Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Rabu, 08 Desember 2010

SUDAHKAH HATI KITA SEPI DARI SELAIN ALLOH???(by Wahidiyah Notes)

Tiada sesuatu yang sangat berguna bagi hati (jiwa),
sebagaimana menyendiri untuk masuk ke medan
berfikir (tafakur). (Al Hikam)
Bahwa uzlah, ay uzlatul badani, menyepinya badan
(lahiriyah) atau fisik dari pergaulan manusia, baik di
gua atau dimana saja, ini kadang-kadang tidak bisa
memberi banyak manfaat kepada si murid untuk
masuk ke medan fikrah. sebab, saat si murid suluk
ilallah atau masuk ke medan fikrah, di antara
syaratnya yaitu hati senantiasa dihadirkan kepada
Allah, selalu berfikir tentang kekuasaan Allah. Bagi
hati yang bisa seperti itu, ini banyak murid yang
salah faham. Sehingga dianggapnya makhluk ini jadi
hijab kepada Allah, terus mereka tarkud-dunya
(meninggalkan dunia-red), tarkul makhluk
(meninggalkan makhluk-red) atau uzlah. Banyak
orang seperti ini tidak mau bekerja, hanya wiridan
saja. Anak-anaknya tidak diurus, pekerjaanya tidak
diurus, nggak mau ngaji, kerjanya hanya uzlah saja.
Ia menganggap uzlah badani, yakni mengasingkan
diri dari pergaulan manusia tadi, membuat hatinya
sepi dari dunia dan dapat tafakur kepada Allah. Nah
disini di ingatkan. Uzlah yang seperti itu tadi, tidak
ada manfaatnya bagi murid untuk dapat masuk ke
medan fikrah. kalau sampai tidak Yukti.
Medan fikrah. Fikiran ini digambarkan seperti alun-
alun. Maksudnya hati ini selalu berlari-lari. Karena
sulitnya mengendalikan hati ini, sehingga banyak
murida yang salah dalam memahami arti nyepi dari
dunia. Kalau mungkin ada teman kita yang berkata
seperti ini, ”Aku kok yang kefikiran dan yang
kelihatan dunia saja, aku kok begini-begini saja.
Kalau begitu, aku akan uzlah saja. ” Ini diingatkan.
Tidak ada gunanya uzalatul badani bagi hati. Malah
sebaliknya, justru rugi. Rugi apanya? Ya tidak
bekerja, tidak mau ngaji, tidak berjuang, dan
sebagainya. Akhirnya melalaikan kewajiban-
kewajiban atau tidak ”yukti” istilah Mbah Yahi. Di
samping menfaatnya bagi hati sangat sedikit sekali.
Litaraddudil qalbi fiiha kataraddudil khuyuuli fil
maidan. Hati itu muter-muter terus, lari-lari terus
kalau ia belum di cencang. Sebab itulah, walau
badan lahirnya sudah uzlah, tapi hatinya belum
uzlah (belum I ’tidal), laa yanfa’u, nggak ada
manfaatnya uzlah itu. Jadi, uzalatul badani ini tidak
ada manfaatnya, sebab yang lari-lari bukan fisiknya,
tapi hatinya. Jadi, bila yang disepikan fisiknya tetapi
hatinya belum sepi dari makhluk, ya tidak ada
gunanya. Ingat ini wahai para pengamal Wahidiyah,
jangan sampai tidak bekerja, tidak waktiyah, tidak
lagi mau berjuang, tidak mau ibadah lainya, hanya
sebab alasan uzlah badani di dalam kamar, nyepi, ini
tidak ada manfaatnya. Malah banyak sekali
mudharatnya.
Idzaa mukhaalithan linaasi isytighala nadhrohu bil
mahsuusaat. Bila seorang itu masih berhubungan
dengan manusia, umumnya hatinya isytighal
(terpengaruh, tersibukkan-red). Oleh hal-hal yang
tertangkap panca indra, terutama hal yang bagus-
bagus indah nafsi (menurut nafsu-red). Baik berupa
harta, kehormatan, dan sebagainya. Sehingga fala
yatafakkaru qalbuhu illa fiha, hatinya tidak lagi bisa
pisah dari ‘dunianya’ itu. wa laa yazaalu naadhiran
illa li a’alamis syahaadah. kalau sudah demikian,
maka hatinya akan terus menerus terpaut oleh
dunia; oleh motornya, rumahnya, atau uangnya.
Sehingga hatinya sulit diajak tafakkur kepada Allah.
Hatinya sulit diajak lillah dan Billah, sebab ingatanya
hanya pada harta. Akhirnya muncul anggapan si
murid bahwa untuk melepaskan keterikatanya
dengan dunia, ia harus uzlah. Tapi karena uzlahnya
si murid itu masih uzlatul badani, ya sama saja.
Karena hatinya tetap saja terpaut dunia. Maka, maa
nafa ’al qalba uzlatun ay uzatul badani. walaupun pun
nyepi atau uzlahnya itu di puncak gunung, kalau
hatinya belum juga nyepi, ya tetap saja. Falaa
yatafakkaru illa fil mahsusat. Memang kelihatnya ia di
dalam masjid, kelihatanya neypi, tapi sesungguhnya
hatinya di pasar, istilah Mbah Yahi.
Sebaliknya, fa idza’tazalahum in ‘akasal haalu. Ketika
hatinya telah menjauh dan meninggalkan mahsusat
(makhluk), I ’tazala qalbi, atau menyepinya hati dari
mahsusat walau fisiknya tidak uzlah; fisiknya di
pasar, fisiknya bekerja, berjuang, tapi hatinya nyepi,
uzlah, ay tajridul qalbi, bahkan ia mampu mengisi
segala bidang, yukti kulla dzi haqqin haqqah, maka
hatinya pun tidak lagi mikir-mikir tentang mahsusat.
Kalau sudah mampu demikian, maka wa jaalu
qalbuhu fii alamil ghaib. keadaan hatinya sudah ada
di alam ghaib ay alam Allah.
Memang adakalanya seseorang itu sudah mampu
menyepikan hatinya, dan tidak lagi isytighal pada
mahsusat, walau fisiknya tidak uzlah. Tapi kalau bisa
dua-duanya. Kalau malam uzlah, nyepi, mujahadah,
siang fisiknya ya keluar bergaul. Jadi kalau bisa,
tajrid: tajrid fisik ya tajrid qalbi. Yang paling penting
tajridul qalbi atau uzlatul qalbi. sebab uzalatul qalbi
itu bisa melepaskan berputar-putarnya hati pada
mahsusat. Mandeg pada alun-alunya fikiran.
Fikiranya hanya menghadap kepada Allah SWT. Tapi
kalau melihat makhluk, ya tetap saja berputar-putar
tidak mau diajak menghadap kepada Allah. Bahkan
hatinya balik dan terpengaruh kepada motornya lagi,
kepada daganganya, kepada anaknya, akan terus
begitu. Walau ia sendiri berada di dalam gua. Tapi
kalau Penjenengan (anda) sudah I ’tazalahum, sudah
meninggalkan mahsusat, walau kita dalam keadaan
bekerja, hatinya akan tetap menghadap kepada
Allah. Dzat Yang Maha Kuasa.
Dalam sebuah dawuh disebutkan: ”Berfikir sesaat,
lebih baik dari ibadah 70 tahun.”
Ini perbandingan tafakur yang mampu
menghadirkan Allah dalam hati. Tapi ini bukan
berarti kita tidak perlu lagi ibadah-ibadah lainya,
hanya tafakur saja, ini keliru. Ini hanya gambaran
betapa tingginya nilai tafakur yang dilaksanakan
benar-benar. Dalam sebuah kisah diterangkan:
Suatu ketika pernah terjadi seseorang bertanya
kepada istrinya Abu Darda: ”Amal-amal apa saja
yang sering dikerjakan Abu Darda?” Istri Abu Darda
ini menjawab: ”Tafakur.” Tapi tafakur yang
dimaksud disini adalah tafakkur lita’dziimillah. yakni
tafakur terhadap sesuatu yang bernilai
mengagungkan dan menjadikan Allah ridha. Juga
tafakur tentang sesuatu yang menjadikan Allah
murka, dengan tujuan kita bisa meningggalkan. Juga
tafakur tentang betapa berbahayanya nafsu, dengan
tujuan kita bisa menghindar dari tipu dayanya. ”Oh
nafsu itu jelek, menjerumuskan, mendorong orang
berbuat maksiat. Kalau begitu saya akan terus
memeranginya. ”
Wa makayyidil aduwwi wa ghuruurid-dunya. Dan
berfikir tentang tipu daya musuh, dan tipu daya
dunia. Wa yata ’arrofu bihi wujuuhal hiyali fit
tabaa’udi ‘anha. Melalui tafakur kita akan tahu celah-
celah kesenangan nafsu, kemudian kita bisa
meninggalkanya dan kita bisa selamat dari bahaya-
bahaya yang di timbulkanya. Karena itulah, maka
tafakur dalam maqam kasab, adalah ibadah yang
paling baik. Jadi sekali lagi, yang dimaksud tafakur
disini adalah tafakur ilallah. Bukan tafakur ilal
makhluk.
Wabil uzlatil madzkuurati yahshulut tamarruna ‘alal
khalwatil latii hiya ahadu arkaanit thariiqil arba’ati.
Uzlatul qalbi ini, sekali lagi, bisa memberikan hasil.
Karena bisa melatih hati untuk nyepi, ay khulwatul
qalbi.
Memang banyak sekali orang yang melakukan
khalwat, nyepi, riyahdah, tapi ternyata yang ia tuju
bukan taqarrub ilallah tetapi ingin diberi karomah,
ingin diberi ampuh, ingin ini, ingin itu dan tidak lillah.
Sehingga bukanya mereka sampai kepada Allah
namun berhenti di tengah jalan. Akibatnya,
meskipun uzlah atau khalwat yang dilakukan
berjam-jam, berhari-hari, bukan membuat dirinya
bisa meninggalkan makhluk menuju Allah, tetapi
justru hatinya terpaut dengan makhluk itu sendiri.
Sebab sesungguhnya, semakin mereka berkhalwat,
sebenarnya hatinya semakin terpincut dengan
makhluk, yaitu karomah itu tadi.
Uzlah qalbi dan khalwatul qalbi ini juga termasuk
merupakan salah satu dari empat syarat rukunya
seseorang salik yang ingin menuju Allah. Sedangkan
di antara syarat yang lain lagi, termasuk shumtu,
tidak banyak bicara yang tidak ada manfaatnya.
Diam, waktunya banyak dipakai mujahadah dalam
hati. Istilah Mbah Yahi, hatinya terus-menerus Yaa
Sayyidi Yaa Rasulullah, fi kulli saa ’atin wa waktin.
Wal juu’, dan lapar. Makannya dikurangi. Ini saya
tegaskan! Kalau seseorang olah ragawan lahiriyah,
memang makanya harus banyak. Tapi kalau olah
raga batiniyah atau riyadhah, bila perutnya kenyang
terus, ini tidak akan bisa berhasil. Ini kenyataan.
Orang yang perutnya penuh, hatinya sulit di ajak
menghadap Allah. Inginya bermalas-malasan saja,
ngantuk dan sebagainya. Tapi kalau mau berlapar-
lapar (puasa), insya Allah akan selalu ada dorongan
untuk ibadah, karena nafsunya lemah. Rukun
berikutnya as-sahru, terjaga (melek-red) malam.
Kalau malam jangan tidur saja mujahadah!
Yang perlu kita perhatikan dan ini tidak di
perbolehkan agama. Adalah uzlah patigeni, tidak
makan terus-menerus. Karena hal itu
membahayakan fisik. Sebab, makanan itu secara
syareat menjadikan kekuatan. Kalau tidak makan
jadinya lemas nanti tidak mujahadah.
Wabihaadzal arba’ati tashiirul abdaalu abdaalan.
empat perkara ini, dahulu banyak dijalani oleh para
sufi, sehingga banyak pula diantara mereka diangkat
wali abdal. Karena itu, jika sampeyan ingin diangkat
wali abdal, ya harus mempeng seperti ini.
Setiap pengamal Wahidiyah adalah murid: yakni
orang yang menginginkan yasluku ila suluuki
thariqah. yaitu orang yang berjalan melalui jalan
thariqah. Thariqah apa? Ya Wahidiyah ini. Jadi,
sekarang kita sedang menapaki jalan menuju Allah
yang digariskan Mbah Yahi.
Sekali lagi, kita harus banyak mujahadah, harus
banyak diam, tidak banyak membicarakan hal-hal
yang tidak ada manfaatnya. Perutnya agak
dilaparkan, karena banyak makan, membuat kita
gemuk. Kalau gemuk, kita sama saja seperti orang
Cina. Kalau sudah menjalani puasa, kok tetap saja
nafsunya liar, ya mutih (makan nasi saja-red).
Memang akibatnya kurus. Tapi orang kalau sudah
badanya gemuk, kebanyakan mereka pemalas.
Dengan riyadhah seperti ini, insya Allah nanti akan
ada dorongan untuk ibadah.
Tapi, apa seorang murid harus menjalani empat
perkara tadi? Fa inkaana tahta tarbiyati syaikhin, tidak
juga. Empat perkara di atas tadi, terutama wajib
dijalani seorang murid bila si murid itu tidak memiliki
guru. Tapi sangat jarang yang bisa sampai tanpa
guru. Kebanyakan mereka melalui bimbingan
Mursyid.
Lalu bagaimana kalau dibawah bimbingan guru?
Apa harus menjalani empat perkara tadi? Oh tidak,
itu tergantung bagaimana guru itu. Yaitu falaa budda
min mukhaalatihi wa mukhalaathathi ikhwani.
Maksudnya, kalau kita berguru, ya kita harus
berhubungan dengan guru dan sami ’na wa atha’na
terhadap apa saja yang di dawuhkan, dianjurkan
dan dibimbingkan guru, itu yang harus
dilaksanakan. Juga harus selalu berhubungan
dengan sesama murid. Kalau kita ya harus sering
berhubungan dengan sesama pengamal. Kalau
pengamal bergaulnya banyak dengan non
pengamal, yang banyak diobrolkan biasanya malah
bukan masalah perjuangan. Yang diobrolkan bukan
bab lillah billah, tapi urusan yang lain. Karena itu, kita
pengamal Wahidiyah hendaknya kita ikuti anjuran
guru kita. Kalau gurunya menganjurkan
memperbanyak mujahadah, selalu berusaha lillah-
billah, lirrasul-birrasul, lilghauts-bilghauts dan yukti
kulla dzi haqqin haqqah, dan itu memang
merupakan salah satu tarbiyatus syaikh (pengajaran
seorang guru-red). Kepada muridnya, ya harus
dijalankan.
Jangan hanya berkawan dengan yang belum
pengamal. Kecuali memang ada manfaat atau hajat;
mungkin urusan kerja, urusan kemasyarakatan dan
lain-lain. Tapi kalau tidak ada kaitan apa-apa,
usahakan bergaul dengan teman sesama pengamal
Wahidiyah saja. Karena apa? Kalau bergaul dengan
sesama pengamal itu, nantinya disamping
diharapkan sambil bermusyawarah bagaimana
dzauqiyah ke-Wahidiyahan-nya, pengalaman
selama mengamalkan, perjuanganya bagaimana
dan sebagainya. Ini sangat bermanfaat.
Kalau bukan dengan pengamal, tidak mungkin kita
akan ngobrol masalah perjuangan. Tidak mungkin
membahas lillah-billah. Karena orang yang kita ajak
bicara tidak akan nyambung. Bahkan tidak jarang,
pada akhirnya makin lama makin lama kita justru
terbawa oleh situasi pergaulan yang bukan
pengamal itu. Sebaliknya, kalau bergaul kita dengan
sesama pengamal, kita akan saling dorong, saling
ingat mengingatkan dhahiriyahnya. Dan
batiniyahnya, akan saling pancar memancarkan
pancaran hati kepada yang lain. Istilahnya, akan
terjadi gesekan sehingga sama-sama mengkilap.
Faidza dzahabat ra’uunaatu nafsihi wa shaara minal
aarifin falaa atdhurruhu mukhaalathatul khalqi
ajma ’iin. Maka apabila kita harus sudah dapat
mengikuti tuntunanya guru, sudah bisa bergaul
dengan sesama pengamal Wahidiyah, bisa
mengikuti kegiatan Wahidiyah, mujahadah
bersama, berjuang bersama, yang dibicarakan kalau
tidak penting tidak, selain masalah Wahidiyah, pada
suatu saat nanti kita akan sampai pada kondisi:
nafsu-nafsu yang jelek-jelek tadi sedikit demi sedikit
akan hilang. Karena kita senantiasa mujahadah,
hanya bahas perjuangan, dan akhirnya kita akan
terus tafakur; ”Oh yang seperti ini nafsu, kalau begini
nafsu,” sehingga kita akan terus waspada. Sebab,
kita lama-lama tahu tipu daya nafsu. Terus
dimusyawarahkan dengan teman-teman pengamal
cara mengendalikanya, akhirnya dzahabat
ru ’uunaatu nafsihi, nafsunya itu terkendali.
Kalau sudah nafsunya yang jelek-jelek itu terkendali,
kita akan diangkat oleh Allah menjadi orang yang
bisa lillah dan billah hakiki. Orang yang tidak bisa
lillah-billah bukan termasuk arifin. Jika hati telah
betul-betul lillah-billah falaa tadhurruhu
mukhaalathatil khalqi. maka kita berhubungan
dengan makhluk pun hati kita tidak akan
terpengaruh. Sebab hati kita senantiasa menghadap
kepada Allah SWT. Liannahu hiinaidzin laa yara
ghairallah, karena pada saat itu, sudah tidak lagi
melihat, mengingat,menganggap apapun makhluk
ini, kecuali Allah SWT.
Wa’lam annal fikrota hiyal mashuudu wal ‘uzlata
wasiilatun laha. Uzlah itu tujuanya untuk tafakur.
Jadi, orang uzlah hakikatnya yang dituju adalah
tafakur, uzlah hanyalah wasilah. Lah, kalau kita ingin
tafakur tentang keagungan Allah, bila uzlahnya
hanya lahiriyah saja, hatinya tidak diajak ikut uzlah,
ya tidak akan bisa. Karena itu, yang paling penting
disini adalah uzlah qalbi. Tentunya, uzlah qalbi ini
lewat uzlatul badani. Tapi yang harus tetap diingat
bahwa sesungguhnya tujuan kita uzlah ini bukan
uzlah badani; tapi uzlatul qalbi. Kita sebagai
pengamal Wahidiyah, jika memang akan uzlah,
uzlah kita harus lillah dan billah. Tujuan akhir tetap
lillah dan billah. Bila kita sdah bisa uzlah dan bisa
tafakur, kita akan tahu keagungan Allah, tahu
kedudukannya makhluk.
System dalam thariqah ya begini ini. Dari uzlatul
badani menuju uzlatul qalbi. Kalau sudah bisa uzaltul
qalbi, hatinya bisa tafakur. Kalau sudah bisa tafakur,
bisa meningkat pada penerapan lillah dan billah.
Dalam thariqah dari bawah seperti ini. Tapi dalam
Wahidiyah tidak; dari atas ke bawah. Bahkan Mbah
Yahi tidak menganjurkan uzlah, langsung lillah dan
billah, dilatih! Tidak berangkat dari uzlah dahulu, tidak
dari khalwat dahulu, tapi langsung lillah dan billah.
Sebab itu tadi. Uzlah ini kan tujuanya untuk tafakur,
tafakur tujuanya menuju kepada Allah SWT. Lah
Mbah Yahi tidak: langsung dikenalkan Allah; lillah dan
billah. Kalau kita sudah bisa lillah dan billah, inilah
ghayatul maksud, patoke (akhir-red) tujuan uzlah itu
sedniri, yaitu lillah dan billah. Tidak usah lewat uzlah.
Uzlah ini merupakan tangga menuju Allah. Berarti
dari maqam terbawah menuju atas. Maka umpama
kita bisa uzlah, kemudian bisa tafakur, tapi tidak
didasari lillah dan billah, otomatis uzlah dan
tafakurnya itu linafsi binafsi. Karena belum sampai
makrifat kepada Allah, masih berjalan. Tapi kalau
Mbah Yahi, langsung menghadap Allah SWT. Baru
nanti turun, melewati ini, itu, lewat uzlah, dan
sebagainya.
Alhamdulillah, sesuai dawuhnya Mbah Yahi, bahwa
Wahidiyah itu jalan yang paling cepat untuk menuju
kepada Allah SWT. Yang lain masih berjalan-jalan,
bahkan ada juga yang masih muter-muter saja,
kalau Wahidiyah langsung dikenalkan kepada Allah
SWT. Langsung nafsu di tunggangi, dikuasai untuk
menuju kepada Allah SWT. Kalau ingin ibadah,
keinginanya itu di arahkan, semata-mata lillah,
sehingga nilai ibadahnya lillah. Juga harus billah.
Allah yang menggerakkan semua lahir batin kita.
Akan lebih kuat lagi penerapan lillah billah itu, jika kita
senantiasa mengendalikan ucapan kita, perutnya
agak dikosongkan, dan melek bengine di tambah
untuk mujahadah kepada Allah SWT.
Karena itu mari, jangan jadikan uzlatul badani
sebagai tujuan, tapi tujuanya adalah uzlatul qalbi.
Yakni menyepikan hati dari selain Allah. Kalau hati
sudah sepi dari makhluk, hati itu akan mandeg
(berhenti) di alam fikiran. Kalau sudah demikian,
maka yang ada hanya fikiran-fikiran akan Allah SWT
saja. Yang ada hanya rasa keagungan Allah,
kekuasaan Allah dan seterusnya.
Mudah-mudahan kita semua oleh Allah SWT diberi
bisa uzlatul qalbi; menyepinya hati dari maa siwallah
(selain Allah-red). Isi hati kita yang ada hanya Allah
semata. Amin-amin ya rabbal alamin. Mari kita
terpakan kita coba, kita diam sebentar (meditasi), hati
kita, kita sepikan selain dari Allah. Al Fatihah ….

2 komentar: