Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Sabtu, 04 Desember 2010

PERANAN ISTIQOMAH DALAM PERJUANGAN >>by Wahidiyah

Dalam Islam, satu hal yang penting adalah
istiqomah. kata ini bearasal dari kata qomaa yang
berarti berdiri. Kemudian berubah bentuk menjadi
enam huruf (sudasi) dengan mengalami sedikit
perubahan makna. Kata ini memiliki beberapa
pengertian.
Pertama, istiqomah bermakna berkesinambunganya
sebuah pekerjaan. Ketika seseorang melaksanakan
sebuah amalan secara periodik dan terus-menerus
sesuai dengan periode tertentu, maka orang
tersebut berarti telah melaksanakan amalan dengan
istiqomah. Sebagai lawanya dari makna ini di jawa
dikenal dengan istilah dat nyeng, byar pet. makna
dari kedua kata diatas adalah beramal dengan tidak
mengikuti periode waktu yang teratur. Adakalanya
hanya menggebu-nggebu pada awalnya kemudian
melemah, dan seterusnya hilang. Atau beramal
dengan kualitas yang sama tapi dengan periodisasi
yang tidak teratur. Atau bisa juga dengan beramal
walaupun teratur namun dengan kualitas dan
kuantitas yang tidak seragam.
Makna kedua, dari istiqomah adalah sikap untuk
konsisten dengan bentuk awal dari pekerjaan atau
amalan. Ketika seseorang menekuni suatu bidang
pekerjaan atau tanpa memperdulikan hambatan dan
tantangan, maka ia disebut dengan istiqomah.
Sebagai lawan dari makna ini adalah sikap untuk
berganti-ganti pekerjaan atau amalan. Hampir sama
dengan lawan pengertian pertama di atas, hanya
saja pada makna kedua ini, seseorang tetap
melakukan pekerjaan atau amalan, namun dengan
bentuk yang berbeda.
Rasulullah SAW mengajarkan sikap istiqomah ini.
Bahkan beliau SAW menyebutnya sebagai sikap
keberagaman yang paling disukai Allah SWT. Dalam
hal ini beliau SAW bersabda: ”Demi Allah, Allah tidak
akan bosan menerima amal kalian hingga kalian
bosan. Adapun amal yang paling disukai-Nya adalah
apa-apa yang dilakukan terus-menerus oleh
pelakunya. ” (HR. Muttafaq Alaih)
Dalam menjaga istiqomah ini pula, maka Rasulullah
SAW menganjurkan bagi mereka yang karena suatu
hal tidak rutin melakukan amalanya untuk
menyusulkan amalan tersebut. Dalam hal ini baliau
bersabda: ”Barangsiapa yang tertidur dimalam hari
(sehingga tidak melakukan amalan malamnya),
kemudian ia membacanya (dengan menyusulkan)
antara waktu subuh dan dhuhur, maka ia dicatat
seolah-olah membacanya di waktu malam. ” (HR.
Muslim)
Pada bagian lain Rasulullah SAW bersabda kepada
Abdullah bin Umar RA: ”Wahai Abdullah, janganlah
engkau seperti fulan. Ia bangun tengah malam
(shalat malam) kemudian (di lain waktu)
meninggalkan shalat malam. ” (HR. Muslim)
PERAN ISTIQOMAH DALAM PERJUANGAN
WAHIDIYAH
Sebagaimana sering disitir oleh Hadratul Mukarrom
Romo KH. Abdul Latif Madjid RA. Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren
Kedunglo, bahwa hakikat dari perjuangan
Wahidiyah adalah Perjuangan Rasulullah SAW. Atau
dengan kata lain bahwa hakikat dari perjuangan
Wahidiyah adalah perjuangan Islam itu sendiri.
Sehingga dengan demikian, perjuangan Wahidiyah
memiliki medan cakupan luas.
Cakupan perjuangan Wahidiyah meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia. Ada aspek spiritual, ada
aspek syariah, ada aspek ekonomi, ada aspek
pendidikan dan masih banyak aspek-aspek yang
lain. Karena itulah, perjuangan yang luas medanya
ini tidak cukup membutuhkan waktu satu atau dua
tahun. Bahkan bisa puluhan tahun. Dan andaikan
perjuangan tersebut telah mencapai target
sasarannya, masih ada perjuangan baru yang jauh
lebih berat lagi. Yaitu perjuangan untuk
mempertahankan capaian-capaian tersebut.
Dari sinilah, kita tahu bahwa perjuangan Wahidiyah
memerlukan kader-kader yang sanggup untuk
berjuang secara terus-menerus. Di mana mereka
mencurahkan waktunya, baik siang atau malam,
suka ataupun duka, untuk terus-menerus berjuang
dibelakang Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul
Latif Madjid RA, ila yaumil qiyamah
Di samping itu, sebagai sebuah perjuangan,
Wahidiyah juga mesti bergerak secara istiqomah
(konsisten dan berkesinambungan) sebagaimana
telah diarahkan sasaranya oleh Hadratul Mukarram
Romo KH. Abdul Latif Madjid RA. Ketika kemudian
terjadi pembelokan arah perjuangan, maka hal ini
terjadi pembelokan arah perjuangan, maka hal ini
membawa akibat dua akibat yang fatal dan
merugikan.
Pertama, adalah akan tersia-sianya perjuangan yang
dengan susah payah dilakukan oleh generasi-
generasi sebelumnya. Ibarat seorang yang akan
membangun masjid, ketika masjid tersebut hampir
jadi ternyata kemudian dialih fungsikan menjadi
restoran. Betapa sia-sianya tetes keringat para
tukang dan kuli serta uang yang diinfaqkan oleh para
dermawan bagi pembangunan masjid.
Demikian pula dengan Wahidiyah. Jika proses
transfer semangat perjuangan kepada kader-kader
perjuangan tidak berjalan baik, bukan tidak mungkin
Wahidiyah akan jatuh kedudukanya. Dari
sebelumnya sebagai wadah dan kendaraan
pembinaan umat untuk sadar kepada Allah SWT wa
Rasulihi SAW menjadi sebuah kendaraan politik atau
lembaga pengumpul modal umat. Sudah tentu hal
ini akan membuat perjuangan para pendahulu akan
tersia-sia.
Kedua, pembelokan arah dan sasaran perjuangan
akan menimbulkan kehancuran bagi generasi-
generasi berikutnya. Perjuangan Wahidiyah yang
oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif
Madjid RA diarahkan sama dan seirama dengan
perjuangan Rasulullah SAW secara kaffah
(menyeluruh) tentunya akan menghasilkan
masyarakat yang whusul kepada Allah SWT wa
Rasulihi SAW. Di samping itu, perjuangan ini juga
akan menghasilkan masyarakat yang tentram dan
sejahtera lahir batin.
Namun ketika arah perjuangan ini dibelokkan oleh
para kader pejuang Wahidiyah ke jalan dan sasaran
lain, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya
generasi pengikut nafsu dan Iblis. Sudah tentu, jika
hal ini terjadi maka arah perjuangan pun akan
berbeda atau bahkan akan berlawanan dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Mualif Shalawat
Wahidiyah QS wa RA dan oleh Hadratul Mukarrom
Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, Pengasuh
Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren
Kedunglo.
Ketiga, ketidak-istiqomahan dalam berjuang akan
menimbulkan kehancuran ummat secara umum.
Wahidiyah sebagai sebuah perjuangan sudah tentu
berorentasi pada perbaikan ummat. Atau dalam
bahasa dakwahnya, berorentasi pada amar ma ’ruf
nahi munkar. Karena itulah, peranan Wahidiyah
sangat penting bagi masyarakat dalam rangka
menyelamatkan ummat dari kehancuran. Apalagi
dalam konteks zaman ini. Dimana-mana nilai
negative dari dunia barat secara bebas masuk nyaris
tanpa filter di tengah-tengah masyarakat kita.
Jika arah perjuangan Wahidiyah tidak istiqomah
diatas jalan yang telah digariskan oleh para
pendahulu, maka secara otomatis ummat akan
kehilangan penuntun dan pemandu perjalanan
mereka. Mereka tidak lagi dituntun oleh “tangan-
tangan Ke-Tuhanan” yang membawa mereka
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia
akhirat. Namun mereka dituntun oleh “tangan-
tangan syetan” yang menuntun mereka menuju
kehancuran dan neraka Allah SWT.
HAL-HAL YANG MERUSAK ISTIQOMAH
Dalam perjalanan sejarah Islam, telah banyak
jama ’ah-jama’ah dan lembaga perjuangan yang
kemudian hancur karena tidak adanya
keistiqomahan di dalam perjuangan. Ada beberapa
hal yang menyebabkan sebuah lembaga perjuangan
kehilangan istiqomah di dalam perjalananya.
Pertama, adalah ketidak-tahuan penerus lembaga
terhadap arah perjuangan, idealisme dan semangat
perjuangan lembaga itu sendiri. Akibatnya, lembaga
tersebut kemudian mengambil arah perjuangan dan
idealisme baru yang bahkan tidak jarang
bertentangan dengan idealisme awal perjuangan.
Contoh kasus adalah apa yang menimpa Kerajaan
Mataram di Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh
Panembahan Senopati dan mengemban Tugas
untuk melanjutkan misi Kesultanan Demak dalam
Meng-Islamkan Tanah Jawa. Idealisme ini Nampak
dengan jelas pada gelar panembahan Senopati
sebagai Sayyidin Panotogomo (pemimpin dan
peƱata Agama).
Di masa-masa awal Mataram, yaitu di era
Panembahan Hanyokrowati dan Sultan Agung,
idealisme Islamisasi ini dilaksanakan dengan gencar.
Seperti pada pendirian masjid-masjid di seluruh
wilayah kerajaan serta dekrit pergantian
penanggalan Hindu dengan penanggalan Jawa yang
mengadopsi system penanggalan Islam. Demikian
juga dengan pendirian berbagai pesantren dan
pengiriman da ’i-da’i berbagai tempat.
Kedua, terlenanya generasi penerus oleh
kemewahan dan capaian material yang diwariskan
oleh generasi sebelumnya. Banyak terjadi, saat
sebuah lembaga perjuangan mulai mendeklarasikan
diri, maka para pendiri rela untuk hidup sederhana
dan bahkan mengorbankan diri demi cita-cita
perjuangan. Dengan semangat dan tekad kuat ini
kemudian lembaga tersebut berkembang dan
menjadi lembaga kuat. Satu dua generasi idealisme
ini masih melekat dalam kehidupan para pelaku
lembaga tersebut.
Namun kemudian muncul generasi-generasi baru
yang tidak pernah mengalami kegetiran dan susah
payah perjuangan menegakkan lembaga tersebut.
Yang mereka tahu saat mereka lahir adalah
keberadaan sebuah lembaga yang mapan dan
kokoh dengan segala kemewahan materialnya.
Keadaan ini menjadikan para generasi penerus
menjadi generasi yang lemah dan takut untuk
berkeringat. Hanya akhirnya lembaga tersebut
dipimpin oeh generasi-generasi yang lemah tiada
memiliki semangat dan kemauan yang keras.
Akibatnya, lembaga tersebut semakin melemah
sedikit-demi sedikit dan akhirnya hancur sama
sekali.
Kasus ini menimpa Bangsa Arab hingga saat ini. Di
awal-awal Islam, Bangsa Arab terkenal sebagai
bangsa prajurit. Kehidupan yang sederhana serta
kemahiran menunggang kuda, memanah, bermain
pedang dan tombak menjadi ciri khas bangsa Arab
pada saat itu. Keadaan ini yang kemudian
menyebabkan mereka menjadi bangsa yang kuat
serta selalu siap untuk hidup keras. Dan dengan
modal inilah, ditambah dengan semangat jihad
akhirnya mereka manaklukkan berbagai bangsa dan
Negara di wilayah luas.
Kemudian munculah generasi baru yang sama
sekali tidak pernah merasakan pahit getirnya
perjuangan. Mereka hanya kenal dengan
kemewahan dan kemudahan hidup. Hari-hari
mereka isi dengan kesenangan dan pesta pora.
Tidak ada lagi tradisi berlatih memanah, bermain
pedang atau menunggang kuda. Inilah yang
kemudian menyababkan Bangsa Arab menjadi
lemah. Hingga kemudian mereka jatuh ke dalam
kontrol bangsa Turki yang memelihara tradisi
kemiliteran secara istiqomah.
Ketiga, tidak mengenal manfaat dari sebuah
perjuangan. Sebuah perjuangan tentunya
merupakan kegiatan yang mengeluarkan keringat
dan membutuhkan kerja keras. Namun semua itu
akan dilakukan ketika sebuah komunitas mengetahui
dibalik perjuangan itu ada buah yang
membahagiakan, baik itu bersifat material maupun
moral. Baik di dunia maupun di akhirat.
Kaum Muslimin pada awal Islam memiliki semangat
yang menyala-nyala untuk memperjuangkan Islam.
Mereka bergerak di berbagai tempat untuk mengajak
bangsa-bangsa di dunia ini masuk Islam. Dan
semua ini mereka lakukan biaya sendiri serta dengan
mengorbankan banyak waktu yang mungkin oleh
orang lain dipergunakan untuk bersenang-senang.
Hal ini karena dalam perjuangan tersebut mereka
mengetahui dan merasakan bahwa ada hasil yang
akan mereka peroleh sebagai buah dari perjuangan,
terutama besok di akhirat mereka akan
mendapatkan surga . hingga kemudian munculah
slogan ’Isy kariiman aw mut syhiidin (hidup mulia
atau mati sebagai syahid).
Namun kemudian munculah generasi yang kurang
yakin dengan janji-janji Allah bagi para pejuang.
Mereka tidak merasa ada perbaikan nasib di dunia
setelah berjuang menegakkan keyakinan. Disisi lain
mereka juga tidak sempurna keyakinanya terhadap
janji-janji kemuliaan di akhirat sebagai balasan dari
perjuangan yang mereka lakukan. Hingga akhirnya
generasi tersebut menjadi generasi yang tidak
memiliki semangat juang. Mereka akhirnya hanya
menyibukkan diri untuk meraih kesenangan sesaat
berdasarkan kepentingan nafsu. Mereka tidak lagi
tertarik dengan ide-ide “tinggi” yang harus mereka
perjuangkan. Jika ini sudah terjadi, maka jangan
mengharap sebuah lembaga atau jama ’ah atau
sebuah bangsa akan jaya. Yang dapat dipastikan
adalah tinggal menunggu sebuah kehancuran.
Hanya saja kapan waktunya dan bagaimana bentuk
kehancuran itu, sejarah yang akan menceritakan.
Semoga semua ini tidak terjadi pada perjuangan
Wahidiyah. Amin amin yaa Robbal Alamien. Allahu
a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar