Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Selasa, 22 November 2011

MengenalTasawuf Akhlaqi dan‘Amali

Allah menciptakan manusia di muka bumi
adalah untuk menjadi kholifah atau
pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas
dari fitrahnya ini, Allah SWT
menganugrahkan dua potensi penting
dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu.
Allah SWT memberikan akal kepada
manusia agar mereka mampu dan dapat
membedakan mana yang baik dan mana
yang benar, dalam bertindak, bertingkah
laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara
nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat
pekerjaan yang dilakukan oleh akal.
Sehingga, nafsu ini dapat menjadi nafsu
yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk
menghindar dari perbuatan-perbuatan
yang tercela dan membawa dosa, dan
nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih
untuk melakukan perbuatan-perbuatan
dosa dan salah.
Para ahli sufi memiliki pendapat bahwa
hawa nafsu dapat menjadi tabir
penghalang untuk dapat dekat dengan
Allah SWT. Hal yang seperti ini akan terjadi
ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh
hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini
akan membawa manusia cenderung
memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada
akhirnya bukanlah kenikamtan kehidupan
akherat yang dijadikan tujuan utama dalam
hidup, melainkan kenikmatan dunia lah
dijadikan tujuan utama dalam mencapai
keberhasilan hidun
Dalam kitab Ma’rifat Ghubahan Ihsanuddin
dinukilkan ungkapan para ahli sufi : Jalan-
jalan menuju Allah itu sebanyak bintang-
bintang di langit, atau sebanyak bilangan
nafas manusia. [1] Salah satu dari jalan itu
adalah dengan mengendalikan hawa nafsu.
Bila hawa nafsu ini dapat dikendalikan,
maka ia tidak akan membawa diri manusia
kedalam kesesatan. Para ahli sufi
beranggapan bahwa, dengan
mengendalikan hawa nafsu berarti
manusia tengah dalam upaya pembersihan
jiwa yang dapat menuntunnya untuk dekat
kepada Allah SWT.
Pada hakekatnya, para kaum sufi telah
membuat sebuah sistem yang tersusun
secara teratur yang berisi pokok-pokok
konsep dan merupakan inti dari ajaran
tasawuf. [2] Diantaranya adalah, Takhalli,
Tahalli, Tajalli, Munajat, Muroqobah,
Muhasabah, Syari ’at, Thariqat, dan Ma’rifat
yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf
yakni mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya.
A. TASAWUF AKHLAQI
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang
menerangkan sisi moral dari seorang
hamba dalam rangka melakukan taqorrub
kepada tuhannya, dengan cara
mengadakan Riyyadah [3] pembersihan diri
dari moral yang tidak baik, karena tuhan
tidak menerima siapapun dari hamba-Nya
kecuali yang berhati salim (terselamatkan
dari penyakit hati). [4] Isi dari ajaran
Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli,
Tajalli, Munajat, Murroqobah,
memperbanyak dzikir dan wirid,
mengingat mati, dan tafakkur.
1. Takhalli
Takhalli atau penarikan diri berati menarik
diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang
merusak hati. Definisi lain mengatakan
bahwa, Takhalli adalah membersihkan diri
sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran atau
penyakit hati yang merusak. [5] Takhalli
juga berarti mengosongkan diri sikap
ketergantungan terhadap kelezatan
duniawi. [6]
Dari definisi takhali di atas, dapat dinyatakan
bahwa takhalli ini dapat dicapai dengan
menjauhkan diri dari kemaksiatan,
kelezatan atau kemewahan dunia, serta
melepaskan diri dari hawa nafsu yang
jahat, yang kesemuanya itu adalah
penyakit hati yang dapat merusak. Menurut
kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua,
yakni maksiat lahir dan maksiat batin. [7]
Maksit lahir adalah segala bentuk maksiat
yang dilakukan atau dikerjakan oleh
anggota badan yang bersifat lahir.
Sedangkan maksiat batin adalah berbagai
bentuk dan macam maksiat yang dilakukan
oleh hati, yang merupakan organ batin
manusia.
Pada hakekatnya, maksiat batin ini lebih
berbahaya dari pada maksiat lahir. Jenis
maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh
manusia karena jenis maksiat ini adalah
jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak
seperti maksiat lahir yang cenderung
sering tersadari dan terlihat. Bahkan
maksiat batin dapat menjadi motor bagi
seorang manusia untuk melakukan maksiat
lahir. Sehingga bila maksiat batin ini belum
dibersihkan atau belum dihilangkan, maka
maksiat lahir juga tidak dapat dihilangkan.
Kelompok sufi beranggapan bahwa
penyakit-penyakti dan kotoran hati yang
sangat berbahaya tersebut dapa menjadi
hijab [8] untuk dapat dekat dengan tuhan.
Sehingga agar mudah menerima pancaran
Nur Illahi dan dapat mendekatkan diri
dengan tuhan maka hijab tersebut haruslah
dihapuskan dan dihilangkan. Yakni, dengan
berusaha membersihkan hati dari penyakit-
penyakit hati dan kotoran hati yang dapat
merusak. Upaya pembersihan hati ini dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menghayati segala bentuk ibadah,
agar dapat memahaminya secara
hakiki
2. Berjuang dan berlatih
membebaskan diri dari kekangan
hawa nafsu yang jahat dan
menggantinya dengan sifat-sifat
yang positif.
3. Menangkal kebiasaan yang buruk
dan mengubahnya dengan
kebiasaan yang baik.
4. Muhasabah, yakni koreksi
terhadap diri sendiri tentang
keburukan-keburukan apa saja
yang telah dilakukan dan
menggantinya dengan kebaikan-
kebaikan.
2. Tahalli
Secara etimologi kata Tahalli berarti berhias.
Sehingga Tahalli adalah menghiasi diri
dengan sifat-sifat yang terpuji serta
mengisi diri dengan perilaku atau
perbuatan yang sejalan dengan ketentuan
agama baik yang bersifat lahir maupun
batin. Definisi lain menerangkan bahwa
Tahalli berarti mengisi diri dengan perilaku
yang baik dengan taat lahir dan taat batin,
setelah dikosongkan dari perilaku maksiat
dan tercela. [9] Diterangkan pula bahwa
Tahalli adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap
serta perbuatan yang baik. [10]
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa
yang telah dikosongkan pada tahap
Takhalli. [11] Dengan kata lain, Tahalli adalah
tahap yang harus dilakukan setelah tahap
pembersihan diri dari sifat-sifat, sikap dan
perbuatan yang buruk ataupun tidak
terpuji, yakni dengan mengisi hati dan diri
yang telah dikosongkan aatu dibersihkan
tersebut dengan sifat-sifat, sikap, atau
tindakan yang baik dan terpuji. Dalam hal
yang harus dibawahi adalah pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik setalah jiwa
dibersihkan dan dikosongkan dari hal-hal
yang buruk bukan berarti hati harus
dibersihkan dari hal-hal yang buruk terlebih
dahulu, namun ketika jiwa dan hati
dibersihkan dari hal-hal yang bersifat kotor,
merusak, dan buruk harus lah diiringi
dengan membiasakan diri melakukan hal-
hal yang bersifat baik dan terpuji. Karena
hal-hal yang buruk akan terhapuskan oleh
kebaikan.
Pada dasarnya, jiwa manusia dapatlah
dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk
sesuai dengan kehendak manusia itu
sendiri. [12] Dengan kata lain sikap, atau
tindakan yang dicerminkan dalam bentuk
perbuatan baik yang bersifat lahir ataupun
dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah
kebiasaan dan dibentuk menjadi sebuah
kepribadian. Sehingga, pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik itu diawali
dengan melatih diri dengan melakukan hal-
hal yang baik, sehingga lama kelamaan hal-
hal yang baik tersebut akan berubah
menjadi kebiasaan, dan apabila secara
berkelanjutan dilakukan hal-hal yang baik
tersebut akan terbentuk menjadi suatu
kebiasaan.
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan
sifat-sifat Allah. Yaitu menghiasi diri dengan
sifat-sifat yang terpuji. Apa bila jiwa dapat
diisi dan dihiasi dengan sifat-sifat yang
terpuji, hati tersebut akan menjadi terang
dan tenang, sehingga jiwa akan menjadi
mudah menerima nur Illahi karena tidak
terhijab atau terhalang oleh sifat-sifat yang
tercela dan hal-hal yang buruk Hal-hal yang
harus dimasukkan, yang meliputi sikap
mental dan perbuatan luhur itu adalah
seperti taubat, sabar, kefakiran, zuhud [13],
tawakal[14], cinta, dan ma’rifah[15].[16]
3. Tajalli
Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh
oleh seorang hamba ketika ia sudah
mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli.
Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya
hijab dari sifat kemanusiaan atau
terangnya nur yang selama itu
tersembunyi atau fana segala sesuatu
selain Allah, ketika nampak wajah Allah.[17]
Tahap Tajalli di gapai oleh seorang hamba
ketika mereka telah mampu melewati tahap
Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk
menempuh tahap Tajalli seorang hamba
harus melakukan suatu usaha serta latihan-
latihan kejiwaan atau kerohanian, yakni
dengan membersihkan dirinya dari
penyakit-penyakit jiwa seperti berbagai
bentuk perbuatan maksiat dan tercela,
kemegahan dan kenikmatan dunia lalu
mengisinya dengan perbuatan-perbuatan,
sikap, dan sifat-sifat yang terpuji,
memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah,
memperbanyak ibadah dan menghiasi diri
dengan amalan-amalan mahmudah yang
dapat menghilangkan penyakit jiwa dalam
hati atau dir seorang hamba.
Tahap Tajalli tentu saja tidak hanya dapat
ditempuh dengan melakukan latihan-latihan
kejiwaan yang tersebut di atas, namun
latihan-latihan tersebut harus lah dapat ia
rubah menjadi sebuah kebiasaan dan
membentuknya menjadi sebuah
kepribadian. Hal ini berarti, untuk
menempuh jalan kepada Allah dan
membuka tabir yang menghijab manusia
dengan Allah, seseorang harus terus
melakukan hal-hal yang dapat terus
mengingatkannya kepada Allah, seperti
banyak berdzikir dan semacamnya juga
harus mampu menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dapat
membuatnya lupa dengan Allah seperti
halnya maksiat dan semacamnya.
Dapat pula diumpamakan pula bahwa,
seorang yang mencari tuhan adalah seperti
orang yang bercermin di depan sebuah
kaca besar yang kotor. Kotoran dalam
cermin itu diibaratkan sebahai sebuah hijab
yang menghalanginya untuk melihat
bayangannya dengan jelas, dan bayangan
itu diibaratkan sebagai tuhan. Untuk dapat
melihat bayangannya dengan jelas
seseorang tidak perlu memindahkan
cerminnya kekanan atau kekiri atau
membeli cermin yang baru. Melainkan,
seseorang tersebut hanya harus
membersihkan kotoran tersebut untuk
dapat melihat bayangannya dengan jelas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk
dapat membuka hijab antara manusia
dengan Allah seseorang harus mampu
membersihkan kotoran-kotaran yang
terdapat dalam jiwanya dan menggantinya
dengan perbuatan, sifat dan sikap yang
terpuji dan baik agar hatinya tidak lagi
tercemari dan terkotori oleh penyakit-
penyakit jiwa yang dapat menjadi hijab
antara seorang hamba dengan Allah.
4. Munajat
Munajat berarti melaporkan segala aktivitas
yang dilakukan kehadirat Allah SWT. [18]
Maksudnya adalah dalam munajat
seseorang mengeluh dan mengadu kepada
Allah tentang kehidupan yang seorang
hamba alami dengan untaian-untaian
kalimat yang indah diiringi dengan pujian-
pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam
suasanya yang hening teriring dengan
deraian air mata dan ungkapan hati yang
begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari
sebuah do ’a yang diungkapkan dengan
rasa penuh keridhoan untuk bertemu
dengan Allah SWT.
Menurut kaum sufi, tangis air mata itu
menjadi salah satu amal adabiyah atau ,
suatu riyadhah bagi orang sufi ketika
bermunajat kepada Allah. [19] Para kaum
sufi pun berpandangan bahwa tetesan-
tetesan air mata tersebut merupakan suatu
tanda penyeselan diri atas kesalahan-
kesalahan yang tidak sesuai dengan
kehendak Allah. Sehingga, bermunajat
dengan do ’a dan penyesalan yang begitu
mendalam atas semua kesalahan yang
diiringi dengan tetesan-tetesan air mata
merupakan salah satu cara untuk
memperdalam rasa ketuhanan dan
mendekatkan diri kepada Allah.
5. Muraqabah
Muraqabah menurut arti bahasa berasal
dari kata raqib yang berarti penjaga atau
pengawal. Muraqabah menurut kalangan
sufi mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan
dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
[20] Muroqobah juga dapat diartikan
merasakan kesertaan Allah, merasakan
keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap
waktu dan keadaan serta merasakan
kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun
ramai. [21]
Sikap muroqobah ini akan menghadirkan
kesadaran pada diri dan jiwa seseorang
bahwa ia selalu diawasi dan dilihat oleh
Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi
apapun. Sehingga dengan adanya
kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-
apa yang mereka telah lakukan dalam
kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah
sesuai dengan kehendak Allah ataukan
malah menyimpang dari apa yang di
tentukan-Nya.
Disamping itu ada satu istilah yang disebut
dengan sikap mental muqorobah, yakni
sikap selalu memandang Allah dengan
mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya, ia
pun juga menyadari bahwa Allah juga
melihatnya, mengawasinya, dan
memandangnya dengan sangat penuh
perhatian.
Ketika muroqobah dilakukan untuk
menghadirkan kemantapan hati dan
ketenangan batin seseorang dalam praktik
mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini
dikarenakan, bila sudah tertanam
kesadaran bahwa seseorang selalu melihat
Allah dengan hatinya dan ia sadar bahwa
Allah selalu memandangnya dengan penuh
perhatian maka seseorang tersebut akan
semakin mantab untuk mengamalkan dan
melakukan apa-apa yang diridloi oleh Allah
sehingga batin nya akan semakin terbuka
untuk dapat mendekatkan dirinya pada
Allah.
Sikap mental muroqobah ini dapat
digambarkan dalam sebuah cerita sufi,
yakni ketika seorang muslim yang
berjualan baju keliling diajak bersetubuh
oleh seorang wanita biarawati nasrani.
Ketika itu laki-laki muslim itu tengah
menjajakan barang dagangannya kerumah
biarawati tersebut. Kebetulan saat itu hanya
ada mereka berdua, dan tak ada orang lain
disana. Ketika itu pula seorang biarawati itu
mengajak laki-laki muslim itu untuk
bersetubuh. Dan laki-laki itupun
terpengaruh oleh godaan setan, dia berkata
“ ia saya mau”. Namun ketika laki-laki
muslim itu dan biarawati itu hampir
melakukan persetubuhan, tiba-tiba
tersadarlah dalam hati laki-laki tersebut, jika
Allah tak pernah tidur dan selalu
mengawasinya dengan penuh perhatian.
Sat itu pula laki-laki muslim itu berkata
“saya tak bisa melakukannya, saya takut
dengan Allah karna dia selalu mengawasi
saya ”. Hingga akhirnya mereka tidak jadi
bersetubuh dan laki-laki muslim itu
meninggalkan rumah itu.
6. Muhasabah
Muhasabah seringkali diartikan dengan
memikirkan, memperhatikan, dan
memperhitungkan amal dari apa-apa yang
ia sudah lakukan dan apa-apa yang ia akan
lakukan. Muhasabah juga didefinisikan
dengan meyakini bahwa Allah mengetahui
segala fikiran, perbuatan, dan rahasia
dalam hati yang membuat seseotang
menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada
Allah. [22]
Di dalam muhasabah, seseorang terus-
menerus melakukan analisis terhadap diri
dan jiwa beserta sikap dan keadaannya
yang selalau berubah-ubah. Orang
tersebut menghisab dirinya sendiri tanpa
menunggu hingga hari hari kebangkitan.
Dalam muhasabah hal-hal yang perlu
dipaerhatikan adalah menghisab tentang
kebajikan dan kewajiban yang sudah
dilaksanakan dan seberapa banyak maksiat
yang sudah dilaksanakan. Apabila
kemaksiatan lebih banyak dilakukan, maka
orang tersebut harus menutupnya dengan
kebaikan-kebaikan diringi dengan taubatan
nasuha.
Dengan demikian sikap mental muhasabah
dalah salah satu sikap mental yang harus
ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat
meningkatkan kualitas keimanan kita
terhadap Allah SWT. Sehingga sikap
mental ini akan dapat meningkatkan
kualitas ibadah kita kepada Allah SWT, dan
membukakan jalan untuk menuju kepada
Allah SWT.
B. TASAWUF ‘AMALI
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang
membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah. [23]
Terdapat beberapa istilah praktis dalam
Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat,
dan Ma’rifat.
1. Syari’at dan Thariqat
Secara umum syaria’t adalah segala
ketentuan agama yang sudah ditetapkan
oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-
orang sufi, syari ’at itu ialah amal ibadah
lahir dan urusan muamalat mengenai
hubungan antara manusia dengan
manusia. [24] Definisi lain mengatakan
bahwa Syari’at adalah kualitas amal lahir –
formal yang ditetapkan dalam ajaran
agama melalui Al-qur ’an dan sunnah.[25]
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa syari’at
adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya
menyentuh aspek lahir manusia dan tidak
menyentuh aspek batin manusia.
Ath-Thusi dalam Al-Luma’ mengatakan
bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang
mengandung dua pengertian, yaitu
riwayah dan dirayah yang berisikan
amalan-amalan lahir dan batin. [26]
Selanjutnya yang perlu dipahami adalah
bahwa apabila syari ’at di artikan sebagai
ilmu yang riwayah adalah segala macam
hukum teoritis yang termaktub dan terurai
dalam ilmu fiqih yakni ilmu-ilmu teoritis
yang bersifat lahiriah. Sebaliknya, apabila
syari ’at diartikan sebagai ilmu yang dirayah
maka makna dari syari’at itu adalah makna
batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat
disebut dengan makna hakikat dari ilmu
fiqih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan
dengan para fuqaha dan sufi yang memiliki
perbedaan pandangan, syari ’at yang
bersifat riwayah adalah macam ilmu yang
disebut dengan fiqih, yakni ilmu yang
menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan
syari ’at yang berkonotasi dirayah adalah
ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu
tasawuf yakni ilmu yang cenderung
menyentuh aspek batiniah.
Mengenai syari’at ini para ahli sufi lebih
menekankan pada aspek hakekat atau
makna batiniah dari dari ilmu lahiriah
(syari ’at) ketimbang para ahli fiqih yang
hanya menekankan pada aspek lahiriyah
saja. Memang pada dasarnya syari ’at
adalah simbol hukum yang mengatur
kehidupan agama yang bersifat lahiriyah.
Namun menurut para sufi hal ini tidak
berkaitan dengan kenyataan batin.
Kenyataan batin dan iman itu diluar
jangkauan dari syari ’at (ilmu yang bersifat
lahiriah) dan hal ini hanya dapat dilihat dan
dimengerti dengan jalan sufi. Menurut
keyakinan sufi, seseorang akan mencapai
hakikat suatu ibadah apabila mereka telah
menempuh jalan yang menuju pada
hakikat tersebut, yakni thariqat.
Thariqat menurut istilah tasawuf adalah
jalan yang harus ditempuh oleh seorang
sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat
mungkin dengan tuhan. [27] Thariqat
adalah jalan yang ditempuh para sufi dan
digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syari ’at, sebab jalan utama
disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut
dengan thariq.[28] Oleh sebab itu dapat
disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang
dari syari ’at yang merupakan pangkal dari
suatu ibadah. Hal ini dapat pula
digambarkan bahwa tidak mungkin adanya
suatu ibadah yang dilakukan tanpa adanya
perintah yang mengikat. Sehingga untuk
menempuh anak jalan yang menuntun
kepada hakikat tujuan ibadah harus
mengerti terlebih dahulu akar atau pangkal
dari jalan tersebut, yaitu syari ’at (landasan
hukum). Sehingga dapat digambarkan
bahwa jalan-jalan tersebut terbagi kedalam
tiga batasan antara manusia dan teologis,
yakni syari ’at, thariqat dan hakikat[29].
Dalam hal ini, terdapat pepatah sufi yang
mengatakan “untuk mencapai haqiqah (inti)
anda harus mampu menghancurkan kulit”.
[30] Yakni makna essensial melebihi
makna-makna yang bersifat eksotoris dan
tidak dapat direduksikan dalam bentuk
luaran yang bersifat eksotoris.
2. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu,
‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan,
pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat
adalah kumpulan ilmu pengetahuan,
perasaan, pengalaman, amal dan ibadah
kepada Allah SWT. [31] Dalam istilah
tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang
sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang
diperoleh melalui sanubari.
Al-Ghazali secara terperinci
mengemukakan pengertian ma’rifat
kedalam hal-hal berikut:
1. Ma’rifat adalah mengenal rahasia-
rahasia Allah dan aturan-aturan-
Nya yang melingkupi seluruh
yang ada;
2. Seseorang yang sudah sampai
pada ma ’rifat berada dekat
dengan Allah, bahkan ia dapat
memandang wajahnya;
3. Ma’rifat datang sebelum
mahabbah.[32]
Sebagian besar para sufi mengatakan
bahwa ma ’rifat adalah puncak dari tasawuf,
yakni mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya. Oleh karena itu, para sufi
berkeyakinan bahwa setiap orang yang
menempuh jalan tasawuf dan
mengamalkannya dengan sungguh-
sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan
tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya, yakni ma ’rifat.
Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat
adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di
diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak
dapat didapat lewat usaha manusia. [33] Hal
ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh
tuhan kepada hambanya yang
diistimewakan atau dipilih melalui
ketakwaan, kesalehan dan sufi [34]. Untuk
mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus
menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan
yang kotor dan memperbaiki diri dengan
sebaik-baiknya serta melakukan pendakian
tingkatan-tingkatan rohani yang disebut
dengan maoqamat [35] yang mana tujuan
akhir dari pendakian tersebut adalah
ma ’rifat yakni mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus
Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit
AMZAH.
Drs. Asmaran As., M.A. 1996. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.kawulagusti.blogspot.com/…/
isi-pokok-ajaran-tasawuf.html
http://
www.meetabied.wordpress.com/2010/02/20
ilmu-tasawuf/
http://www.ratih1727.multiply.com/
journal/item/171.html
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu
Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf.
Yogyakarta: Aura Media.
Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada. Hal. 40-41
[2] Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami
Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu
Tasawuf”. Yigyakarta : Aura Media. Hal 65.-
[3] Riyyadah diartikan sebagai latihan-
latihan mistik, latihan kejiwaan dengan
upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya
seperti perbuatan-perbuatan yang tercela
baik yang batin maupun yang lahir yang
merupakan penyakit hati yang sangat
berbahaya.
[4] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus
Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit
AMZAH. Hal. 263
[5] Ibid. Hal.233.
[6] Ibid, Hal 233.
[7] Ibid, Hal.233.
[8] Hijab menurut bahassa artinya adalah
kerudung, tirai, atau tabir. Pengertian Hijab
menurut istilah adalah segala sesuatu dari
diri manusia yang menyembunyikan dan
menutupi Allah. Hijab juga seringkali
dipahami sebagai dinding penghalang yang
membuat manusia tidak bisa berhubungan
dengan tuhan.
[9] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit Hal. 67
[10] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Op.cit. Hal. 227
[11] Ibid, Hal 227
[12] Ibid, Hal 227
[13] Zuhud adalah mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah.
Mengosongkan bukan berarti benar-benar
tidak menginginkan dunia, melainkan lebih
mementingkan kehidupan akherat
dibandingkan dunia.
[14] Tawakal biasa diartikan sebagai sikap
bersandar dan mempercayakan diri kepada
Allah. Tawakal tidak berarti beserah diri
tanpa ada usaha, melainkan
mempercayakan diri atau beserah diri
kepada Allah harus diiringi dengan usaha
dan perbuatan.
[15] Ma’rifah itu sebanarnya adalaha Allah
menyinari hati seorang hamba dengan
cahaya ma ’rifat yang murni, sehingga
ma’rifah bukanlah suatu yang dapat dicapai
dengan usaha manusia, melainkan dengan
pilihan Allah kepada hambanya yang
diistimewakan. Sehingga seorang hamba,
benar-benar seperti bisa mengenal Allah.
[16] Muhtar hadi, M.Si. Loc.cit. Hal.68
[17] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 229
[18] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 70
[19] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 71
[20] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 150
[21] Dikutip dari: http://
ratih1727.multiply.com/journal/item/171,
Tanggal 22 Oktober 2010
[22] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 147
[23] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 263
[24] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 74
[25] Ibid, Hal 217
[26] Ibid, Hal 217
[27] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 239
[28] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 75
[29] Hakikat atau Haqiqah adalah kebenaran
yang bersifat essensial. Makna kaqiqah
menunjukkan kebenarana esoteris yang
merupakan batas-batas dari transedensi
manusia dan teologis. Haqiqah merupakan
unsur ketiga setelah syari ’ah (hukum) yang
merupakan kenyataan eksoteris, Thariqat
(jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan
yang ketiga adalah haqiqah, yakni
kebenaran yang essensial.
[30] Loc.cit. Hal. 71
[31] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 76
[32] Ibid, Hal 141
[33] Loc.cit Hal. 77
[34] Nama sufi berlaku pada pria atau
wanita yang telah menyucikan hatinya
dangan dzikrullah, menempuh jalan
kembali kepada Allah, dan sampai pada
pengetahuan hakiki (Ma ’rifat).
[35] Maqomat secara bahasa berate
kedudukan, secara istilah adalah kedudukan
manusia dihadapan Allah yang disebabkan
oleh ibadahnya, mujahadatnya,
riyadhahnya, dan pencurahan hatinya pada
Allah.