Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Senin, 31 Januari 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 30 JAN 2011

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Mohon maaf segala salah dan khilaf, dikutip dari
sms sdr Barek Bom Nda ditulis oleh Ika Gp.
Rangkuman Pengajian AL HIKAM 30 Jan 2011 sbb:
1 ~ Sebagian auliya' kadang tampak karomahnya
dan kadang hilang, sehingga ia seperti orang biasa.
2 ~ Khususiyah suatu saat bisa hilang, tapi
nurulma'arif tidak akan hilang selama tidak
melakukan kesalahan yang fatal.
3 ~ Manusia cenderung mencari khususiyah bukan
mencari ma'rifat.
4 ~ Carilah istiqomah jangan cari karomah.
yang di maksud adalah istiqomah dalam ma'rifat
kepada Alloh.
5 ~ Orang yang di beri karomah tanpa ma'rifat
maka malah akan jauh dari AIloh SWT.
hakikat karomah adl istiqomah.
6 ~ Proses perjalanan salik adalah mengenal
makhluk-asma-sifat-dzat AIloh.
prjalanan ini adalah ranah dzauq bkn akal/ilmiah.
7 ~ Salik melihat makhluk dulu baru melihat AIloh,
kalo majdzub melihat Alloh baru melihat makhluk.
8 ~ Murid adalah orang yg menginginkan (bil ilmi),
salik adalah orang yang berjalan menuju AIloh
(dengan rasa),
majdzub/jadzab adalah di tarik/di kehendaki oleh
Alloh.
9 ~ Wahidiyah langsung billah, maka sangat cepat,
Mbah Yahi RA dawuh
"insyaAlloh dengan system wahidiyah, tercepat
dalam kajian akademis, ilmu dan realita"
ALFATIHAH...
Sekian semoga bermanfaat
Wassalam
nb.atas dasar inisiatif pribadi bukan resmi dari
YPW/PONPES suwun

Rabu, 26 Januari 2011

Ma'rifat : Titik Kulminasi sainsBy Aboe Roehoel

Ma’rifat :


Titik Kulminasi Saint


Makhluk yang namanya manusia “diturunkan” di
muka bumi ini tidak lain untuk mengemban tugas
kekhalifahan yang diberika Allah kepadanya.
Kemampuan manusia menerima tugas, yang
enggan diambil makhluk lainnya adalah satu bukti
kelebihan manusia atas yang lainnya, yakni
memiliki ‘pengetahuan’. Ini baru disadari para
malaikat ketika Allah memerintahkan Adam As
(sebagaima manusia pertama) untuk menyebutkan
nama objek yang ditunjuk oleh Allah kepadanya.

Sebelumnya, para malaikat meragukan kualitas
manusia mengemban tugas kekhalifahan yang
diberiian Allah tersebut. Kelebihan atas
pengetahuan inilah yang menjadikan manusia
menjadi lebih mulia, atas perintah Allah,
bersujudlah para malaikat.
Di dalam dunia tasawuf, pengetahuan sendiri dapat
diperoleh dengan 3 (tiga) alat atau karunia yang
sudah diberikan Allah Swt kepada manusia. 3 (tiga)
alat tersebut adalah; 1. Indera, 2. Akal dan 3. Hati.

Indera merupakan pemberian Allah yang besar
sekali manfaatnya bagi manusia. Dan dalam indera
sendiri terbagi menjadi 5 (lima) kualitas, yang
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
Kualitas indera tersebut adalah 1. Indera penglihat
(mata), 2. Indera pendengar (telinga), 3. Indera
perasa/peraba (kulit/tangan), 4. Indera pencium
(hidung) dan 5. Indra pengecap (lidah). Tetapi, di
dalam hal mencari pengetahuan, manusia tidak
akan berhasil jika hanya mengandalkan indera.
Sering manusia terjebak dengan pengetahuan
yang diterima oleh indera, sebagai suatu
pengetahuan yang bisa dikatakan terpotong.
sebagaimana yang diceritakan oleh al Ghozali, sang
Hujjatul Islam, dalam kitabnya Munqiz minadl
dlolal. Dalam kitabnya tersebut dijelaskan, bahwa
pada tahap awal kita (manusia) akan mengira,
bahwa inderalah satu-satunya alat pengetahuan
yang mampu membawa manusia pada kepastian
(pengetahuan), sebagaimana kita telah begitu yakin
dengan sebuah gelas yang berada di hadapan kita,
bahwa gelas tersebut betul-betul ada. Darimana
keyakinan itu lahir, tentunya dari indera peraba dan
indera penglihat yang ada pada diri kita. Karena
kualitas indera-indera tersebutlah, tidak mungkin
kita meragukan keberadaan gelas tersebut. Tetapi
jika kita bawa kualitas indera-indera tersebut dalam
objek yang lain, semisal bentuk rel kereta yang kita
lihat ketika kita berdiri di tengah-tengah jalan kereta
tersebut, atau objek bintang gemintang yang
secara kasat mata kita lihat di malam hari yang
kelam, bagaimana hasilnya? Disinilah letak
kelemahan indera, dalam hal kepastian
pengetahuan yang didapat masih belum bisa
dikatakan ‘final’
.Yang
kedua adalah akal, dalam salah satu
karyanya, al Ghozali pernah mengungkapkan “akal
lebih berhak disebut cahaya dari pada indera”.
Pernyataan tersebut dalam pengertian beliau adalah
akal patut disebut sebagai cahaya. Alasannya,
ketika indera tidak mampu menakar sejatinya objek
yang terlampau jauh, akal mampu
membuktikannya. Tetapi, lagi-lagi alat pencari
pengetahuan kedua ini pun lemah, dikarenakan akal
begitu tunduk pada subyeknya saja, yakni kita,
manusia. Kondisi seperti ini hanya mengakibatkan
akal harus rela terkurung dalam buih subyektifitas.
Dalam kondisi seperti ini pulalah lahir kebenaran
yang subyektif dan fragmenter. Karena kondisi
semacam inilah sejarah mencatat, betapa banyak
perbedaan yang telah dilahirkan dari pengagung
akal. Pebedaan ini pulalah yang memberikan begitu
banyak warna pada manusia pada format aliran-
aliran pemikiran (isme), yang celakanya lagi,
masing-masing dari aliran tersebut mengklaim
sebagai yang ‘benar’. Entah mereka sebagai teolog,
filsuf, politisi, mahasiswa, ulama dan bahkan kita
sendiri sebagai orang awam, tergelincir dengan
kesubjektifan dari akal.
Dan yang terakhir dari alat pencari pengetahuan
adalah hati. Ketika kita membahas tentang hati,
mungkin konotasi yang berada dibenak kita adalah
kepada hal yang bersifat batiniyah, atau mungkin
hati yang besarnya tidak lebih dari sekepal tangan
kita, yang berada di dada. Tapi kita tegaskan disini,
bahwa hati yang dimaksud dengan alat
pengetahuan disini adalah lebih dari sekadar kondisi
fisik, melainkan pada dataran rasa (dzauq).
Ketika indera mampu mendefinisikan objek, akal
menjabarkannya dengan tehnologi, dan jangan
dikira hati (qolb) tidak mempunyai kualitas-kualitas
yang dimiliki kedua alat pencari pengetahuan
sebelumnya tersebut. Sebagaimana kualitas pada
indera, hatipun memiliknya. Dengan indera hati,
objek-objek serupa yang ditangkap oleh indera,
mampu pula ditangkap oleh hati, bahkan lebih
sempurna kualitasnya. Kualitas hati seperti itu
disebut dengan musyahadah, ketika objek tidak
mampu tertakar oleh indera, dengan kualitas
musyahadah, objek yang tidak mampu ter cover
indera, mampu ditangkap secara sempurna oleh
hati. Sesuatu yang tidak mampu dilihat secara
sempurna oleh indera, mampu dengan mudah
ditangkap oleh hati pula (mukasyafah).
Jika pengagung akal membanggakan metode
diskursifnya, hati menyodorkan metode intuitifnya
(dzauqiyah). Dalam metode diskursif sendiri,
ternyata ditemukan adanya jurang pemisah yang
begitu curam dan lebar antara subjek dan objek.
Menurut Iqbal, akal cenderung meruang-ruangkan
(spatiatisasi) objek-objek fisik, bahkan pada objek-
objek non fisik pun tidak terlepas dari spatiatisasi
akal. Berbeda dengan metode yang digulirkan oleh
hati, yakni metode intuitif, karena sifatnya yang
‘ langsung’, maka pengetahuan yang dihasilkannya
pun menjadi memiliki keintiman dengan objek-
objeknya.
Sering kita mendengar atau mengetahui dari
orang-orang, atau guru-guru sufi yang berbicara
tentang adanya kesatuan dari pengetahuan (unity
of knowledge), yang mengetahui dan yang
diketahui. Bentuk penyatuan ini dijelaskan dalam
suatu ilmu, yang dinamakan ilmu hudluri; dimana
objek-objek pengetahuan dihadirkan secara
langsung dalam kesadaran seseorang. karena
itulah orang tersebut mampu mengidentifikasi
objek-objek pengetahuan secara baik. Melalui
penalaran intuitif atau dzauqiyah inilah pengetahuan
mampu tersingkap dari tabir-tabir yang
menutupinya.
Dengan kekuatan hati (batiniyah) yang dibarengi
dengan mujahadah, sebagai pembuka pintu
hidayah, semua pengetahuan akan tersibak secara
kasat mata (mukasyafah). Dan karena kualitas hati
ini pulalah, realitas-realitas yng sebenarnya
(musyahadah) mampu dibedakan, mana yang
benar-benar dan mana yang ilusif belaka, dan
metode dari hati inilah yang ujungnya dinamakan
‘ Ma’rifat”. Wa Alloohu ‘alam. oleh : Aboe M. Aqeel

Rabu, 19 Januari 2011

Semua keadaan, bisa menjadi TORIQOH (jalan) menuju Allah!

“Tidak dikuatirkan padamu bingung jalan. Tetapi
yang dikuatirkan atasmu adalah menangnya hawa
nafsu atas akal dan imanmu. ” (Al Hikam: 117)
Bagi semua orang, tidak dikhawatirkan bingung
tentang keadaan dirinya; apakah ia melakukan taat,
atau terjerumus berbuat maksiat. Karena yang jelas,
perbuatan-perbuatan itu, sebenarnya bisa dijadikan
jalan untuk menuju mewusulkan seseorang kepada
Allah, atau bisa menjadi jalan, atau toriqoh kepada
Allah.
Amal itu sendiri memiliki dua nilai. Pertama; Nilainya
sebagai amal. Tentu setelah terpenuhinya syarat-
syaratnya amal itu sendiri. Kedua; Berfungsi sebagai
toriqoh.
Suatu perbuatan dinilai amal, kalau dalam
pelaksanaanya sudah memenuhi syarat-syarat,
seperti niat, rukunya sudah tepat, yang
membatalkan sudah ditinggalkan, dan sebagainya.
Jika hal ini sudah ditepati, amal itu diterima.
Sebaliknya, kalau amal itu untuk dijadikan sebagai
toriqoh ilallah, ya syaratnya lain lagi, tentu
sebagaimana yang berlaku di toriqoh. Nah, kalau
bisa, kita melakukan amal ibadah bisa bernilai kedua-
duanya; sebagai amal ibadah dan sebagai toriqoh.
Karena ada amal yang tidak memenuhi syarat-
syarat amal, tapi ia bisa tusilu ilallah (menjadi toriqoh
untuk wushul kepada Allah). Ada juga amal yang
diterima, tetapi tidak bisa tusilu ilallah.
Ketika kita menghadapi suatu keadaan, di sini
digambarkan, ada taat, ada maksiat, juga ada bala’.
Taat, maksiat dan bala’ ini, kita tidak dikhawatirkan
ketidakmampuan kita untuk memanfaatkanya
menjadi toriqoh atau amal ibadah tusilu ilallah.
Meskipun didalam Al Qur’an sendiri dan juga hadits,
telah jelas diterangkan, bahwa apabila kita mau
mempelajari dan memahami benar-benar, disana
ada tuntunan-tuntunan yang menuntun kita agar
dapat memanfaatkan semua keadaan atau amal
ibadah menjadi toriqoh yang tusilu ilallah.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana menggunakan
taat, menjadi amal ibadah, menjadi toriqoh yang
tusilu ilallah. Yaitu:
Yakni, kita memandang bahwa semua amal ibadah
kita ini adalah anugerah dari Allah, bukan sebab daya
upaya kita, dan bukan karena usaha kita. Karena itu
jangan diaku ketika kita bisa taat, bahwa itu hasil
ikhtiar kita, tetapi sadarilah bahwa ini adalah
anugerah dari Allah. Walaupun umpamanya, kita
sudah lillah, tetapi ketika kita melakukan amal ibadah
belum melihat bahwa sesungguhnya bisa beramal
itu sendiri merupakan anugerah Allah, berarti kita
masih mahjub, terhijab, amal itu masih diaku. Nah,
supaya amal itu tidak diaku, kita harus menyadari
minnatun minallah (anugerah dari Allah). Dalam
istilah Wahidiyah billah, bukan ikhtiar kita. Kalau taat
kita sudah kita bilah-kan, hati kita senantiasa ingat
kepada Allah, ya otomatis amal atau taat itu menjadi
toriqoh kepada Allah.
Dibidang maksiat; bagaimana agar maksiat kita ini
bisa dijadikan toriqoh kepada Allah? Yaitu, ketika kita
maksiat, kita harus istighfar, merasa hina, merasa
dosa dihadapan Allah SWT. Kemudian kita tobat
yang sungguh-sungguh kepada Allah, maka
maksiat itu akan menjadi toriqoh kepada Allah.
Karena itu ada dawuh:”Maksiat yang didalamnya
menimbulkan rasa dosa, nelongso dan menangis
meminta ampunan kepada Allah, berdepe-depe
tobat dan kembali kepada Allah, itu lebih bagus
daripada taat yang tidak ada rasa demikian itu,
bahkan menumbuhkan rasa takabur. Karena itulah,
maksiat bisa dijadikan toriqoh kepada Allah.
Begitu juga nikmat. Bagaimana nikmat itu agar bisa
dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu kita senantiasa
bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan
Allah. Baik Syukur bil qalbi, syukur bil lisan, maupun
syukur dengan cara menggunakan nikmat itu untuk
beramal, sesuai dengan kehendak yang memberi
nikmat.
Syukur bil qalbi, kita merasa, menyadari bahwa
semua nikmat itu dari Allah SWT. Sadar bahwa
nikmat itu adalah anugerah Allah. Juga sebagai
ungkapan syukur kita, secara lisan kita berterima
kasih kepada Allah dengan memanjatkan puji;
Alhamdulillah. Bahkan, kalau perlu disampaikan
kepada orang lain: Alhamdulillah saya baru saja
mendapat nikmat dari Allah ” maksud membicarakan
nikmat tentu bukan niat riya’, tapi niat syukur dan
menunjukkan nikmat Allah kepada orang lain. Kalau
bisa demikian, maka syukur nikmat tadi, bisa
menjadi toriqoh kepada Allah.
Begitupun ketika kita mendapat bala’. Ia bisa
dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu ketika kita
menerimanya dengan hati ridha, dan sadar bahwa
ini adalah qodho-qodar-nya Allah. Kita memandang,
ini semua dari Allah semata. Disebabkan banyak
dosa-dosa kita.
” Telah tampak berbagai kerusakan di darat dan
dilautan. Bencana alam, banjir, angin topan, gunung
meletus, kecelakaan, dan sebagainya. Semua ini
adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, kata
Allah. Hingga dunia menjadi rusak, dan semua
barokahnya hilang. Mulai barokah harta-benda,
barokah rumah-tangga, semuanya hilang.
Semuanya kacau balau. Akibat kerusakan itu
kemudian ditimpakan oleh Allah kepada manusia,
agar mereka mau sadar dan kembali kepada Allah
SWT. ” (QS. Ar Rum: 41).
Demikian inilah beliau tuntunan K. Mushonnif kepada
kita, kepada Pengamal Wahidiyah khususnya yang
telah lama didik Mbah Yahi, untuk menyikapi
keadaan maksiat, taat, nikmat dan bala ’. Untuk
dijadikan toriqoh kepada Allah.
Jadi pada intinya; bukan maksiat menjadi ibadah,
tidak. Tapi, bagaimana maksiat itu bisa dijadikan
toriqoh ubudiyah yang tusilu ilallah.
Bagi Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah
Yahi, ketika menghadapi maksiat, taat, nikmat dan
bala ’. Atau ketika ia dikuasai nafsu, sangat
dikhawatirkan ia tidak bisa memanfaatkan keadaan-
keadaan tersebut jadi toriqoh ilallah. Yang lebih
menghawatirkan lagi apabila taatnya menjadi
maksiat, bala ’ menjadi maksiat, karena dirinya
dikuasai oleh hawa nafsu.
Padahal Mbah Yahi telah mendidik agar kita tidak
perlu khawatir lagi menyikapi nikmat taat, maksiat,
bala ’ ini. Sebab jika kita benar-benar tidak dikuasai
hawa nafsu, maka semua keadaan itu bisa untuk
dijadikan toriqoh ilallah. Insya Allah Pengamal
Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi sudah
mampu demikian dengan idzin-Nya.
Namun walau ilmiahnya mudah, dipandang
mampu, tapi kalau hatinya dikuasai nafsu, sangat
dikhawatirkan taatnya menjadi maksiat, apalagi
maksiatnya. Nikmatnya jadi maksiat, jadi siksa dan
juga bala ’nya senantiasa menjerumuskan.
Apabila kondisi seseorang dikuasai nafsu, maka
orang ini jelas sudah buta mata hatinya. Ia sudah
tidak bisa membedakan mana yang untuk
mendekatkan diri kepada Allah, mana yang bukan.
Dengan amal taatnya, ia taajjub, bangga dan merasa
bahwa “aku bisa beramal”. Bisa beramalnya bukan
karena anugerah dari Allah, sebaliknya, ia bangga,
taajjub bit-toatihi. Dia tidak lagi memandang bahwa
bisa beramal itu adalah minnatun minallah.
Wa tasiru fil maksiat…., dan ketika ia terjerumus
kedalam keadaan yang demikian, ia malah terus
enak-enakan tanpa menyadari bahwa dirinya dalam
kondisi maksiat. Ia tidak segera keluar dari keadaan
itu dan cepat-cepat tobat.
Wa tastaqilla…, dan ketika ia mendapat nikmat, ia
juga menganggap bahwa nikmat yang diberikan
kepadanya itu cuman sedikit. Akhirnya ia tidak mau
bersyukur kepada Allah, bahkan terus-menerus
ngersulo, mengeluh.
Wa jazaa fil baliyat…, ia juga hanya merasa susah,
ketika keadaanya sedang dicoba. Sebaliknya ia tidak
segera tobat.
Karena itulah sangat dikhawatirkan, bahwa
Pengamal Wahidiyah yang sedang dikuasai nafsu,
ketika menyikapi taat, maksiat, nikmat dan baliyat
(bala ’) akan terjerumus seperti yang disebutkan
diatas tadi.
Karena itu, kita dalam kehidupan ini, mari kita
koreksi. Apakah keadaan kita lebih banyak taatnya,
atau lebih banyak maksiatnya.
Kita juga harus menyadari, bahwa kita ini tidak bisa
lepas dari nikmat Allah. Akan tetapi, didalam nikmat
itu sesungguhnya ada bala ’ atau musibah. Yang
dimaksud musibah disini adalah ketika nikmat itu
sesungguhnya kita aku sendiri, bukan dari Allah.
Dan kita menyalahgunakan nikmat itu bukan untuk
toriqoh inallah. Inilah yang dimaksud musibah.
Karena itulah, kita dididik oleh Mbah Yahi, bagaimana
agar kita tidak bingung, jangan sampai jumbuh
istilah disini, bingung, tidak mampu menggunakan
melaksanakan taat untuk toriqoh ilallah. Karena
itulah, apabila kita mendapat nikmat, bisa taat, maka
janganlah diaku, tapi harus billah, bahwa ini semata-
mata adalah anugerah Allah SWT. Kita juga harus
terus bersyukur, terus berdepe-depe dan tobat
memohon ampun kepada-Nya. Begitu juga, apabila
kita ‘diberi’ maksiat, jangan susah. Karena itu qadha-
qodhar-Nya Allah. Tetapi susahlah pada
perbuatanya, nangis, tobat kepada Allah SWT. Dan
apabila mendapat nikmat ya disyukuri: ”Dan
sekiranya kamu menghitung-hitung nikmat yang
telah diberikan Allah, niscaya kamu tidak akan
mampu menghitungnya. ” (QS. Ibrahim: 34).
Nikmatnya Allah itu tidak bisa dihitung. Karenanya,
Allah hanya meminta kita untuk mensyukurinya.
Dan apabila kita mendapat baliyat atau cobaan, kita
harus sadar bahwa ini adalah peringatan dari Allah.
Iya kalau cobaan itu yang ngelaraake teng nafsu
(menyusahkan/ menyakitkan pada nafsu). Tapi,
kalau cobaan itu jutru yang mengenakkan nafsu kita,
kita terlena nanti. Di coba sakit, dicoba jatuh usaha
kita, ini biasanya kita tahu. Tapi, kalau kita dicoba
kaya, ampuh, kita ndak tahu … Hingga cobaan itu
membuat kita bingung, tidak bisa menggunakannya
untuk tusilu ilallah SWT. Hati-hati … dan harus lebih
hati-hati lagi, ketika hawa nafsu itu menguasai kita,
hingga kita berani mengaku bisa beramal ibadah.
Bahkan, jika hati kita sudah tertutup oleh nafsu,
maka kita akan enak-enakkan didalam maksiat,
sehingga nikmat yang banyak yang kita terima dari
Allah SWT, tidak bisa kita rasakan. Begitu juga
baliyat (bala ’) yang sebenarnya sifatnya peringatan
dari Allah, justru dianggapnya sebagai siksa.
Juga ada dawuh, laa yukhafu alaika… (sudah tidak
dikhawatirkan lagi…). Maksud dawuh ini adalah ‘tidak
dikhawatirkan bingung’ membedakan antara mana
perbuatan maksiat dan mana perbuatan taat. Juga
tidak dikhawatirkan bingung memilih, mana ketaatan
yang harus lebih diutamakan, mana yang tidak.
Tapi bahasanya di sini, adalah ‘dikhawatirkan
bingung’ memilih, antara meksiat dan perbuatan taat
untuk digunakan toriqoh kepada Allah.
Sekarang bagi Pengamal Wahidiyah, sudah tidak
dikhawatirkan lagi bingung memilih mana yang
lebih penting dan manfaat, mana yang tidak. Karena
pengamal sudah dewasa, sudah bisa taqdimul
aham fal aham tsumal anfa ’ fal anfa’. Tidak
dikhawatirkan bingung memilih diantara amal-amal
yang tusilu ilallah. Seperti shalat, syiam (puasa),
zakat, dzikir dan sebagainya. Sudah tidak
dikhawatirkan bingung memilih mana yang lebih
utama, yang lebih aham, dan yang labih anfa ’.
Karena kita sudah diberi taqdimul aham fal aham
tsumal anfa ’ fal anfa’.
Tetapi, apabila kita dikuasai hawa nafsu, pasti kita
menjadi bingung untuk memilih; mana yang lebih
utama, mana yang tidak. Sehingga dalam
melakukan amal perbuatan tidak istiqomah.
Terkadang mengerjakan yang ini, terkadang yang
itu. Terus …. Begitu. Kadang-kadang, mempeng,
giat. Kadang tidak sama sekali. Ia bingung karepe
dewe (bingung sendiri/ tanpa sebab). Oleh karena
hatinya terombang-ambing nafsunya. Mengamalkan
amalan yang ini, ia tidak merasakan ada atsar di
hatinya. Semakin ia mempeng (sungguh-sungguh),
justru semakin gelap hatinya dari Allah. Bahkan
saking bingungnya, kembali ia ganti amalan lagi,
kemudian ganti lagi, dan seterusnya. Tetapi yang ia
dapat bukan rasa nikmat dalam hati, namun
hanyalah rasa kesel nggak ada hasilnya … Sebab apa?
Sebab ia tidak memilih mana yang lebih aula, lebi
anfa ’ dan lebih aman.
Orang yang demikian ini, biasanya adalah orang-
orang yang tidak dalam bimbingan Asy Syaikhul
Kamil Mukamil. Kerena tidak mendapat bimbingan
Syaikh Kamil Mukamil, maka hatinya dikusai nafsu.
Akibatnya, ia bingung memilih; mana yang aula atau
aham, mana yang tidak.
Oleh karena dirinya dikuasai nafsu, maka hatinya
tercegah, tertutup untuk melihat jalan yang terbaik
yang mestinya ia gunakan untuk toriqoh ilallah
SWT. Maka saat ia mencari amalan, hanyalah
amalan yang sifatnya agar bisa mendekatkan diri
kepada Allah. Itu saja. Tetapi ia sendiri tidak mampu
membedakan mana amalan yang sungguh-
sungguh efektif, atsar-nya banyak, dan mampu
tusilu ilallah. Pokoknya, amalan yang bisa mendekat
kepada Allah, ya diamalkan.
Karena ia mendapatkan amalanya hanya asal-asalan,
kemudian ‘pokoknya mengamalkan’, tidak ada
bimbingan guru Kamil Mukamil, hatinya dikuasai
nasu pisan, hal ini membuat hatinya semakin gelap,
hingga ia tidak bisa melihat mana yang aham, mana
yang anfa ’. Akhirnya, perjalanan ruhaninya menuju
Allah, kembali dari awal, dari bawah lagi.
Namun demikian. Walaupun ia tidak mampu
memilih mana yang aham dan mana yang anfa’,
oleh karena ia terus mengamalkan amalan yang
didapatnya itu, akhirnya Allah pun menolong, hatta
yajmuka … Sehingga kamu dipertemukan dengan
guru Kamil Mukamil yang memberikan bimbingan
dan menunjukkan kamu untuk menuju Allah SWT.
Dan akhirnya kamu di dalam bimbingan seorang
guru Syaikh Kamil Mukamil itu.
Bagi kita Pengamal Wahidiyah, ini sangat penting
sekali. Jangan sampai kita terpeleset. Kita menjadi
pengamal sudah lama sekali. Apalagi kita sudah
pengamal sejak kecil hingga besar seperti sekarang
ini. Jangan sampai, kalau diajak ngomong ajaran
kayak-kayak alim, kayak menguasai ilmu toriqoh,
ilmu lillah dan billah. Tapi, setelah itu selesai. Cuma
ngomong-omong saja, namun hatinya tidak
dredeg, tidak bergetar sama sekali seperti
omonganya. Sebaliknya, kalau diomongi, ganti
nyembur, ganti ngomongi. Namun hatinya jauh
dari apa yang dibicarakan. Hingga ketika ia
menghadapi empat masalah seperti dalam bahasan
diatas, ia bingung; mana yang diamalkan. Justru ia
terus gonta-ganti amalan; ngamalkan ini, kemudian
ganti ngamalkan itu, terus ganti lagi ngamalkan yang
ini. Karena hati kita telah dikuasai nafsu.
Bahkan mungkin juga, hanya doa saja yang ia
amalkan; pengen surga, pengen jauh dari neraka,
pengen ini dan itu, sehingga tujuan yang utama
yaitu wushul kepada Allah kalah di tengah jalan,
kalah dengan kebutuhan ekonominya. Begitulah
kalau hati kita telah dikuasai nafsu. Hati kita
terombang-ambing, hingga kita selalu gonta-ganti
amalan. Suatu saat mengamalkan ini, suatu saat
tidak. Hingga jadinya tidak istiqomah.
Begitu juga, meski yang diamalkan jelas-jelas
amalan Wahidiyah, namun karena ia tidak pernah
datang di jama ’ah, tidak pernah Usbu’iyah, tidak
pernah datang di Rubu’usanah, hingga tidak ada
penjelasan-penjelasan yang membawa dia untuk
tusilu ilallah, sama dengan tidak dibimbing oleh
Syaik Kamil Mukamil, maka ia pun tetap akan
merasakan kebingungan. Akhirnya ia hanya bisa
ngamuk, menuruti nafsunya sendiri. Pokoknya dia
mengamalkan … Hati-hati, jangan-jangan yang
dikhawatirkan oleh mushannif (penyusun Kitab Al
Hikam), atau Mualif Shalawat Wahidiyah ini terjadi
pada pengamal Wahidiyah yang lama.. mari kita
koreksi diri kita sendiri.. Allahu a ’lam Al Fatihah…
Pengajian Al Hikam Oleh: Hadrotul Mukarrom Romo
KH. Abdul Latif Madjid, RA.

Selasa, 18 Januari 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 16 JAN 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 16 JAN 2011
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Mohon maaf segala salah dan khilaf berikut ini
kutipan dari posting sdr. Ghonar Syamsul Ma'arif di
group Chat Pengamal Wahidiyah mengenai catatan
Pengajian Al Hikam 16 Jan 2011 di copast oleh Ika
Gp adalah sbb :
1~saat ALLOH.SWT menyinari kita dengan sifat-
sifatNYA,maka sifat yg asli dalam diri kita akan
tertutupi olehNYA.
2~suatu saat sinar yang di pancarkanya akan di
ambil.
3~Rosululloh SAW juga pernah mengalami suatu
saat tampak di beri kelebihan-kelebihan(menang
dlm stiap peperangan),saat seperti itu BELIAU SAW
selalu bersyukur.
4~Dan suatu saat BELIAU SAW.tampak lemah
sehinga pernah mengalami kekalahan dalam
perang UHUD.kemudian BELIAU SAW.bertaubat
kepada ALLOH SWT.
5~Demikian juga para ahli waris beliau SAW yakni
para AULIYA2 ALLOH SWT,juga melakukan hal
yang demikian.
6~syukur adalah mengunakan nikmat untuk hal-
hal yang di ridhoi oleh yg memberi nikmat.
7~jika di beri nikmat maka "BERSYUKURLAH"!,jika
di ambil maka "BERTAUBATLAH
8~cara mengikat rizki adalah degan bersyukur.
9~tapi lek mung nggo merem-mareman.
Sekian semoga bermanfaat jazaakumulloh
wassalam
nb.catatan ini ditulis atas dasar pribadi dan bukan
resmi dari YPW/PONPES trima kasih

Sabtu, 15 Januari 2011

IMAN : Tidak hanya dengan Ucapan

Dan sebagian di antara manusia ada yang
mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari
akhir, sedangkan mereka sebenarnya tiada beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman. Padahal mereka tiada menipu kecuali
menipu pada mereka sendiri, sedangkan mereka
tidak menyadari. ” (QS. Al Baqarah: 8-9).
Jumlah ayat tentang orang-orang berian kurang
lebih empat ayat, yaitu mulai ayat 2 hingga ayat 5.
Uraian mengenai orang beriman tersebut tergolong
banyak karena untuk memberikan penerangan
kepada manusia, khususnya kepada mereka yang
mengimani Al Qur ’an tentang bagaimana agar
seseorang menjadi mukmin yang sejati.
Selanjutnya Allah SWT memberikan uraian
mengenai orang kafir jalli (Kafir yang terang-
terangan) secara singkat. Uraian tersebut hanya dua
ayat, yaitu ayat 6 dan 7. Hal ini karena kaum kafir
sangat jelas karakter dan wataknya. Mereka
sedemikian mudah dikenal sehingga cukup dengan
uraian yang singkat saja. Tanpa banyak
penyelidikan, kita bisa melihat bahwa orang-orang
semacam Abu Jahal atau Abu Lahab adalah kafir.
Karena mereka secara terang-terangan menyatakan
kekafiran mereka.
Selanjutnya, kita akan memasuki pembahasan
keterangan Allah mengenai orang munafik. Yaitu
mereka yang pada dasarnya kafir namun
menampakkan diri sebagai orang beriman. Ayat
mengenai orang munafik ini cukup banyak. Yaitu
berjumlah 13 ayat yang membentang mulai ayat 8
hingga 20 dari surat Al Baqarah ini.
Uraian mengenai kaum munafik sedemikian banyak.
Hal ini karena beberapa sebab.
Yang Pertama, adalah bahwa dosa munafik adalah
dosa yang sangat besar. Bahkan lebih besar dari
dosa kafir yang terang-terangan. Hal ini karena
dalam Al Qur ’an kaum munafik diancam dengan
neraka lapisan terbawah. Sementara kaum kafir
biasa tidak masuk ke dalam lapisan paling bawah.
Namun di atas lapisan kaum munafik. Karena itulah
Allah menjelaskan keberadaan kaum munafik ini
secara terperinci agar manusia tidak jatuh ke dalam
jurang kemunafikan.
Yang kedua, adalah bahwa sifat-sifat munafik
tersebut sangat samar. Karena samarnya tersebut,
Rasulullah SAW menjelaskan, bahwa bisa jadi
seseorang itu melakukan shalat, berpuasa dan
bahkan menyangka dirinya seorang muslim.
Namun dalam pandangan Allah, ternyata ia seorang
munafik. Karena itulah, mengenal hal-hal yang
menyebabkan seseorang menjadi munafik
sangatlah penting agar seseorang terjaga dari sifat
munafik tersebut.
Ketiga, kerusakan yang di timbulkan oleh
kemunafikan ini sangatlah besar. Bahkan jauh lebih
besar dari mereka yang kafir secara terang-
terangan. Pada masa Rasulullah SAW, kaum
munafik nyaris bisa menimbulkan perang saudara
sesama mukmin akibat adu domba mereka. Hanya
karena pertolongan Allah-lah kaum muslimin saat itu
selamat dari perang saudara.
Upaya kaum munafik ini terus berlangsung. Namun
pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, upaya
mereka terhalang. Pada masa Khalifah Utsman,
kaum munafik yang dipelopori oleh Abdullah bin
Saba ’ berhasil membuat kekacauan yang berakibat
terbunuhnya Khalifah Utsman. Pada masa Khalifah
Ali, kaum munafik menimbulkan perang Jamal yang
merenggut nyawa puluhan ribu kaum muslimin.
Bukan hanya itu, kaum munafik juga telah
membidani lahirnya berbagai aliran sesat dalam
Islam. Upaya kaum munafik yang besar di abad XX
adalah runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Utsmani.
Setelah persenjataan tidak mampu menghancurkan
Khilafah Islam, mereka menyusup orang-orang
munafik yang melakukan pembusukan yang
mengakibatkan runtuhnya Khilafah Islam.
Pada ayat di atas, Allah memberitahukan bahwa ada
manusia yang menyatakan bahwa mereka beriman
kepada Allah dan hari akhir. Padahal sebenaranya
tiada sebiji atom pun iman dalam hati mereka.
Ayat diatas menyiratkan beberapa hal,
Pertama, adalah bahwa keimanan dalam pandangan
Allah tidak cukup dengan ucapan lisan. Namun
harus bermula dari keyakinan di dalam hati, yang
kemudian diucapkan dengan lisan. Walaupun
demikian, setiap orang yang sudah mengikrarkan
keimanan, harus diperlakukan sebagai orang Islam.
Walaupun mungkin dia adalah seorang munafik.
Kedua, adalah bahwa keyakinan kepada Allah dan
hari akhir itupun tidak cukup untuk menjadikan
seseorang menjadi mukmin. Namun harus disertai
dengan beriman kepada Rasulullah SAW serta
seluruh cabang-cabang keimanan yang lain. Hal ini
perlu disampaikan karena pada umumnya mereka
yang munafik adalah kaum Yahudi. Mereka
beranggapan bahwa walaupun mereka Yahudi
namun mereka mukmin, karena mereka beriman
kepada Allah dan hari akhir. Padahal itu tidaklah
cukup. Mereka harus juga beriman kepada
Rasulullah SAW serta semua yang beliau
sampaikan. Rasulullah SAW bersabda,”Andaikan
Musa dan Isa hidup, maka tiada keleluasaan bagi
keduanya kecuali mengikuti. ” (HR. Ahmad).
Ketiga, adalah bahwa salah satu watak orang
munafik adalah suka berbicara dan menjelaskan
bahwa ia adalah orang beriman. Mereka melakukan
hal ini adalah untuk mencari kedudukan di hadapan
manusia. Walaupun sebenarnya mereka memiliki
misi dan tujuan tersembunyi untuk menghancurkan
Islam. Atau juga bisa jadi mereka melakukan semua
itu karena mereka merasa sebagai orang beriman
dan mempunyai maqam yang tinggi. Padahal, sikap
mukmin yang sejati adalah selalu merendah dan
merasa dhalim. Sebagaimana Nabi Yunus yang
berdoa, ”Tiada Tuhan selain Engkau. Maha Suci
Engkau yaa Allah. Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang dhalim. ”Rasulullah SAW juga
bersabda,”Yaa Allah! Ampunilah aku, terimalah
taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha menerima
taubat serta Maha Menyayangi. ”
Pada ayat 9, Allah menjelaskan bahwa kaum
munafik melakukan semua itu karena mereka
merasa bahwa Allah itu bisa mereka tipu dan
mereka perdayai. Mereka tidak menyadari bahwa
Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu. Kaum
munafik beranggapan bahwa dengan cara itu
mereka bisa menipu orang-orang beriman. Padahal
sebenarnya orang beriman dapat mengetahui kalau
mereka itu munafik karena sifat-sifat mereka yang
mudah dikenali. Yang dimaksud orang beriman
disini adalah mereka yang beriman secara
sempurna. Dengan pandangan spiritual yang tajam,
para pemilik keimanan tersebut dapat mengenali
kemunafikan pada seseorang.
Justru dalam keterangan ayat di atas, kita dapat
melihat bahwa mereka sebenarnya tertipu oleh
perilaku mereka sendiri. Mereka beranggapan bahwa
mereka akan mendapat sesuatu yang berharga dari
kemunafikkan mereka. Padahal sebenarnya,
kesulitan dan adzab Allah yang pedih menanti
mereka. Dan adzab Allah kepada mereka pun bukan
sekedar adzab. Namun adzab yang terpedih dari
siksa yang di timpakan kepada makhluk Allah yang
ada. Allahu a ’lam

KEAJAIBAB : Tanda Kiamat Yang Berkelanjutan

Keajaiban demi keajaiban mulai terjadi di dunia kita
hari ini. Dan memang, di antara keajaiban-keajaiban
yang beruntun ”Peristiwa –peristiwa ajaib laksana
untaian kalung, saling berdekatan satu sama lainya.”
kata Nabi ketika menjelaskan tanda-tanda kiamat
yang menakjubkan.
Di sekeliling kita, banyak keajaiban yang dianggap
hal biasa. Beberapa tahun silam, pandangan mata
dunia tertuju pada pasangan kembar siam asal Iran,
Laleh dan Laden. Di negeri ini, kita punya pasangan
Dwipayana-Dwipayani (Bali), Rahmadina-Rahmadani
(Jombang). Bahkan ada juga beberapa bayi lahir
yang tidak memiliki anus, yang ada tanduknya, dan
lain-lainya naudzubillah!
Yang pasti, ini adalah keajaiban penciptaan. Untuk
menunjukkan bahwa Allah berkuasa menciptakan
segala sesuatu dengan segala kemungkinannya.
Tetapi, peristiwa itu semestinya memberi begitu
banyak kesadaran yang sering luntur oleh rutinitas
kesibukan dunia. Ketika segala sesuatu yang ada
adalah keajaiban, tetapi itu seringkali terlalu terasa
biasa bagi kebanyakan orang. Lantaran semuanya
berjalan normal, sesuai hukum alam yang berlaku.
Sebuah ‘amuk’ alam yang akhir-akhir ini sering
terjadi di Negara kita, bukan tak punya keajaiban.
Hanya saja manusia modern sekarang ini seperti
tumpul ketajaman batinya atas segala sesuatu yang
rutin dan terkesan biasa-biasa saja. Padahal segala
yang ada selalu punya misteri dan rahasia
penciptaanya. Manusia, mungkin merasa mampu
mengadakan hal yang baru. Tapi hakekatnya ia tidak
mencipta. Ia hanya merekacipta. Ia hanya merakit
apa yang ada menjadi wujud sesuatu yang baru.
Sedang hakekat yang menciptakan adalah Allah
(Billah).
Allah Yang Maha Mencipta menghamparkan untuk
kita berjuta keajaiban melalui penciptaan dengan
segala proses, hasil dan fenomenanya. Seperti:
gunung meletus dan wedus gembelnya, gempa
dan gelombang Tsunami, lumpur menyembur dari
perut bumi, angin puting beliung memporak-
porandakan segala yang ditemuinya, longsor
mengubur ratusan bahkan ribuan nyawa, dan
sebagainya.
Melihat keajaiban-keajaiban itu, bukan sekedar
membelalakan mata kemudian terpaku sesaat di
hadapan hal yang menakjubkan itu tanpa pesan
spiritual. Harusnya ada tergambar dengan jelas pada
keajaiban itu keagungan Allah dan kekuasaan-Nya.
Sehingga akan keluar kata-kata pujian kepada
kebesaran Allah. Bahkan, keajaiban itu seharusnya
menjadi ajang latihan kita untuk meningkatkan iman
kepada-Nya. Agar kita tidak angkuh, dan menyadari
bahwa betapa Maha Besarnya Allah.
Memang, banyak orang yang berubah menjadi
sadar setelah menyaksikan peristiwa yang
menakjubkan. Ia bisa menyadari kedhalimanya.
Tetapi banyak juga manusia yang menyaksikan
sesuatu yang luar biasa itu, kemudian
menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Ini yang terjadi di ‘kampung’ kita Indonesia ini. Saat
kita belum juga sadar, bahkan setelah di tunjukkan
keajaiban-keajaiban-Nya, Allah masih saja
menunjukkan welas asih-Nya kepada kita dengan
cara lain. Kali ini, Asma-Nya kerapkali tampak pada
beberapa peristiwa. Seperti: semburan api saat pipa
gas Pertamina meledak di bawah lumpur Lapindo
berbentuk Lafadz Allah. Juga lafadz Allah di dalam
bola bowling, di dalam daging kurban, dan
sebagainya. Bahkan pada tanggal 17 februari 2007
yang silam, seorang warga Tangerang melihat
dengan mata telanjang (selama kurang lebih 10
menit): awan putih berbentuk lafadz Allah. Di
Karawang Jawa Barat, pada bulan Maretnya, seekor
anak kambing baru lahir menjadi tontonan warga,
karena lafadz Allah di bagian kanan tubuhnya dan
lafadz Muhammad di bagian kirinya.
Subhanallah! Maha Suci Allah, Yang Berkuasa
menciptakan segala sesuatu dengan keajaibanya.
Keajaiban penciptaan yang kemudian mengantarkan
pada keajaiban lain; keajaiban kehidupan. Tetapi
intinya Cuma satu; agar kita segera sadar kepada
Allah! Fafirruu Ilallah!
Kita jangan sampai menjadi seperti orang musyrik
Quraisy yang telah menyaksikan keajaiban. Malah
justru menjadikan mereka semakin mendustakan
kebenaran. Bukan membuat mereka beriman,
malah semakin menjauhkan mereka dari Islam.
Mereka sendiri sebenarnya meminta agar
diperlihatkan kemukjizatan Rasul dengan membelah
bulan. Pada malam purnama itu Nabi menggerakan
jarinya ke langit, dan terbelahlah bulan. Belahan
bulan Nampak di balik bukit, sedang belahanya yang
lain Nampak di balik bukit yang lain. Mereka yang
tercengang menyaksikan keajaiban itu bukan
menyadari kesalahan mereka selama ini dan
kebenaran Rasul, tapi justru semakin menghina
Nabi. Allah mengabadikan peristiwa ini dalam surat
Al Qamar: 1 2: ”Telah dekat (datangnya) saat itu dan
telah terbeah bulan. Dan jika mereka (orang
musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat) mereka
berpaling dan berkata: (ini adalah) sihir yang terus-
menerus. ”
Jika keajaiban-keajaiban yang kerap muncul di
sekeliling kita itu, tak jua menyadarkan. Adalah ibarat
seember air panas yang tak juga membakar
tenggorokan. Bukan air itu kurang panas, tapi
kerongkongan kita yang kelewat bebal.
Disinilah saatnya kita membuktikan seberapa jernih
hati kita. Seberapa peka batin kita menangkap
isyarat-isyarat dari ‘langit’. Seberapa besar
kepasrahan kita kepada yang memiliki alam
semesta. Seberapa besar getar hati kita saat
menyaksikan keajaiban. Wallahu a ’lam

KEAJAIBAB : Tanda Kiamat Yang Berkelanjutan

Keajaiban demi keajaiban mulai terjadi di dunia kita
hari ini. Dan memang, di antara keajaiban-keajaiban
yang beruntun ”Peristiwa –peristiwa ajaib laksana
untaian kalung, saling berdekatan satu sama lainya.”
kata Nabi ketika menjelaskan tanda-tanda kiamat
yang menakjubkan.
Di sekeliling kita, banyak keajaiban yang dianggap
hal biasa. Beberapa tahun silam, pandangan mata
dunia tertuju pada pasangan kembar siam asal Iran,
Laleh dan Laden. Di negeri ini, kita punya pasangan
Dwipayana-Dwipayani (Bali), Rahmadina-Rahmadani
(Jombang). Bahkan ada juga beberapa bayi lahir
yang tidak memiliki anus, yang ada tanduknya, dan
lain-lainya naudzubillah!
Yang pasti, ini adalah keajaiban penciptaan. Untuk
menunjukkan bahwa Allah berkuasa menciptakan
segala sesuatu dengan segala kemungkinannya.
Tetapi, peristiwa itu semestinya memberi begitu
banyak kesadaran yang sering luntur oleh rutinitas
kesibukan dunia. Ketika segala sesuatu yang ada
adalah keajaiban, tetapi itu seringkali terlalu terasa
biasa bagi kebanyakan orang. Lantaran semuanya
berjalan normal, sesuai hukum alam yang berlaku.
Sebuah ‘amuk’ alam yang akhir-akhir ini sering
terjadi di Negara kita, bukan tak punya keajaiban.
Hanya saja manusia modern sekarang ini seperti
tumpul ketajaman batinya atas segala sesuatu yang
rutin dan terkesan biasa-biasa saja. Padahal segala
yang ada selalu punya misteri dan rahasia
penciptaanya. Manusia, mungkin merasa mampu
mengadakan hal yang baru. Tapi hakekatnya ia tidak
mencipta. Ia hanya merekacipta. Ia hanya merakit
apa yang ada menjadi wujud sesuatu yang baru.
Sedang hakekat yang menciptakan adalah Allah
(Billah).
Allah Yang Maha Mencipta menghamparkan untuk
kita berjuta keajaiban melalui penciptaan dengan
segala proses, hasil dan fenomenanya. Seperti:
gunung meletus dan wedus gembelnya, gempa
dan gelombang Tsunami, lumpur menyembur dari
perut bumi, angin puting beliung memporak-
porandakan segala yang ditemuinya, longsor
mengubur ratusan bahkan ribuan nyawa, dan
sebagainya.
Melihat keajaiban-keajaiban itu, bukan sekedar
membelalakan mata kemudian terpaku sesaat di
hadapan hal yang menakjubkan itu tanpa pesan
spiritual. Harusnya ada tergambar dengan jelas pada
keajaiban itu keagungan Allah dan kekuasaan-Nya.
Sehingga akan keluar kata-kata pujian kepada
kebesaran Allah. Bahkan, keajaiban itu seharusnya
menjadi ajang latihan kita untuk meningkatkan iman
kepada-Nya. Agar kita tidak angkuh, dan menyadari
bahwa betapa Maha Besarnya Allah.
Memang, banyak orang yang berubah menjadi
sadar setelah menyaksikan peristiwa yang
menakjubkan. Ia bisa menyadari kedhalimanya.
Tetapi banyak juga manusia yang menyaksikan
sesuatu yang luar biasa itu, kemudian
menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Ini yang terjadi di ‘kampung’ kita Indonesia ini. Saat
kita belum juga sadar, bahkan setelah di tunjukkan
keajaiban-keajaiban-Nya, Allah masih saja
menunjukkan welas asih-Nya kepada kita dengan
cara lain. Kali ini, Asma-Nya kerapkali tampak pada
beberapa peristiwa. Seperti: semburan api saat pipa
gas Pertamina meledak di bawah lumpur Lapindo
berbentuk Lafadz Allah. Juga lafadz Allah di dalam
bola bowling, di dalam daging kurban, dan
sebagainya. Bahkan pada tanggal 17 februari 2007
yang silam, seorang warga Tangerang melihat
dengan mata telanjang (selama kurang lebih 10
menit): awan putih berbentuk lafadz Allah. Di
Karawang Jawa Barat, pada bulan Maretnya, seekor
anak kambing baru lahir menjadi tontonan warga,
karena lafadz Allah di bagian kanan tubuhnya dan
lafadz Muhammad di bagian kirinya.
Subhanallah! Maha Suci Allah, Yang Berkuasa
menciptakan segala sesuatu dengan keajaibanya.
Keajaiban penciptaan yang kemudian mengantarkan
pada keajaiban lain; keajaiban kehidupan. Tetapi
intinya Cuma satu; agar kita segera sadar kepada
Allah! Fafirruu Ilallah!
Kita jangan sampai menjadi seperti orang musyrik
Quraisy yang telah menyaksikan keajaiban. Malah
justru menjadikan mereka semakin mendustakan
kebenaran. Bukan membuat mereka beriman,
malah semakin menjauhkan mereka dari Islam.
Mereka sendiri sebenarnya meminta agar
diperlihatkan kemukjizatan Rasul dengan membelah
bulan. Pada malam purnama itu Nabi menggerakan
jarinya ke langit, dan terbelahlah bulan. Belahan
bulan Nampak di balik bukit, sedang belahanya yang
lain Nampak di balik bukit yang lain. Mereka yang
tercengang menyaksikan keajaiban itu bukan
menyadari kesalahan mereka selama ini dan
kebenaran Rasul, tapi justru semakin menghina
Nabi. Allah mengabadikan peristiwa ini dalam surat
Al Qamar: 1 2: ”Telah dekat (datangnya) saat itu dan
telah terbeah bulan. Dan jika mereka (orang
musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat) mereka
berpaling dan berkata: (ini adalah) sihir yang terus-
menerus. ”
Jika keajaiban-keajaiban yang kerap muncul di
sekeliling kita itu, tak jua menyadarkan. Adalah ibarat
seember air panas yang tak juga membakar
tenggorokan. Bukan air itu kurang panas, tapi
kerongkongan kita yang kelewat bebal.
Disinilah saatnya kita membuktikan seberapa jernih
hati kita. Seberapa peka batin kita menangkap
isyarat-isyarat dari ‘langit’. Seberapa besar
kepasrahan kita kepada yang memiliki alam
semesta. Seberapa besar getar hati kita saat
menyaksikan keajaiban. Wallahu a ’lam

Senin, 10 Januari 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL
HIKAM 09 Jan 2011
Assalamu'alaikum warokhmatullohi wabarokatuh
Segala salah dan khilaf saya mohon maaf yang
sebesar besarnya ringkasan ini saya peroleh dari
sdr Barek Bom Nda dan ditulis kembali oleh Ika Gp
dan ringkasannya adalah sbb :
1. Manusia diberi kelebihan yang tidak diberikan
pada mahkluk lain shg memiliki kemampuan luar
biasa mengalahkan yg lain.
2. Akan tetapi semua kelebihan itu tidak akan dapat
menghilangkan sifat asli manusia (yakni
lemah,bodoh,hina dll).
3.Sifat kurang pada diri manusia ibarat kegelapan di
cakrawala ,tampak terang jika terpancari matahari
dan kembali gelap setelah matahari tidak
menyinari.
4. Sifat kurang akan terus melekat dan tidak akan
hilang selamanya sedangkan kelebihan sewaktu
waktu hilang.
5. Allohhumma tajallannii bi iroddatika wa
quwwata wa qohrika.
6. Nafsu ibarat mendung yang menutup sinar
matahari menerangi bumi .
7. Sak tenane srengenge iku blm surup tapi enek
mendung, enek gerhana ,sehingga dunia jadi
gelap,apalagi gerhana total peteng dhedhet.
8. Kadang Alloh blm ngambil tapi manusia tertutup
mendung nafsu dan shahwat sehingga Tajallinya
Alloh tidak bisa masuk dan dia gelap menjadi tidak
ampuh lagi (luntur).
Sekian semoga bermanfaat jazaakumulloh
Wassalam
nb.ditulis atas dasar pribadi penulis dan bukan
resmi dari YPW/PONPES trima kasih

Rabu, 05 Januari 2011

DIDALAM BALA' ADA BELAS KASIH ALLOH

”Siapa yang mengira terlepas nikmat karunia Allah
daripada bala’ ujian yang ditakdirkan oleh Allah,
maka yang demikian itu disebabkan karena piciknya
(dangkalnya) pandangan Allah. ” (Al-Hikam: 116).
Barangsiapa yang menganggap bahwa qadar-Nya
Allah yang sifatnya menyakitkan, didalamnya tidak
ada belas kasihan Allah. Anggapan atau pendapat
pemikiran yang demikian ini menunjukan bahwa
fikiranya sangat kurang, naqis (tidak sempurna),
atau bahkan kalau perlu dikatakan “salah”. Karena
apa?
Jika kita mampu berfikir dengan tepat, tafakur sesaat
hingga kita mampu menerobos rahasia yang
terkandung dalam bala ’, cobaan atau sesuatu yang
tidak meng-enakkan, maka di sana kita pasti
menemukan, bahwa ketika kita mendapat bala’ itu,
sesungguhnya terdapat Al- Thofun Katsirotun (belas
kasihan Allah yang sangat banyak sekali). Jika kita
tidak bisa melihat, berarti fikiran kita ini masih
terhijab atau belum mampu menerobos rahasia
yang terkandung dalam bala ’ atau qadar-Nya Allah
itu. Apa saja belas kasihan-Nya itu?
Di antara belas kasihan Allah yang terdapat dalam
qadhar-Nya yang berupa cobaan atau bala ’, adalah
seseorang bisa menjadikan hatinya terus berdepe-
depe menangis menghadap ke Hadirat Allah SWT,
memohon pertolongan-Nya karena bala ’ yang
dicobakan Allah kepadanya. Hati yang berdepe-depe
dan menangis kepada Allah itu merupakan peristiwa
yang menjadikan perlawanan kepada semua
kehendak nafsu. Yang menjadikan lemahnya
syahwat nafsu.
Dan setiap sesuatu yang dapat menggoyahkan dan
melemahkan nafsu, itu adalah sesuatu yang sangat
mulia. Termasuk cobaan tadi, bila menyebabkan hati
lebih depe-depe, mendekat kepada Allah. Dengan
demikian, ia bisa tetap di dalam bab-Nya Allah
bahkan ia bisa ngungsi (menuju) mohon
pertolongan kepada Allah.
Dan disini disebutkan, raziyatun; sebesar-besarnya
faedah dari adanya bala ’. yakni seseorang yang
menerima bala’ itu ‘menemukan’ dirinya, dan dapat
memegang “ a’dhamu fawaid” ketika mendapat
bala’.
Ketika seseorang mendapat bala’ yang sangat berat,
sesungguhnya ia mendapati dirinya kembali pada
jati diri yang sebenarnya. Sebab, bala ’ itu
mengandung a’dhamu fawaid (sebesar-besarnya
faedah) bagi dirinya didalam menuju sadar kepada
Allah.
Dan lagi. Diantara faedah lain dari adanya bala’ yang
menimpa seseorang, yaitu nafsu menjadi lemah
tidak berkutik, hilangnya kekuatan nafsu dan
rusaknya sifat-sifat nafsu yang dapat menjatuhkan
seorang hamba kepada dosa dan maksiat. Juga bisa
menghilangkan rasa kecintaan seseorang pada
kesenangan dunia.
Jadi, sifat-sifat nafsu yang tadinya selalu mendorong
seorang hamba untuk berbuat dosa dan maksiat,
serta mempengaruhi hati untuk selalu cinta dunia,
menjadi lemah justru akibat dari adanya bala ’ itu
tadi.
Dan juga, di antara faedah lain dari adanya bala’,
yaitu ketika seseorang menerima bala’, hatinya akan
taat kepada Allah. Hingga ia bisa sadar dan ridha
serta tawakal. Dengan keadaan itu kemudian
tumbuhlah sifat zuhud dan suka berjumpa
denganAllah. Ini adalah akibat dari bala ’ itu tadi
karena itu di dawuhkan:
“Se-dzarroh (sebiji atom) nilai ibadahnya ‘hati’, itu
lebih bagus dari pada segunung ibadah lahiriyah.”
Yang demikian itu tadi adalah sebagai tebusan atas
dosa-dosa dan kesalahan, juga merupakan belas
kasihan Allah yang bersifat Ilahiyah.
Karena itulah, jangan sekali-kali ketika kita di coba
Allah dengan musibah, apa saja, menganggap Allah
tidak belas-kasihan kepada kita. Sebab, di dalam
cobaan itu, disana terkandung belas-kasihan Allah
yang sangat besar. Hikmah dari cobaan itu banyak
sekali. Karena ada cobaan, orang bisa menyadari
dirinya lemah, orang bisa merasa dhalim, bisa
merasa salah. Juga bisa berdepe-depe kepada Allah,
jika orang itu dapat hidayah. Tapi kalau tidak, dicoba
malah justru ia nggersulo , mengeluh dan
maksiatnya makin menjadi-jadi. Orang seperti ini
termasuk orang yang tertutup hatinya dari hidayah-
Nya Allah SWT.
Karena itu, Ketika kita mendapat cobaan, hendaknya
kita betul-betul melihat atau mengkaji; hikmah apa
yang terkandung didalam bala ’ itu. Jika kita mau
demikian, insya Allah justru dengan adanya bala’ itu
tadi, iman kita semakin meningkat, meningkat dan
meningkat, yang akhirnya kita bisa sampai kepada
Allah SWT.
Karena itu, kita harus waspada sekaligus pandai-
pandailah mengambil hikmah apabila kita ditimpa
cobaan-cobaan yang sifatnya menyakitkan dan
melemahkan nafsu tadi. Karena didalamnya ada
hikmah yang terkandung.
Begitu juga, apabila kita mendapat bala’ atau cobaan
yang sifatnya enak, seperti diberi nikmat, diberi
karomah, diberi rezeki yang luas, diberi kekuasaan
dan sebagainya, sesungguhnya itu semua termasuk
cobaan Allah. Dengan nikmat-nikmat itu, bisakah kita
menerimanya dengan hati penuh iman? Atau,
setelah menerima nikmat itu, apakah kita masih
tetap ingat dan sadar kepada Allah? Atau justru kita
lupa daratan. Istilah Mbah Yahi: Apakah kita mampu
menyikapi cobaan Allah, baik berupa bala ’ maupun
nikmat (yang meng-enakkan) dengan sikap hati-hati
dan terus berdepe-depe kepada Allah SWT,
memohon ampunan atas segala cobaan atas segala
dosa kita? Atau justru kita terperosok bangga
dengan segala apa yang diberikan, hingga kita
terperosok jauh dari Allah SWT.
Untuk itu mari, ketika dalam kehidupan, kita
menemukan masalah-masalah atau cobaan-cobaan,
sikap yang tepat adalah kita harus mengambil
hikmahnya, hingga bala ’ tadi menjadi suatu sarana
untuk meningkat kita kita kepada Allah SWT. Amin..
Wallahu a ’lam

Selasa, 04 Januari 2011

""BIMO SUCI"">>by Abiyoso

bimo itu seorang ksatria yang bertempat di
ksatrian jodipati, atas perintah sang guru durno dia
disuruh mencari susuh angin di hutan belantara
tapi tidak menemukan malah bertemu dengan dua
raksasa akhirnya terjadi perkelaian yg akhirnya
raksasa tadi berubah menjadi batara bayu dan
batara indra, di ? tujuannya kehutan oleh sang
batara bayu&indra, di jwb bahwa dia disuruh
gurunya agar mencari susuh angin. batara bayu &
indra memberi tahu bhw susuh angin tidak ada
akhirnya disuruh kembali kegurunya, stelah
kembali para kurawa bingung, mengapa sang
bimo kok masih hidup padahal tujuannya disuruh
masuk hutan agar bimo mati di makan raksasa,
yang kedua kalinya sang guru durno menyuruh
bimo lagi agar mencari tirto suci yang ada di dasar
samudra, karena tekat yang kuat sang bimo
melaksanakan perintah sang guru maka
berangkatlah sang bimo walaupun seluruh
saudaranya melarang tapi tetap aja berangkat,
disamudra......... bimo bertemu dengan ular naga
(lambang kejahatan) yang menyerangnya akhirnya
dapat dibunuh oleh bima, dan di dasar samudera
inilah bimo bertemu dengan dewa ruci yang
membimbing menemukan jati dirinya (makrifat
kpd sang pencipta sampai Jaddab maqom jam'u)
dan sekembalinya dari samudra bima masih
jaddab lupa akan dirinya yang ada hanya sang
pencipta, akhirnya dengan permintaan kakanda
yudistira atas perintah sang krisna bahwa bima
masih dibutuhkan sebagai kesatria sebagai
penenggak pandawa yang akan memerangi
kejahatan para kurawa dalam perang barata
yudha, maka barulah sadar kembali bahwa dia
seorang kesatria yang telah menemukan jati
dirinya yang suci akan nafsu angkara (maqom
Farqu tsani) akhirnya dia diajak pulang ke negara
amarta.
Byk tauladan dari kisah ini:
1. Niat yang tulus menjalankan perintah sang guru
seberat apapun dilaksanakan walaupun harus mati
(lillah)
2. dengan Kesadaran bahwa semua alloh yg
menggerakkan dan tekat yang kuat akan
keyakinaanya bimo akhirnya bisa menemukan jati
dirinya(billah)
3. Setelah menemukan jati dirinya dia dkodrat
bukan sebagai orang suci selamanya tapi dia
dikodrat sebagai seorang kesatria yg punya
tanggung jawab pada bangsa dan negaranya
untuk menumpas kejahatan(Yukti.....)
4. Dengan menemukn jati dirinya dia hidup akan
lebih hati-hati dan selalu berusaha menerapkan
ajaran wahidiyah yaitu: lillah billah, lirrosul birrosul,
lilgouts bilghouts, yukti kulladzi haqqin haqqoh dgn
prinsip taqdimul aham fal aham tsummal anfa fal
anfa dan memperbanyak mujahadah.

KETIKA DISANJUNG

Semua orang pasti senang bila di sanjung dan di
puji. Namun sanjungan dan pujian yang berlebihan
seringkali dapat menjerumuskan seseorang pada
perbuatan tercela. Orang yang mabuk pujian akan
menganggap dirinya sempurna, terpuji dan
terhormat. Dia akan menilai bahwa derajat dan
kehormatan seseorang ditentukan oleh sedikit
banyaknya orang yang memuji. Jika yang memuji
sedikit, maka derajatnya rendah. Sebaliknya, jika
yang memujinya itu banyak maka dia termasuk
orang yang terhormat dan mulia.
Itulah penilaian orang bodoh, yang hatinya telah
dikuasai oleh luapan hawa nafsu, yang tidak
mengerti makna dan tujuan sanjungan. Sehingga ia
menilai bahwa sanjungan merupakan barometer
untuk mengukur kemuliaan seseorang. Dan
pemikiran inilah yang akhirnya ia melakukan
berbagai cara untuk mendapatkan sanjungan.
Karena itu, hendaknya kita dapat menjaga diri
jangan sampai mabuk sanjungan. Sebab, mabuk
sanjungan dapat membutakan mata hati dan
mengeruhkan akal pikiran, sehingga kita tidak bisa
membedakan kebenaran dan kebatilan. Oleh sebab
itu, kita harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Jangan terlalu bergembira ketika menerima
sanjungan
Hal ini karena tidak sedikit sanjungan itu hanya
merupakan umpan untuk menjerumuskan
seseorang kedalam kehancuran. Seperti pujian yang
diterima ketika melakukan kemaksiatan.
Orang yang berakal sehat dan berhati jernih tidak
akan merasa gembira dengan sanjungan yang
ditujukan kepadanya. Ia sadar bahwa orang yang
menyanjungnya itu hanya menyebutkan kebaikan
saja, sedangkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan
ditutup-tutupi. Ia tidak suka kepada sanjungan dan
pengakuan dari orang lain. Ia lebih suka kritik yang
bersifat konstruktif. Karena hal itu merupakan
penunjuk kekurangan, kesalahan, dari tergelincirnya
amal perbuatan, sehingga dirinya dapat terhindar
dari kesalahan fatal. Dengan demikian, jiwanya akan
tetap suci dari kecongkakan, bersih dari sifat tercela.
2. Jangan membenci kritikan
Banyak orang yang tidak suka di kritik. Di
anggapnya kritikan itu adalah hujatan dan cacian
terhadap dirinya, padahal tidaklah demikian.
Penilaian seperti ini adalah akibat dari mabuk
sanjungan dan pujian sehingga dia benci terhadap
kritikan, meskipun kritikan itu akan mengentaskan
dia dari lumpur kefasikan.
Disamping itu, kedewasaan cara berfikir seseorang
dapat dilihat dari cara dia menerima kritikan. Orang
yang berpengetahuan luas, berakhlak mulia, jernih
hatinya, lapang dadanya dan tawadhu ’ tingkah
lakunya akan senang bila dirinya dikritik dan ditegur
kesalahanya. Baginya, kritikan yang bersifat
konstruktif merupakan teguran terhadap
kesalahanya, sekaligus pelurus pada jalan yang
benar. Ia menilai orang yang mengkritik dirinya itu
adalah orang yang menunjukan rasa simpati
kepadanya, serta menghawatirkan kalau dirinya
terjerumus dalam kesesatan.
Sebaliknya, orang yang berjiwa kerdil, buruk
akhlaknya, sempit hatinya dan tumpul otaknya akan
sangat marah dan tersinggung bila dirinya di kritik.
Sebab kritik yang dilakukan oleh orang lain akan di
anggap sebagai rongrongan dan pengusik
kemapanan dirinya. Bahkan ia tega berbuat kejam
terhadap orang yang mengkritik itu. Maunya ingin
selalu di puji dan di sanjung terus. Meskipun
sanjungan itu berupa ‘duri’ yang menyengat
tenggorokanya. Inilah orang yang matanya telah
tertutup oleh kejahatan sehingga tidak bisa melihat
terangnya sinar matahari.
3. Jangan memuji diri sendiri
Memuji diri sendiri adalah perangai orang bodoh
yang tidak tahu harga dirinya, sehingga ia perlu
memuji dirinya untuk mengangkat martabatnya dan
kehormatanya di hadapan orang lain.
Kita pasti tidak suka mendengar orang lain memuji
dirinya sendiri. Begitu pula orang lain, tidak akan
suka mendengar kita memuji diri kita sendiri. Allah
telah memperingatkan agar seseorang tidk
menganggap dirinya suci dan paling baik.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah
yang paling mengetahui tentang orang yang
bertakwa. ” (QS. An-Najm:32).
Yang berhak nilai baik buruknya seseorang adalah
Allah. Sedangkan orang yang menganggap dirinya
suci, paling mulia, paling baik dan paling terhormat
adalah merupakan bentuk kesombongan yang
melampaui batas. Ia tidak merasa malu mengatakan
demikian di hadapan Allah maupun di hadapan
makhluk-Nya padahal setumpuk kejahilan dan
kejahatan berada di pelupik matanya.
Salah seorang hukama’ pernah ditanya: “Apa
kebenaran yang buruk itu?” Ia menjawab,
“Seseorang yang memuji terhadap dirinya sendiri.”
Letak riya’ dan senang disanjung itu bersumber dari
hati yang dipenuhi noda cela. Ia termasuk penyakit
hati yang bisa menelanjangi amal. Karena itu,
hendaknya kita menaburi jiwa dengan akhlak yang
terpuji, menyingkirkan jauh-jauh perasaan dari
mabuk sanjungan dan kehormatan, karena ini
merupakan tipu daya syetan yang hendak
merontokan amal. Dan jangan lupa untuk selalu
memohon ampunan kepada Allah dari segala noda
yang pernah melekat dalam kalbu serta
memperbanyak mujahadah. Wallahu a ’lam

Minggu, 02 Januari 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 02 JAN 2011

RANGKUMAN PENGAJIAN AL HIKAM 02 JAN 2011

Assalamualaykum warrokhmatullohi wabarokatuh

Segala salah dan khilaf saya mohon maaf yang sebesar besarnya informasi ini diperoleh dari sdr.Barek Bom Nda dan ditulis kembali Ika Gp.

Rangkumannya sbb:

1. Jika manusia belum dibukakan ma'rifat kepada Alloh SWT maka akan terpenjara dan terkuasai dunia/makhluk.

2. Jika manusia sudah Musyahadah kepada ALLOH SWT maka dunia akan mendekat dan ingin menjadi hamba orang tersebut,sehingga apapun yang diinginkan akan terwujud.

3. Harta itu bersifat rohani/ghoib ,apapun yang tampak dimata kita itu adalah perlambang harta.

4. Mbah Ma'ruf RA dicaosi tanah 20 hektar tapi beliau mboten kerso karena beliau mboten butuh,sebab setiap butuh beliau nyuwun dan diberi.

5. Jika orang bisa melihat ALLOH maka makhkluk akan hilang begitu juga sebaliknya.

6. Mari dilatih,di Riyadhoi dibayangkan makhkluk tunduk tapi BILLAH karena ALLOH.

7. JIKA MALAS mujahadah ingatlah janji ALLOH SWT dalam kitab suci bahwa barangsiapa bertaqwa akan diberi jalan keluar.

8. Jika belum diberi mungkin karena agar kita lebih meningkatkan dan lebih bersungguh sungguh.

9. Semua pengamal punya kesempatan yang sama,siapa yang mujahadah nya sungguh sungguh akan dikaruniai Karomah oleh ALLOH SWT.

10. Mulai tahun ini bulan ini mari kita tingkatkan jika tidak ada peningkatan APA GUNANYA???

Sekian semoga manfaat Jazaakumulloh.

Wassalam

nb.dicatat atas dasar pribadi penulis, bukan resmi dari YPW/PONPES.Trima kasih

ILMU,AMAL,HARTA DAN KEKUASAAN SUMBER SUMBER KESOMBONGAN

Dosa pertama yang dilakukan makhluk terhadap
Tuhanya adalah sombong. Pelakunya adalah Iblis,
seteru manusia. Saking sombongnya, Iblis berani
menentang perintah Allah agar mengakui
keunggulan manusia. Kebanggaan terhadap asal-
usul dan rasa senioritas mendorongnya untuk
mengklaim diri sebagai yang paling baik.
Kesombongan, tidak saja menyebabkan Iblis lupa
siapa dirinya, juga lupa terhadap keluhuran
Tuhanya. Ketika Allah dengan sangat murka
mengusirnya, malah dia berani menghujat-Nya.
Alih-alih interopeksi, merenungi dan menyesali
kesalahan, Iblis malah melemparkan kesalahan itu
kepada Allah.
“Ia (syetan) berkata: Oleh karena Engkau (Allah) telah
menyesatkan aku, maka sungguh aku akan
menghalangi mereka (manusia) dari jalan-Mu yang
lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari
depan, belakang, kanan serta kiri. Kemudian Engkau
tidak akan menjumpai kebanyakan mereka itu
benar-benar bersyukur (taat). ” (QS. Al A’raf: 16 17).
Salah satu ciri kesombongan adalah rasa paling
benar sendiri. Dalam hal ini, syetan menganggap
dirinya layaknya Tuhan yang tidak pernah salah. Se-
akan-akan sifat ke-Maha Sempurna-an yang hanya
milik Allah hendak dikudeta. Karenanya, sifat ini
sangat berbahaya jika terjangkit pada manusia. Bila
kesombongan telah mencapai puncaknya, seperti
yang dilakukan Fir ’aun, manusia akan
memproklamirkan diri sebagai Tuhan.
Dengan penuh dendam, Iblis sangat berambisi
untuk menyesatkan sebanyak mungkin manusia
melalui berbagai perangkap yang telah dipasangnya.
Salah satunya adalah sisat sombong yang memang
telah menjadi wataknya. Virus kesombongan itu
setiap saat terus ditularkan kepada siapa saja.
SUMBER-SUMBER KESOMBONGAN
Ada sejumlah celah yang bisa dijadikan alat
perangkap manusia agar bersifat sombong.
Pertama, ILMU PENGETAHUAN. Syetan sanantiasa
menghasut orang-orang yang berilmu agar berlaku
sombong dengan ilmu yang dimilikinya. Mereka
yang terjebak, akan menganggap bahwa dirinya
adalah paling pintar. Sedangkan orang lain dianggap
bodoh dan bermartabat rendah. Akhirnya ia
menjadi gila hormat dan menuntut perlakuan yang
istemewa dari orang lain.
Padahal seharusnya, semakin tinggi ilmu seseorang,
justru semakin rendah hati. Hal ini disebabkan
kesadaranya kepada Allah juga semakin
tinggi. “Sesungguhnya yang paling takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama ’ (orang-orang berilmu).” (QS. Al Fathir: 28).
Akan tetapi, benar apa yang dikatakan Nabi dalam
hadits riwayat Ad Dailami. Ilmu itu sendiri, jika tidak
disertai hidayah Allah, tidak akan menjadikan dan
menambah dekatnya si pemilik ilmu kepada Allah.
Sehingga, kata Nabi, ”Siapa yang hanya bertambah
ilmunya tetapi tidak bertambah hidayah-Nya, maka
bukanya ia menjadi semakin dekat dengan Allah,
melainkan justru semakin jauh kepada Allah. ”
Hal yang sama juga sering di dawuhkan Hadrotul
Romo Yahi: “Ilmu tidak bisa membuat seseorang
sadar kepada Allah, tetapi hidayahlah yang
menuntun seseorang sadar kepada Allah. ” Karena
itu, disamping menuntut ilmu, seseorang juga
‘ wajib’ mujahadah (agar mendapatkan hidayah).
Dikatakan wajib, sebab menurut Imam Al Ghazali
dalam kitab Ikhya ’nya: “…. Tidak ada kunci lain untuk
mendapatkan hidayah, selain dengan mujahadah.”
Kedua, AMAL IBADAH. Kesomongan secara sangat
halus juga dihembuskan syetan kepada para ahli
ibadah. Dengan ibadah yang dilakukanya, tidak
sedikit orang yang merasa seolah-olah telah menjadi
menusia yang paling dekat dengan Allah, calon
penghuni surga dan merasa paling bebas dari azab
Allah. Ia memandang dirinya lebih selamat dan
aman dari azab Allah, sehingga merasa lebih berhak
untuk mendapat pahala-Nya Allah. Bahkan ditengah-
tengah masyarakat, ia merasa bahwa dirinya adalah
kekasih Allah.
Sifat ini harus di waspadai oleh stiap kita. Jika di
dalam hati kita terlintas rasa bangga atas ibadah-
ibadah yang kita lakukan, maka sesungguhnya
petaka besar telah menimpa kita. Dan itu pertanda
bahwa ibadah kita kosong nilainya, penuh nafsu.
Apalagi kalau ditambah dengan menganggap enteng
kadar ibadah orang lain.
Ketiga, HARTA KEKAYAAN. Aroma dunia sering
membuat seseorang lupa diri. Termasuk diri kita.
Bahkan terkadang kita menyangka bahwa
kenikmatan dunia adalah abadi. Hingga seluruh
energi dan perhatian kita curahkan untuk
mendapatkanya. Saat kekayaan itu telah diraih, kita
merasa bahwa semua itu murni hasil jerih payah
kita sendiri. Sedangkan peran rahmat dan
kemurahan Allah dilupakan sama sekali.
Akibatnya, ia menjadi tinggi hati. Kekayaan duniawi
dianggapnya sebagai sebuah prestasi. Orang-orang
miskin dan lemah cenderung diremehkanya. Dia
menganggap mereka sebagai orang-orang pemalas
yang tak pantas dikasihani. Akhirnya sifat kikirnya
pun menjadi-jadi sehingga membawanya kepada
kekufuran. Dia tidak hanya mengingkari hak-hak
manusia, tetapi juga mengingkari hak-hak Allah
sebagaimana kisah yang menimpa Tsa ’labah pada
zaman Rasulullah SAW. Padahal Allah senantiasa
mewanti-wanti, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu
memaklumkan: Sungguh jika kamu bersyukur, pasti
Aku akan tambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. ” (QS. Ibrahim:
7).
Keempat, KEKUASAAN. tidak banyak yang
menyadari bahwa kekuasaan yang dimiliki
seseorang adalah amanat dari Allah yang senantiasa
harus dijaga kesucianya. Justru kebanyakan orang
menganggap kekuasaan adalah ALAT untuk meraup
sebanyak-banyaknya keuntungan duniawi. Tidak
heran kalau manusia terus berlomba bahkan
bertarung memperebutkan kekuasaan dan jabatan.
Jika perlu, mereka siap menghalalkan segala cara
bahkan siap kalaupun harus mati. Yang penting
kekuasaan berada dalam genggamanya.
Mereka tidak sadar bahwa kekuasaan yang
didapatkan dengan cara seperti itu membawanya ke
jurang kebinasaan. Yang dia fikirkan adalah
bagaimana mengeksploitas kekuasaan tersebut
untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin.
Untuk tujuan tersebut mereka tidak segan-segan
melakukan penyimpangan dan berbagai tindak
kesewenangan. Mereka tidak lagi berfikir bagaimana
seharusnya melayani kepentingan rakyatnya, tap
justru rakyatlah yang harus selalu siap melayani
kepentingan dan ambisinya.
Di mata mereka, orang-orang lemah begitu tidak
berharga karena tidak akan memberikan manfaat
yang banyak untuk menopang kekuasaanya.
Sebaliknya, kepada orang-orang kuat dan
berpengaruh, mereka begitu curiga dan khawatir
akan melakukan kudeta …, dan sejenisnya.
Sebagaimana Fir’aun kepada orang-orang yang
begitu peka terhadap hal-hal yang dianggap akan
membahayakan kekuasaanya. Akhirnya, semua
potensi masyarakat pun dilibasnya.
Di tengah-tengah ketidak berdayaan masyarakat
itulah ia bertindak bak Tuhan. Semua perintahnya
harus di anggap ‘sabda’. Semua tindakanya harus di
anggap kebijakan. Allah SWT
berfirman: ”Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah-belah, dengan menindas
segolongan dari mereka. Dia menyembelih anak-
anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir ’aun
termasuk orang-orang yang membuat
kerusakan. ” (QS. Al Qashas: 4).
Itulah beberapa celah rawan perangkap syetan
untuk menghasut manusia agar bersikap sombong.
Di luar itu, masih banyak celah lain yang harus
senantiasa ditutup rapat-rapat. Kuncinya adalah
dengan senantiasa mengetrapkan LILLAH-BILLAH,
LIRRASUL-BIRRASUL dan LILGHAUTS-BILGHAUTS.
Ilmu, amal, harta dan kekuasaan, semua dari Allah
(Billah) dan semata-mata untuk pengabdian diri
kepada Allah (Lillah). Semakin merasa bisa ibadah
seseorang, justru ia semakin tidak ibadah.
Sebaliknya semakin merasa tidak mampu
melakukan ibadah ketika seseorang sedang ibadah,
justru itulah sebenarnya ibadah. Semakin Billah,
semakin tinggi nilai ibadahnya. Semakin terlindungi
dari bujuk rayu nafsu dan bisikan syetan.
Pertanyaanya sekarang; sudahkan semua amal
ibadah kita dan segala yang kita milki di sadari dan
didasari LILLAH dan BILLAH?
Wallahu a’lam

Sabtu, 01 Januari 2011

HARTA TERMAHAL KITA

Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja atas
mereka, apakah kamu beri peringatan atau kamu
tinggalkan. Tetap saja mereka tidak akan beriman.
Allah telah menutup hati dan pandangan mereka.
Dan pada mata mereka terdapat penutup. Dan Bagi
merekalah siksa yang pedih. ”(QS. Al Baqarah: 6-7).
Kata kafir berasal dari fi’il madhi: kafaro, yang artinya
menentang atau mengingkari. Satu hal yang perlu
menjadi perhatian kita adalah kata kafir tidak selalu
indentik dengan kaum nonmuslim. Sebab
adakalanya kata kafir yang memilki pengertian
mengingkari nikmat Allah. Sebagaimana firman-
Nya: ”Jika kalian bersyukur, sungguh akan AKU
tambah (nikmat-KU) atas kalian. Namun jika kalian
mengingkari (kafir/kafartun) terhadap nikmat-KU,
maka sesungguhnya siksa-KU sangatlah
pedih. ” (QS. Ibrahim: 7)
Syekh Ismail Haqqy Al Bursawi dalam kitabnya
Ruuhul Bayaan mengatakan bahwa dalam ayat ini
artinya menentang sifat Allah. Atau dalam
pengertian lain, kafir dalam ayat ini mengacu kepada
mereka yang berada di luar garis Islam
(nonmuslim).
Ayat di atas secara samar menginformasikan
kepada kita bahwa Rasulullah SAW adalah seorang
Rasul yang welas asih kepada seluruh umat. Di
antara sesuatu yang menjadi pokok pemikiran beliau
adalah bagaimana menyelamatkan seluruh umat
manusia dari siksa neraka yang dahsyat. Karena
itulah, hari-hari beliau senantiasa tidak pernah
kosong dari upaya mengajak kepada umat manusia
agar kembali ke jalan Islam. Allah menggambarkan
kepribadian beliau yang luhur ini dalam firman-
Nya: ”Benar-benar telah datang kepada kalian
seorang utusan dari kalangan kalian. Berat sekali
baginya apa-apa yang menimpa kalian. Ia ingin
sekali kalian mendapatkan keselamatan. Dan
terhadap kaum mukmin ia sangat mengasihi dan
menyayangi. ” (QS. At-Taubah: 128).
Sudah tentu, Rasulullah SAW sangat sedih dan
prihatin jika panggilan tersebut tidak mendapatkan
sambutan yang semestinya, atau bahkan ditolak.
Apalagi jika yang menolak itu adalah keluarga beliau
sendiri. Seperti Abu Lahab. Atau bahkan Abu Thalib,
paman beliau yang selama ini menjadi pengasuh
beliau dan melindungi beliau dari kekejaman kaum
kafir Quraisy.
Karena itulah, Allah SWT dalam ayat di atas
memberitahukan bahwa perkara iman atau kafir
adalah urusan Allah. Dalam sebuah hadits shahih,
Rasulullah SAW besabda :
”Sesungguhnya kalian dikumpulkan bahanya di
dalam perut ibunya selam empat puluh hari dalam
bentuk mani. Kemudian setelah itu menjadi alaqoh
(darah kental) selama itu pula. Demikian juga selama
itu pula kemudian menjadi mudghoh (daging).
Kemudian dikirimkan kepadanya malaikat yang
meniupkan ruhnya dan diperintahkan untuk menulis
empat hal. Rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka
atau bahagia. Demi Allah, sesungguhnya seorang
beramal dengan amalan ahli surga sehingga diantara
dia dan surga hanya sejarak sehasta. Namun karena
Al kitab telah mendahuluinya, maka kemudian ia
melakukan pekerjaan ahli neraka hingga akhirnya
kemudian ia memasukinya. Demi Allah,
sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan
ahli neraka sehingga antara dia dan neraka hanya
berjarak sehasta. Namun karena Al kitab
mendahuluinya, maka ia kemudian melakukan
pekerjaan ahli surga hingga akhirnya kemudian
melakukan pekerjaan ahli surga hingga akhirnya
kemudian memasukinya. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena itu tugas sebenarnya seorang Rasul tiada lain
hanyalah menyampaikan. Sebagaimana firman
Allah: ”…Dan jika mereka berpaling, maka tiada lain
kewajibanmu kecuali hanya menyampaikan…” (QS.
Ali Imran: 20).
Sedangkan masalah seseorang itu menjadi mukmin
atau kafir, semuanya adalah Allah yang
menentukan.
Inilah yang seharusnya menjadi spirit para juru
dakwah dimanapun berada. Bahwa setiap da ’i
haruslah ada rasa kasih-sayang kepada umat.
Bahwa setiap da ’i harus memusatkan perhatianya
untuk mengajak umat kejalan Allah. Bahwa setiap da
‘ i haruslah tiada bosan-bosan untuk berdakwah.
Namun semua aktivitas tersebut haruslah dengan
niat karena atas menaati perintah Allah semata
(Lillah). Sedangkan diterima atau ditolaknya dakwah
yang dilakukan oleh seorang da ’i, itu menjadi urusan
Allah atau Billah. Iman dan kafir bukan da’i yang
menentukan. Bahkan seorang Nabi dan Rasul pun
tidak mampu membuat seseorang menjadi
mukmin. Sekali lagi, semua hal yang berkaitan
dengan iman dan kafir semata-mata adalah
wewenang dan hidayah Allah Ta ’ala.
Satu hal lagi yang menarik dari ayat ini adalah
bahwa iman kita ini benar-benar menunjukan kasih-
sayang Allah kepada kita. Hal ini seharusnya
membuat kita semakin banyak merunduk kepada
Allah. Semakin cinta kepada Allah. Semaikn
menyadari bahwa kita ini mendapat fasilitas yang
istemewa dari Allah. Bukankah Abu Thalib, paman
sekaligus besan Rasulullah SAW, ayah dari Khalifah
Ali KW sekaligus kakek dari Hasan dan Husein serta
leluhur dari para Habaib dan Syarif tiada
mendapatkan anugerah iman sebagaimana kita?
Bukankah Kan ’an, putera dari Nabi Nuh AS, salah
seorang Ulul Azmi tiada mendapatkan keimanan
sebagaimana kita? Bukankah Azar, ayahanda Nabi
Ibrahim AS tiada mendapatkan iman sebagaimana
kita? Karena itulah, seharusnya sehari-hari kita selalu
dipenuhi oleh rasa syukur terhadap nikmat iman ini.
Hingga akibat rasa syukur ini, kesedihan kita
terhadap berbagai problem materi kita menjadi
tertutupi. Bahkan kemudian dihilangkan oleh Allah
Ta ’ala.
Ayat ini seharusnya membuat kita semakin cemas
kepada keputusan Allah. Sebab kita tidak tahu,
adakah iman kita masih akan tetap menyertai kita
saat kita meninggal nanti? Bukankah banyak orang
yang tidak mendapatkan keabadian iman? Qarun,
yang sebelumnya ahli Taurat, mengakhiri hidupnya
dengan kekafiran. Barshisho, seorang wali penuh
karomah mengakhiri hidupnya dengan kekafiran.
Bal ’aam, seorang wali dan ulama juga mengakhiri
hidupnya dengan kekafiran. Siapa yang menjamin
keimanan kita akan tetap menyertai kematian kita?
Allah SWT memperingatkan hal ini dalam firman-
Nya: “Adakah mereka merasa aman dari makar/
jebakan/ azab Allah? Maka tidaklah merasa aman
dari jebakan Allah kecuali orang-orang yang
merugi. ” (QS. Al A’raf: 99).
Inilah sikap hati kita sebagai seorang mukmin. Selalu
merendah. Selalu cemas. Selalu takut kepada Allah.
Wallahu a ’lam