Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Rabu, 19 Januari 2011

Semua keadaan, bisa menjadi TORIQOH (jalan) menuju Allah!

“Tidak dikuatirkan padamu bingung jalan. Tetapi
yang dikuatirkan atasmu adalah menangnya hawa
nafsu atas akal dan imanmu. ” (Al Hikam: 117)
Bagi semua orang, tidak dikhawatirkan bingung
tentang keadaan dirinya; apakah ia melakukan taat,
atau terjerumus berbuat maksiat. Karena yang jelas,
perbuatan-perbuatan itu, sebenarnya bisa dijadikan
jalan untuk menuju mewusulkan seseorang kepada
Allah, atau bisa menjadi jalan, atau toriqoh kepada
Allah.
Amal itu sendiri memiliki dua nilai. Pertama; Nilainya
sebagai amal. Tentu setelah terpenuhinya syarat-
syaratnya amal itu sendiri. Kedua; Berfungsi sebagai
toriqoh.
Suatu perbuatan dinilai amal, kalau dalam
pelaksanaanya sudah memenuhi syarat-syarat,
seperti niat, rukunya sudah tepat, yang
membatalkan sudah ditinggalkan, dan sebagainya.
Jika hal ini sudah ditepati, amal itu diterima.
Sebaliknya, kalau amal itu untuk dijadikan sebagai
toriqoh ilallah, ya syaratnya lain lagi, tentu
sebagaimana yang berlaku di toriqoh. Nah, kalau
bisa, kita melakukan amal ibadah bisa bernilai kedua-
duanya; sebagai amal ibadah dan sebagai toriqoh.
Karena ada amal yang tidak memenuhi syarat-
syarat amal, tapi ia bisa tusilu ilallah (menjadi toriqoh
untuk wushul kepada Allah). Ada juga amal yang
diterima, tetapi tidak bisa tusilu ilallah.
Ketika kita menghadapi suatu keadaan, di sini
digambarkan, ada taat, ada maksiat, juga ada bala’.
Taat, maksiat dan bala’ ini, kita tidak dikhawatirkan
ketidakmampuan kita untuk memanfaatkanya
menjadi toriqoh atau amal ibadah tusilu ilallah.
Meskipun didalam Al Qur’an sendiri dan juga hadits,
telah jelas diterangkan, bahwa apabila kita mau
mempelajari dan memahami benar-benar, disana
ada tuntunan-tuntunan yang menuntun kita agar
dapat memanfaatkan semua keadaan atau amal
ibadah menjadi toriqoh yang tusilu ilallah.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana menggunakan
taat, menjadi amal ibadah, menjadi toriqoh yang
tusilu ilallah. Yaitu:
Yakni, kita memandang bahwa semua amal ibadah
kita ini adalah anugerah dari Allah, bukan sebab daya
upaya kita, dan bukan karena usaha kita. Karena itu
jangan diaku ketika kita bisa taat, bahwa itu hasil
ikhtiar kita, tetapi sadarilah bahwa ini adalah
anugerah dari Allah. Walaupun umpamanya, kita
sudah lillah, tetapi ketika kita melakukan amal ibadah
belum melihat bahwa sesungguhnya bisa beramal
itu sendiri merupakan anugerah Allah, berarti kita
masih mahjub, terhijab, amal itu masih diaku. Nah,
supaya amal itu tidak diaku, kita harus menyadari
minnatun minallah (anugerah dari Allah). Dalam
istilah Wahidiyah billah, bukan ikhtiar kita. Kalau taat
kita sudah kita bilah-kan, hati kita senantiasa ingat
kepada Allah, ya otomatis amal atau taat itu menjadi
toriqoh kepada Allah.
Dibidang maksiat; bagaimana agar maksiat kita ini
bisa dijadikan toriqoh kepada Allah? Yaitu, ketika kita
maksiat, kita harus istighfar, merasa hina, merasa
dosa dihadapan Allah SWT. Kemudian kita tobat
yang sungguh-sungguh kepada Allah, maka
maksiat itu akan menjadi toriqoh kepada Allah.
Karena itu ada dawuh:”Maksiat yang didalamnya
menimbulkan rasa dosa, nelongso dan menangis
meminta ampunan kepada Allah, berdepe-depe
tobat dan kembali kepada Allah, itu lebih bagus
daripada taat yang tidak ada rasa demikian itu,
bahkan menumbuhkan rasa takabur. Karena itulah,
maksiat bisa dijadikan toriqoh kepada Allah.
Begitu juga nikmat. Bagaimana nikmat itu agar bisa
dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu kita senantiasa
bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan
Allah. Baik Syukur bil qalbi, syukur bil lisan, maupun
syukur dengan cara menggunakan nikmat itu untuk
beramal, sesuai dengan kehendak yang memberi
nikmat.
Syukur bil qalbi, kita merasa, menyadari bahwa
semua nikmat itu dari Allah SWT. Sadar bahwa
nikmat itu adalah anugerah Allah. Juga sebagai
ungkapan syukur kita, secara lisan kita berterima
kasih kepada Allah dengan memanjatkan puji;
Alhamdulillah. Bahkan, kalau perlu disampaikan
kepada orang lain: Alhamdulillah saya baru saja
mendapat nikmat dari Allah ” maksud membicarakan
nikmat tentu bukan niat riya’, tapi niat syukur dan
menunjukkan nikmat Allah kepada orang lain. Kalau
bisa demikian, maka syukur nikmat tadi, bisa
menjadi toriqoh kepada Allah.
Begitupun ketika kita mendapat bala’. Ia bisa
dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu ketika kita
menerimanya dengan hati ridha, dan sadar bahwa
ini adalah qodho-qodar-nya Allah. Kita memandang,
ini semua dari Allah semata. Disebabkan banyak
dosa-dosa kita.
” Telah tampak berbagai kerusakan di darat dan
dilautan. Bencana alam, banjir, angin topan, gunung
meletus, kecelakaan, dan sebagainya. Semua ini
adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, kata
Allah. Hingga dunia menjadi rusak, dan semua
barokahnya hilang. Mulai barokah harta-benda,
barokah rumah-tangga, semuanya hilang.
Semuanya kacau balau. Akibat kerusakan itu
kemudian ditimpakan oleh Allah kepada manusia,
agar mereka mau sadar dan kembali kepada Allah
SWT. ” (QS. Ar Rum: 41).
Demikian inilah beliau tuntunan K. Mushonnif kepada
kita, kepada Pengamal Wahidiyah khususnya yang
telah lama didik Mbah Yahi, untuk menyikapi
keadaan maksiat, taat, nikmat dan bala ’. Untuk
dijadikan toriqoh kepada Allah.
Jadi pada intinya; bukan maksiat menjadi ibadah,
tidak. Tapi, bagaimana maksiat itu bisa dijadikan
toriqoh ubudiyah yang tusilu ilallah.
Bagi Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah
Yahi, ketika menghadapi maksiat, taat, nikmat dan
bala ’. Atau ketika ia dikuasai nafsu, sangat
dikhawatirkan ia tidak bisa memanfaatkan keadaan-
keadaan tersebut jadi toriqoh ilallah. Yang lebih
menghawatirkan lagi apabila taatnya menjadi
maksiat, bala ’ menjadi maksiat, karena dirinya
dikuasai oleh hawa nafsu.
Padahal Mbah Yahi telah mendidik agar kita tidak
perlu khawatir lagi menyikapi nikmat taat, maksiat,
bala ’ ini. Sebab jika kita benar-benar tidak dikuasai
hawa nafsu, maka semua keadaan itu bisa untuk
dijadikan toriqoh ilallah. Insya Allah Pengamal
Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi sudah
mampu demikian dengan idzin-Nya.
Namun walau ilmiahnya mudah, dipandang
mampu, tapi kalau hatinya dikuasai nafsu, sangat
dikhawatirkan taatnya menjadi maksiat, apalagi
maksiatnya. Nikmatnya jadi maksiat, jadi siksa dan
juga bala ’nya senantiasa menjerumuskan.
Apabila kondisi seseorang dikuasai nafsu, maka
orang ini jelas sudah buta mata hatinya. Ia sudah
tidak bisa membedakan mana yang untuk
mendekatkan diri kepada Allah, mana yang bukan.
Dengan amal taatnya, ia taajjub, bangga dan merasa
bahwa “aku bisa beramal”. Bisa beramalnya bukan
karena anugerah dari Allah, sebaliknya, ia bangga,
taajjub bit-toatihi. Dia tidak lagi memandang bahwa
bisa beramal itu adalah minnatun minallah.
Wa tasiru fil maksiat…., dan ketika ia terjerumus
kedalam keadaan yang demikian, ia malah terus
enak-enakan tanpa menyadari bahwa dirinya dalam
kondisi maksiat. Ia tidak segera keluar dari keadaan
itu dan cepat-cepat tobat.
Wa tastaqilla…, dan ketika ia mendapat nikmat, ia
juga menganggap bahwa nikmat yang diberikan
kepadanya itu cuman sedikit. Akhirnya ia tidak mau
bersyukur kepada Allah, bahkan terus-menerus
ngersulo, mengeluh.
Wa jazaa fil baliyat…, ia juga hanya merasa susah,
ketika keadaanya sedang dicoba. Sebaliknya ia tidak
segera tobat.
Karena itulah sangat dikhawatirkan, bahwa
Pengamal Wahidiyah yang sedang dikuasai nafsu,
ketika menyikapi taat, maksiat, nikmat dan baliyat
(bala ’) akan terjerumus seperti yang disebutkan
diatas tadi.
Karena itu, kita dalam kehidupan ini, mari kita
koreksi. Apakah keadaan kita lebih banyak taatnya,
atau lebih banyak maksiatnya.
Kita juga harus menyadari, bahwa kita ini tidak bisa
lepas dari nikmat Allah. Akan tetapi, didalam nikmat
itu sesungguhnya ada bala ’ atau musibah. Yang
dimaksud musibah disini adalah ketika nikmat itu
sesungguhnya kita aku sendiri, bukan dari Allah.
Dan kita menyalahgunakan nikmat itu bukan untuk
toriqoh inallah. Inilah yang dimaksud musibah.
Karena itulah, kita dididik oleh Mbah Yahi, bagaimana
agar kita tidak bingung, jangan sampai jumbuh
istilah disini, bingung, tidak mampu menggunakan
melaksanakan taat untuk toriqoh ilallah. Karena
itulah, apabila kita mendapat nikmat, bisa taat, maka
janganlah diaku, tapi harus billah, bahwa ini semata-
mata adalah anugerah Allah SWT. Kita juga harus
terus bersyukur, terus berdepe-depe dan tobat
memohon ampun kepada-Nya. Begitu juga, apabila
kita ‘diberi’ maksiat, jangan susah. Karena itu qadha-
qodhar-Nya Allah. Tetapi susahlah pada
perbuatanya, nangis, tobat kepada Allah SWT. Dan
apabila mendapat nikmat ya disyukuri: ”Dan
sekiranya kamu menghitung-hitung nikmat yang
telah diberikan Allah, niscaya kamu tidak akan
mampu menghitungnya. ” (QS. Ibrahim: 34).
Nikmatnya Allah itu tidak bisa dihitung. Karenanya,
Allah hanya meminta kita untuk mensyukurinya.
Dan apabila kita mendapat baliyat atau cobaan, kita
harus sadar bahwa ini adalah peringatan dari Allah.
Iya kalau cobaan itu yang ngelaraake teng nafsu
(menyusahkan/ menyakitkan pada nafsu). Tapi,
kalau cobaan itu jutru yang mengenakkan nafsu kita,
kita terlena nanti. Di coba sakit, dicoba jatuh usaha
kita, ini biasanya kita tahu. Tapi, kalau kita dicoba
kaya, ampuh, kita ndak tahu … Hingga cobaan itu
membuat kita bingung, tidak bisa menggunakannya
untuk tusilu ilallah SWT. Hati-hati … dan harus lebih
hati-hati lagi, ketika hawa nafsu itu menguasai kita,
hingga kita berani mengaku bisa beramal ibadah.
Bahkan, jika hati kita sudah tertutup oleh nafsu,
maka kita akan enak-enakkan didalam maksiat,
sehingga nikmat yang banyak yang kita terima dari
Allah SWT, tidak bisa kita rasakan. Begitu juga
baliyat (bala ’) yang sebenarnya sifatnya peringatan
dari Allah, justru dianggapnya sebagai siksa.
Juga ada dawuh, laa yukhafu alaika… (sudah tidak
dikhawatirkan lagi…). Maksud dawuh ini adalah ‘tidak
dikhawatirkan bingung’ membedakan antara mana
perbuatan maksiat dan mana perbuatan taat. Juga
tidak dikhawatirkan bingung memilih, mana ketaatan
yang harus lebih diutamakan, mana yang tidak.
Tapi bahasanya di sini, adalah ‘dikhawatirkan
bingung’ memilih, antara meksiat dan perbuatan taat
untuk digunakan toriqoh kepada Allah.
Sekarang bagi Pengamal Wahidiyah, sudah tidak
dikhawatirkan lagi bingung memilih mana yang
lebih penting dan manfaat, mana yang tidak. Karena
pengamal sudah dewasa, sudah bisa taqdimul
aham fal aham tsumal anfa ’ fal anfa’. Tidak
dikhawatirkan bingung memilih diantara amal-amal
yang tusilu ilallah. Seperti shalat, syiam (puasa),
zakat, dzikir dan sebagainya. Sudah tidak
dikhawatirkan bingung memilih mana yang lebih
utama, yang lebih aham, dan yang labih anfa ’.
Karena kita sudah diberi taqdimul aham fal aham
tsumal anfa ’ fal anfa’.
Tetapi, apabila kita dikuasai hawa nafsu, pasti kita
menjadi bingung untuk memilih; mana yang lebih
utama, mana yang tidak. Sehingga dalam
melakukan amal perbuatan tidak istiqomah.
Terkadang mengerjakan yang ini, terkadang yang
itu. Terus …. Begitu. Kadang-kadang, mempeng,
giat. Kadang tidak sama sekali. Ia bingung karepe
dewe (bingung sendiri/ tanpa sebab). Oleh karena
hatinya terombang-ambing nafsunya. Mengamalkan
amalan yang ini, ia tidak merasakan ada atsar di
hatinya. Semakin ia mempeng (sungguh-sungguh),
justru semakin gelap hatinya dari Allah. Bahkan
saking bingungnya, kembali ia ganti amalan lagi,
kemudian ganti lagi, dan seterusnya. Tetapi yang ia
dapat bukan rasa nikmat dalam hati, namun
hanyalah rasa kesel nggak ada hasilnya … Sebab apa?
Sebab ia tidak memilih mana yang lebih aula, lebi
anfa ’ dan lebih aman.
Orang yang demikian ini, biasanya adalah orang-
orang yang tidak dalam bimbingan Asy Syaikhul
Kamil Mukamil. Kerena tidak mendapat bimbingan
Syaikh Kamil Mukamil, maka hatinya dikusai nafsu.
Akibatnya, ia bingung memilih; mana yang aula atau
aham, mana yang tidak.
Oleh karena dirinya dikuasai nafsu, maka hatinya
tercegah, tertutup untuk melihat jalan yang terbaik
yang mestinya ia gunakan untuk toriqoh ilallah
SWT. Maka saat ia mencari amalan, hanyalah
amalan yang sifatnya agar bisa mendekatkan diri
kepada Allah. Itu saja. Tetapi ia sendiri tidak mampu
membedakan mana amalan yang sungguh-
sungguh efektif, atsar-nya banyak, dan mampu
tusilu ilallah. Pokoknya, amalan yang bisa mendekat
kepada Allah, ya diamalkan.
Karena ia mendapatkan amalanya hanya asal-asalan,
kemudian ‘pokoknya mengamalkan’, tidak ada
bimbingan guru Kamil Mukamil, hatinya dikuasai
nasu pisan, hal ini membuat hatinya semakin gelap,
hingga ia tidak bisa melihat mana yang aham, mana
yang anfa ’. Akhirnya, perjalanan ruhaninya menuju
Allah, kembali dari awal, dari bawah lagi.
Namun demikian. Walaupun ia tidak mampu
memilih mana yang aham dan mana yang anfa’,
oleh karena ia terus mengamalkan amalan yang
didapatnya itu, akhirnya Allah pun menolong, hatta
yajmuka … Sehingga kamu dipertemukan dengan
guru Kamil Mukamil yang memberikan bimbingan
dan menunjukkan kamu untuk menuju Allah SWT.
Dan akhirnya kamu di dalam bimbingan seorang
guru Syaikh Kamil Mukamil itu.
Bagi kita Pengamal Wahidiyah, ini sangat penting
sekali. Jangan sampai kita terpeleset. Kita menjadi
pengamal sudah lama sekali. Apalagi kita sudah
pengamal sejak kecil hingga besar seperti sekarang
ini. Jangan sampai, kalau diajak ngomong ajaran
kayak-kayak alim, kayak menguasai ilmu toriqoh,
ilmu lillah dan billah. Tapi, setelah itu selesai. Cuma
ngomong-omong saja, namun hatinya tidak
dredeg, tidak bergetar sama sekali seperti
omonganya. Sebaliknya, kalau diomongi, ganti
nyembur, ganti ngomongi. Namun hatinya jauh
dari apa yang dibicarakan. Hingga ketika ia
menghadapi empat masalah seperti dalam bahasan
diatas, ia bingung; mana yang diamalkan. Justru ia
terus gonta-ganti amalan; ngamalkan ini, kemudian
ganti ngamalkan itu, terus ganti lagi ngamalkan yang
ini. Karena hati kita telah dikuasai nafsu.
Bahkan mungkin juga, hanya doa saja yang ia
amalkan; pengen surga, pengen jauh dari neraka,
pengen ini dan itu, sehingga tujuan yang utama
yaitu wushul kepada Allah kalah di tengah jalan,
kalah dengan kebutuhan ekonominya. Begitulah
kalau hati kita telah dikuasai nafsu. Hati kita
terombang-ambing, hingga kita selalu gonta-ganti
amalan. Suatu saat mengamalkan ini, suatu saat
tidak. Hingga jadinya tidak istiqomah.
Begitu juga, meski yang diamalkan jelas-jelas
amalan Wahidiyah, namun karena ia tidak pernah
datang di jama ’ah, tidak pernah Usbu’iyah, tidak
pernah datang di Rubu’usanah, hingga tidak ada
penjelasan-penjelasan yang membawa dia untuk
tusilu ilallah, sama dengan tidak dibimbing oleh
Syaik Kamil Mukamil, maka ia pun tetap akan
merasakan kebingungan. Akhirnya ia hanya bisa
ngamuk, menuruti nafsunya sendiri. Pokoknya dia
mengamalkan … Hati-hati, jangan-jangan yang
dikhawatirkan oleh mushannif (penyusun Kitab Al
Hikam), atau Mualif Shalawat Wahidiyah ini terjadi
pada pengamal Wahidiyah yang lama.. mari kita
koreksi diri kita sendiri.. Allahu a ’lam Al Fatihah…
Pengajian Al Hikam Oleh: Hadrotul Mukarrom Romo
KH. Abdul Latif Madjid, RA.

1 komentar:

  1. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.

    كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

    “Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)


    BalasHapus