami
melihat perlu dirinci lebih meluas karena
pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang
terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap
curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-'Alim Al-
Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina
menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal
bolehnya melakukan pernikahan dengannya
terdapat persilangan pendapat dikalangan para
'ulama.
Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam
pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah
dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan
zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat
dikalangan para 'ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan
madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah,
Ishaq dan Abu 'Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan
pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat
pertama yang mengatakan disyaratkan untuk
bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-
Fatawa 32/109 :
Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai
ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah
yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang
benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan
firman Allah 'Azza Wa Jalla :
Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan
perempuan yang berzina atau perempuan yang
musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak
dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut
atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya
dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau
berkata :
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-
Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah
dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur
disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman
(Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang
kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi
'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka
turunlah (ayat) : Dan perempuan yang berzina tidak
dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Kemudian beliau memanggilku
lalu membacakannya padaku dan beliau berkata :
Jangan kamu nikahi dia.
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-
Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-
Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153,
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan
disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu
dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram
nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum
haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun
kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum
haram nikah dengan perempuan pezina tersebut
berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa
'ala alihi wa sallam :
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang
yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh
Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari
seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa
kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna
jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh
(terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang
jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan
bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah
secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram
nikah dengan perempuan pezina sebelum
bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy
dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul
Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh
8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil
Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
2/582-585.
Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu
diketahui kesungguhan taubat perempuan yang
berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau
ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat
ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof
8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan
pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat
ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564
berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi
seorang muslim mengajak perempuan untuk
berzina dan memintanya. Karena permintaannya
ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal
berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan
mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an
maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan
dalam merayunya untuk berzina ?.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas
perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau
melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan
lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan
mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti
sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum
ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil
lima syarat ini. Wallahu A'lam.
Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah. Para 'ulama
berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah
merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan
yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy,
Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-
Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu
Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua
pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh
untuk melakukan akad nikah dengan perempuan
yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya
setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu
adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau
selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh
ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya
adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi
kalau yang menikahinya selain orang yang
menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah
tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah
nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu
kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan
tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah
pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan
dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu,
sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi
wa sallam bersabda tentang tawanan perang
Authos :
Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia
melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil
sampai ia telah haid satu kali.
(HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-
Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329,
7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973
dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di
dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik
bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena
hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai
dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang
shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-
jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
187).
2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari
Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau
bersabda :
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman
orang lain.
(HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-
Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni'
dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad
dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/
no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam
Al-Irwa` no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :
Beliau mendatangi seorang perempuan yang
hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau
bersabda : Barangkali orang itu ingin
menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar.
Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak
untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke
kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan
itu tidak halal baginya dan bagaimana ia
memperbudakkannya sedang ia tidak halal
baginya.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits)
ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya
menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu
karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang
yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena
ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang
mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-
Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-
Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu
A'lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas
bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh
dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi
perempuan yang hamil karena zina dan ini juga
ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza
Wa Jalla :
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
'iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum
nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh
para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi
perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama
mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro`
dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya
berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan
'iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad
dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro`
dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits
Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan
tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an
bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh
suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla
Sya`nuhu :
Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya)
mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali
quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang
berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila
perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan
nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. etentuan perempuan yang berzina dianggap
lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai
melahirkan.
kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah
sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan
perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny
9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-
Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349,
Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid
2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad
5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan
Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu
Taimiyah 2/582-585, 847-850.
3. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa
perempuan yang hamil, baik hamil karena
pernikahan sah, syubhat atau karena zina,
'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para
'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa
'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan
kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan
melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya
tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah
maka keduanya dianggap pezina dan keduanya
harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau
negara mereka menerapkan hukum Islam,
demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam
Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya
berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah
lepas masa 'iddah?.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat
dikalangan para 'ulama. Jumhur (kebanyakan)
'ulama berpendapat : Perempuan tersebut tidak
diharamkan baginya bahkan boleh ia
meminangnya setelah lepas 'iddah-nya.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau
berpendapat bahwa perempuan telah menjadi
haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau
berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut.
pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat
dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau
berpendapat bolehnya menikah kembali setelah
dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir
yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya
dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi
dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga
membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan
bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang
kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya
menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu
'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
4. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan
pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang
haramnya menikahi perempuan hamil kemudian
mereka berdua tetap melakukan jima' maka
keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum
hadd kalau mereka berdua berada di negara yang
diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga
tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun
kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya
menikahi perempuan hamil maka ini dianggap
nikah syubhat dan harus dipisahkan antara
keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti
ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun
mahar, si perempuan hamil ini berhak
mendapatkan maharnya kalau memang belum ia
ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu
'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam bersabda :
Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin
walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil,
nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya
(perempuan) maka baginya mahar dari
dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka
berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang
tidak mempunyai wali.
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya
1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222,
'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu
Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-
Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin
Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi
Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam
Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya
no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102,
Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-
Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam
sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la
dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu
Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-
Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy
7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah
6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315,
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu
'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan
dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no.1840).
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah
sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil
tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam
hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali
perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka
kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan
keumuman firman Allah Ta'ala :
Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian
nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan (QS.
An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai
suatu kewajiban.(QS.An-Nisa` : 24)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar