Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Selasa, 22 November 2011

MengenalTasawuf Akhlaqi dan‘Amali

Allah menciptakan manusia di muka bumi
adalah untuk menjadi kholifah atau
pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas
dari fitrahnya ini, Allah SWT
menganugrahkan dua potensi penting
dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu.
Allah SWT memberikan akal kepada
manusia agar mereka mampu dan dapat
membedakan mana yang baik dan mana
yang benar, dalam bertindak, bertingkah
laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara
nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat
pekerjaan yang dilakukan oleh akal.
Sehingga, nafsu ini dapat menjadi nafsu
yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk
menghindar dari perbuatan-perbuatan
yang tercela dan membawa dosa, dan
nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih
untuk melakukan perbuatan-perbuatan
dosa dan salah.
Para ahli sufi memiliki pendapat bahwa
hawa nafsu dapat menjadi tabir
penghalang untuk dapat dekat dengan
Allah SWT. Hal yang seperti ini akan terjadi
ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh
hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini
akan membawa manusia cenderung
memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada
akhirnya bukanlah kenikamtan kehidupan
akherat yang dijadikan tujuan utama dalam
hidup, melainkan kenikmatan dunia lah
dijadikan tujuan utama dalam mencapai
keberhasilan hidun
Dalam kitab Ma’rifat Ghubahan Ihsanuddin
dinukilkan ungkapan para ahli sufi : Jalan-
jalan menuju Allah itu sebanyak bintang-
bintang di langit, atau sebanyak bilangan
nafas manusia. [1] Salah satu dari jalan itu
adalah dengan mengendalikan hawa nafsu.
Bila hawa nafsu ini dapat dikendalikan,
maka ia tidak akan membawa diri manusia
kedalam kesesatan. Para ahli sufi
beranggapan bahwa, dengan
mengendalikan hawa nafsu berarti
manusia tengah dalam upaya pembersihan
jiwa yang dapat menuntunnya untuk dekat
kepada Allah SWT.
Pada hakekatnya, para kaum sufi telah
membuat sebuah sistem yang tersusun
secara teratur yang berisi pokok-pokok
konsep dan merupakan inti dari ajaran
tasawuf. [2] Diantaranya adalah, Takhalli,
Tahalli, Tajalli, Munajat, Muroqobah,
Muhasabah, Syari ’at, Thariqat, dan Ma’rifat
yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf
yakni mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya.
A. TASAWUF AKHLAQI
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang
menerangkan sisi moral dari seorang
hamba dalam rangka melakukan taqorrub
kepada tuhannya, dengan cara
mengadakan Riyyadah [3] pembersihan diri
dari moral yang tidak baik, karena tuhan
tidak menerima siapapun dari hamba-Nya
kecuali yang berhati salim (terselamatkan
dari penyakit hati). [4] Isi dari ajaran
Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli,
Tajalli, Munajat, Murroqobah,
memperbanyak dzikir dan wirid,
mengingat mati, dan tafakkur.
1. Takhalli
Takhalli atau penarikan diri berati menarik
diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang
merusak hati. Definisi lain mengatakan
bahwa, Takhalli adalah membersihkan diri
sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran atau
penyakit hati yang merusak. [5] Takhalli
juga berarti mengosongkan diri sikap
ketergantungan terhadap kelezatan
duniawi. [6]
Dari definisi takhali di atas, dapat dinyatakan
bahwa takhalli ini dapat dicapai dengan
menjauhkan diri dari kemaksiatan,
kelezatan atau kemewahan dunia, serta
melepaskan diri dari hawa nafsu yang
jahat, yang kesemuanya itu adalah
penyakit hati yang dapat merusak. Menurut
kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua,
yakni maksiat lahir dan maksiat batin. [7]
Maksit lahir adalah segala bentuk maksiat
yang dilakukan atau dikerjakan oleh
anggota badan yang bersifat lahir.
Sedangkan maksiat batin adalah berbagai
bentuk dan macam maksiat yang dilakukan
oleh hati, yang merupakan organ batin
manusia.
Pada hakekatnya, maksiat batin ini lebih
berbahaya dari pada maksiat lahir. Jenis
maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh
manusia karena jenis maksiat ini adalah
jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak
seperti maksiat lahir yang cenderung
sering tersadari dan terlihat. Bahkan
maksiat batin dapat menjadi motor bagi
seorang manusia untuk melakukan maksiat
lahir. Sehingga bila maksiat batin ini belum
dibersihkan atau belum dihilangkan, maka
maksiat lahir juga tidak dapat dihilangkan.
Kelompok sufi beranggapan bahwa
penyakit-penyakti dan kotoran hati yang
sangat berbahaya tersebut dapa menjadi
hijab [8] untuk dapat dekat dengan tuhan.
Sehingga agar mudah menerima pancaran
Nur Illahi dan dapat mendekatkan diri
dengan tuhan maka hijab tersebut haruslah
dihapuskan dan dihilangkan. Yakni, dengan
berusaha membersihkan hati dari penyakit-
penyakit hati dan kotoran hati yang dapat
merusak. Upaya pembersihan hati ini dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menghayati segala bentuk ibadah,
agar dapat memahaminya secara
hakiki
2. Berjuang dan berlatih
membebaskan diri dari kekangan
hawa nafsu yang jahat dan
menggantinya dengan sifat-sifat
yang positif.
3. Menangkal kebiasaan yang buruk
dan mengubahnya dengan
kebiasaan yang baik.
4. Muhasabah, yakni koreksi
terhadap diri sendiri tentang
keburukan-keburukan apa saja
yang telah dilakukan dan
menggantinya dengan kebaikan-
kebaikan.
2. Tahalli
Secara etimologi kata Tahalli berarti berhias.
Sehingga Tahalli adalah menghiasi diri
dengan sifat-sifat yang terpuji serta
mengisi diri dengan perilaku atau
perbuatan yang sejalan dengan ketentuan
agama baik yang bersifat lahir maupun
batin. Definisi lain menerangkan bahwa
Tahalli berarti mengisi diri dengan perilaku
yang baik dengan taat lahir dan taat batin,
setelah dikosongkan dari perilaku maksiat
dan tercela. [9] Diterangkan pula bahwa
Tahalli adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap
serta perbuatan yang baik. [10]
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa
yang telah dikosongkan pada tahap
Takhalli. [11] Dengan kata lain, Tahalli adalah
tahap yang harus dilakukan setelah tahap
pembersihan diri dari sifat-sifat, sikap dan
perbuatan yang buruk ataupun tidak
terpuji, yakni dengan mengisi hati dan diri
yang telah dikosongkan aatu dibersihkan
tersebut dengan sifat-sifat, sikap, atau
tindakan yang baik dan terpuji. Dalam hal
yang harus dibawahi adalah pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik setalah jiwa
dibersihkan dan dikosongkan dari hal-hal
yang buruk bukan berarti hati harus
dibersihkan dari hal-hal yang buruk terlebih
dahulu, namun ketika jiwa dan hati
dibersihkan dari hal-hal yang bersifat kotor,
merusak, dan buruk harus lah diiringi
dengan membiasakan diri melakukan hal-
hal yang bersifat baik dan terpuji. Karena
hal-hal yang buruk akan terhapuskan oleh
kebaikan.
Pada dasarnya, jiwa manusia dapatlah
dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk
sesuai dengan kehendak manusia itu
sendiri. [12] Dengan kata lain sikap, atau
tindakan yang dicerminkan dalam bentuk
perbuatan baik yang bersifat lahir ataupun
dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah
kebiasaan dan dibentuk menjadi sebuah
kepribadian. Sehingga, pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik itu diawali
dengan melatih diri dengan melakukan hal-
hal yang baik, sehingga lama kelamaan hal-
hal yang baik tersebut akan berubah
menjadi kebiasaan, dan apabila secara
berkelanjutan dilakukan hal-hal yang baik
tersebut akan terbentuk menjadi suatu
kebiasaan.
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan
sifat-sifat Allah. Yaitu menghiasi diri dengan
sifat-sifat yang terpuji. Apa bila jiwa dapat
diisi dan dihiasi dengan sifat-sifat yang
terpuji, hati tersebut akan menjadi terang
dan tenang, sehingga jiwa akan menjadi
mudah menerima nur Illahi karena tidak
terhijab atau terhalang oleh sifat-sifat yang
tercela dan hal-hal yang buruk Hal-hal yang
harus dimasukkan, yang meliputi sikap
mental dan perbuatan luhur itu adalah
seperti taubat, sabar, kefakiran, zuhud [13],
tawakal[14], cinta, dan ma’rifah[15].[16]
3. Tajalli
Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh
oleh seorang hamba ketika ia sudah
mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli.
Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya
hijab dari sifat kemanusiaan atau
terangnya nur yang selama itu
tersembunyi atau fana segala sesuatu
selain Allah, ketika nampak wajah Allah.[17]
Tahap Tajalli di gapai oleh seorang hamba
ketika mereka telah mampu melewati tahap
Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk
menempuh tahap Tajalli seorang hamba
harus melakukan suatu usaha serta latihan-
latihan kejiwaan atau kerohanian, yakni
dengan membersihkan dirinya dari
penyakit-penyakit jiwa seperti berbagai
bentuk perbuatan maksiat dan tercela,
kemegahan dan kenikmatan dunia lalu
mengisinya dengan perbuatan-perbuatan,
sikap, dan sifat-sifat yang terpuji,
memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah,
memperbanyak ibadah dan menghiasi diri
dengan amalan-amalan mahmudah yang
dapat menghilangkan penyakit jiwa dalam
hati atau dir seorang hamba.
Tahap Tajalli tentu saja tidak hanya dapat
ditempuh dengan melakukan latihan-latihan
kejiwaan yang tersebut di atas, namun
latihan-latihan tersebut harus lah dapat ia
rubah menjadi sebuah kebiasaan dan
membentuknya menjadi sebuah
kepribadian. Hal ini berarti, untuk
menempuh jalan kepada Allah dan
membuka tabir yang menghijab manusia
dengan Allah, seseorang harus terus
melakukan hal-hal yang dapat terus
mengingatkannya kepada Allah, seperti
banyak berdzikir dan semacamnya juga
harus mampu menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dapat
membuatnya lupa dengan Allah seperti
halnya maksiat dan semacamnya.
Dapat pula diumpamakan pula bahwa,
seorang yang mencari tuhan adalah seperti
orang yang bercermin di depan sebuah
kaca besar yang kotor. Kotoran dalam
cermin itu diibaratkan sebahai sebuah hijab
yang menghalanginya untuk melihat
bayangannya dengan jelas, dan bayangan
itu diibaratkan sebagai tuhan. Untuk dapat
melihat bayangannya dengan jelas
seseorang tidak perlu memindahkan
cerminnya kekanan atau kekiri atau
membeli cermin yang baru. Melainkan,
seseorang tersebut hanya harus
membersihkan kotoran tersebut untuk
dapat melihat bayangannya dengan jelas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk
dapat membuka hijab antara manusia
dengan Allah seseorang harus mampu
membersihkan kotoran-kotaran yang
terdapat dalam jiwanya dan menggantinya
dengan perbuatan, sifat dan sikap yang
terpuji dan baik agar hatinya tidak lagi
tercemari dan terkotori oleh penyakit-
penyakit jiwa yang dapat menjadi hijab
antara seorang hamba dengan Allah.
4. Munajat
Munajat berarti melaporkan segala aktivitas
yang dilakukan kehadirat Allah SWT. [18]
Maksudnya adalah dalam munajat
seseorang mengeluh dan mengadu kepada
Allah tentang kehidupan yang seorang
hamba alami dengan untaian-untaian
kalimat yang indah diiringi dengan pujian-
pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam
suasanya yang hening teriring dengan
deraian air mata dan ungkapan hati yang
begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari
sebuah do ’a yang diungkapkan dengan
rasa penuh keridhoan untuk bertemu
dengan Allah SWT.
Menurut kaum sufi, tangis air mata itu
menjadi salah satu amal adabiyah atau ,
suatu riyadhah bagi orang sufi ketika
bermunajat kepada Allah. [19] Para kaum
sufi pun berpandangan bahwa tetesan-
tetesan air mata tersebut merupakan suatu
tanda penyeselan diri atas kesalahan-
kesalahan yang tidak sesuai dengan
kehendak Allah. Sehingga, bermunajat
dengan do ’a dan penyesalan yang begitu
mendalam atas semua kesalahan yang
diiringi dengan tetesan-tetesan air mata
merupakan salah satu cara untuk
memperdalam rasa ketuhanan dan
mendekatkan diri kepada Allah.
5. Muraqabah
Muraqabah menurut arti bahasa berasal
dari kata raqib yang berarti penjaga atau
pengawal. Muraqabah menurut kalangan
sufi mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan
dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
[20] Muroqobah juga dapat diartikan
merasakan kesertaan Allah, merasakan
keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap
waktu dan keadaan serta merasakan
kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun
ramai. [21]
Sikap muroqobah ini akan menghadirkan
kesadaran pada diri dan jiwa seseorang
bahwa ia selalu diawasi dan dilihat oleh
Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi
apapun. Sehingga dengan adanya
kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-
apa yang mereka telah lakukan dalam
kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah
sesuai dengan kehendak Allah ataukan
malah menyimpang dari apa yang di
tentukan-Nya.
Disamping itu ada satu istilah yang disebut
dengan sikap mental muqorobah, yakni
sikap selalu memandang Allah dengan
mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya, ia
pun juga menyadari bahwa Allah juga
melihatnya, mengawasinya, dan
memandangnya dengan sangat penuh
perhatian.
Ketika muroqobah dilakukan untuk
menghadirkan kemantapan hati dan
ketenangan batin seseorang dalam praktik
mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini
dikarenakan, bila sudah tertanam
kesadaran bahwa seseorang selalu melihat
Allah dengan hatinya dan ia sadar bahwa
Allah selalu memandangnya dengan penuh
perhatian maka seseorang tersebut akan
semakin mantab untuk mengamalkan dan
melakukan apa-apa yang diridloi oleh Allah
sehingga batin nya akan semakin terbuka
untuk dapat mendekatkan dirinya pada
Allah.
Sikap mental muroqobah ini dapat
digambarkan dalam sebuah cerita sufi,
yakni ketika seorang muslim yang
berjualan baju keliling diajak bersetubuh
oleh seorang wanita biarawati nasrani.
Ketika itu laki-laki muslim itu tengah
menjajakan barang dagangannya kerumah
biarawati tersebut. Kebetulan saat itu hanya
ada mereka berdua, dan tak ada orang lain
disana. Ketika itu pula seorang biarawati itu
mengajak laki-laki muslim itu untuk
bersetubuh. Dan laki-laki itupun
terpengaruh oleh godaan setan, dia berkata
“ ia saya mau”. Namun ketika laki-laki
muslim itu dan biarawati itu hampir
melakukan persetubuhan, tiba-tiba
tersadarlah dalam hati laki-laki tersebut, jika
Allah tak pernah tidur dan selalu
mengawasinya dengan penuh perhatian.
Sat itu pula laki-laki muslim itu berkata
“saya tak bisa melakukannya, saya takut
dengan Allah karna dia selalu mengawasi
saya ”. Hingga akhirnya mereka tidak jadi
bersetubuh dan laki-laki muslim itu
meninggalkan rumah itu.
6. Muhasabah
Muhasabah seringkali diartikan dengan
memikirkan, memperhatikan, dan
memperhitungkan amal dari apa-apa yang
ia sudah lakukan dan apa-apa yang ia akan
lakukan. Muhasabah juga didefinisikan
dengan meyakini bahwa Allah mengetahui
segala fikiran, perbuatan, dan rahasia
dalam hati yang membuat seseotang
menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada
Allah. [22]
Di dalam muhasabah, seseorang terus-
menerus melakukan analisis terhadap diri
dan jiwa beserta sikap dan keadaannya
yang selalau berubah-ubah. Orang
tersebut menghisab dirinya sendiri tanpa
menunggu hingga hari hari kebangkitan.
Dalam muhasabah hal-hal yang perlu
dipaerhatikan adalah menghisab tentang
kebajikan dan kewajiban yang sudah
dilaksanakan dan seberapa banyak maksiat
yang sudah dilaksanakan. Apabila
kemaksiatan lebih banyak dilakukan, maka
orang tersebut harus menutupnya dengan
kebaikan-kebaikan diringi dengan taubatan
nasuha.
Dengan demikian sikap mental muhasabah
dalah salah satu sikap mental yang harus
ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat
meningkatkan kualitas keimanan kita
terhadap Allah SWT. Sehingga sikap
mental ini akan dapat meningkatkan
kualitas ibadah kita kepada Allah SWT, dan
membukakan jalan untuk menuju kepada
Allah SWT.
B. TASAWUF ‘AMALI
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang
membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah. [23]
Terdapat beberapa istilah praktis dalam
Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat,
dan Ma’rifat.
1. Syari’at dan Thariqat
Secara umum syaria’t adalah segala
ketentuan agama yang sudah ditetapkan
oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-
orang sufi, syari ’at itu ialah amal ibadah
lahir dan urusan muamalat mengenai
hubungan antara manusia dengan
manusia. [24] Definisi lain mengatakan
bahwa Syari’at adalah kualitas amal lahir –
formal yang ditetapkan dalam ajaran
agama melalui Al-qur ’an dan sunnah.[25]
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa syari’at
adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya
menyentuh aspek lahir manusia dan tidak
menyentuh aspek batin manusia.
Ath-Thusi dalam Al-Luma’ mengatakan
bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang
mengandung dua pengertian, yaitu
riwayah dan dirayah yang berisikan
amalan-amalan lahir dan batin. [26]
Selanjutnya yang perlu dipahami adalah
bahwa apabila syari ’at di artikan sebagai
ilmu yang riwayah adalah segala macam
hukum teoritis yang termaktub dan terurai
dalam ilmu fiqih yakni ilmu-ilmu teoritis
yang bersifat lahiriah. Sebaliknya, apabila
syari ’at diartikan sebagai ilmu yang dirayah
maka makna dari syari’at itu adalah makna
batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat
disebut dengan makna hakikat dari ilmu
fiqih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan
dengan para fuqaha dan sufi yang memiliki
perbedaan pandangan, syari ’at yang
bersifat riwayah adalah macam ilmu yang
disebut dengan fiqih, yakni ilmu yang
menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan
syari ’at yang berkonotasi dirayah adalah
ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu
tasawuf yakni ilmu yang cenderung
menyentuh aspek batiniah.
Mengenai syari’at ini para ahli sufi lebih
menekankan pada aspek hakekat atau
makna batiniah dari dari ilmu lahiriah
(syari ’at) ketimbang para ahli fiqih yang
hanya menekankan pada aspek lahiriyah
saja. Memang pada dasarnya syari ’at
adalah simbol hukum yang mengatur
kehidupan agama yang bersifat lahiriyah.
Namun menurut para sufi hal ini tidak
berkaitan dengan kenyataan batin.
Kenyataan batin dan iman itu diluar
jangkauan dari syari ’at (ilmu yang bersifat
lahiriah) dan hal ini hanya dapat dilihat dan
dimengerti dengan jalan sufi. Menurut
keyakinan sufi, seseorang akan mencapai
hakikat suatu ibadah apabila mereka telah
menempuh jalan yang menuju pada
hakikat tersebut, yakni thariqat.
Thariqat menurut istilah tasawuf adalah
jalan yang harus ditempuh oleh seorang
sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat
mungkin dengan tuhan. [27] Thariqat
adalah jalan yang ditempuh para sufi dan
digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syari ’at, sebab jalan utama
disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut
dengan thariq.[28] Oleh sebab itu dapat
disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang
dari syari ’at yang merupakan pangkal dari
suatu ibadah. Hal ini dapat pula
digambarkan bahwa tidak mungkin adanya
suatu ibadah yang dilakukan tanpa adanya
perintah yang mengikat. Sehingga untuk
menempuh anak jalan yang menuntun
kepada hakikat tujuan ibadah harus
mengerti terlebih dahulu akar atau pangkal
dari jalan tersebut, yaitu syari ’at (landasan
hukum). Sehingga dapat digambarkan
bahwa jalan-jalan tersebut terbagi kedalam
tiga batasan antara manusia dan teologis,
yakni syari ’at, thariqat dan hakikat[29].
Dalam hal ini, terdapat pepatah sufi yang
mengatakan “untuk mencapai haqiqah (inti)
anda harus mampu menghancurkan kulit”.
[30] Yakni makna essensial melebihi
makna-makna yang bersifat eksotoris dan
tidak dapat direduksikan dalam bentuk
luaran yang bersifat eksotoris.
2. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu,
‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan,
pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat
adalah kumpulan ilmu pengetahuan,
perasaan, pengalaman, amal dan ibadah
kepada Allah SWT. [31] Dalam istilah
tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang
sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang
diperoleh melalui sanubari.
Al-Ghazali secara terperinci
mengemukakan pengertian ma’rifat
kedalam hal-hal berikut:
1. Ma’rifat adalah mengenal rahasia-
rahasia Allah dan aturan-aturan-
Nya yang melingkupi seluruh
yang ada;
2. Seseorang yang sudah sampai
pada ma ’rifat berada dekat
dengan Allah, bahkan ia dapat
memandang wajahnya;
3. Ma’rifat datang sebelum
mahabbah.[32]
Sebagian besar para sufi mengatakan
bahwa ma ’rifat adalah puncak dari tasawuf,
yakni mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya. Oleh karena itu, para sufi
berkeyakinan bahwa setiap orang yang
menempuh jalan tasawuf dan
mengamalkannya dengan sungguh-
sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan
tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya, yakni ma ’rifat.
Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat
adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di
diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak
dapat didapat lewat usaha manusia. [33] Hal
ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh
tuhan kepada hambanya yang
diistimewakan atau dipilih melalui
ketakwaan, kesalehan dan sufi [34]. Untuk
mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus
menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan
yang kotor dan memperbaiki diri dengan
sebaik-baiknya serta melakukan pendakian
tingkatan-tingkatan rohani yang disebut
dengan maoqamat [35] yang mana tujuan
akhir dari pendakian tersebut adalah
ma ’rifat yakni mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus
Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit
AMZAH.
Drs. Asmaran As., M.A. 1996. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.kawulagusti.blogspot.com/…/
isi-pokok-ajaran-tasawuf.html
http://
www.meetabied.wordpress.com/2010/02/20
ilmu-tasawuf/
http://www.ratih1727.multiply.com/
journal/item/171.html
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu
Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf.
Yogyakarta: Aura Media.
Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada. Hal. 40-41
[2] Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami
Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu
Tasawuf”. Yigyakarta : Aura Media. Hal 65.-
[3] Riyyadah diartikan sebagai latihan-
latihan mistik, latihan kejiwaan dengan
upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya
seperti perbuatan-perbuatan yang tercela
baik yang batin maupun yang lahir yang
merupakan penyakit hati yang sangat
berbahaya.
[4] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus
Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit
AMZAH. Hal. 263
[5] Ibid. Hal.233.
[6] Ibid, Hal 233.
[7] Ibid, Hal.233.
[8] Hijab menurut bahassa artinya adalah
kerudung, tirai, atau tabir. Pengertian Hijab
menurut istilah adalah segala sesuatu dari
diri manusia yang menyembunyikan dan
menutupi Allah. Hijab juga seringkali
dipahami sebagai dinding penghalang yang
membuat manusia tidak bisa berhubungan
dengan tuhan.
[9] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit Hal. 67
[10] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Op.cit. Hal. 227
[11] Ibid, Hal 227
[12] Ibid, Hal 227
[13] Zuhud adalah mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah.
Mengosongkan bukan berarti benar-benar
tidak menginginkan dunia, melainkan lebih
mementingkan kehidupan akherat
dibandingkan dunia.
[14] Tawakal biasa diartikan sebagai sikap
bersandar dan mempercayakan diri kepada
Allah. Tawakal tidak berarti beserah diri
tanpa ada usaha, melainkan
mempercayakan diri atau beserah diri
kepada Allah harus diiringi dengan usaha
dan perbuatan.
[15] Ma’rifah itu sebanarnya adalaha Allah
menyinari hati seorang hamba dengan
cahaya ma ’rifat yang murni, sehingga
ma’rifah bukanlah suatu yang dapat dicapai
dengan usaha manusia, melainkan dengan
pilihan Allah kepada hambanya yang
diistimewakan. Sehingga seorang hamba,
benar-benar seperti bisa mengenal Allah.
[16] Muhtar hadi, M.Si. Loc.cit. Hal.68
[17] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 229
[18] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 70
[19] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 71
[20] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 150
[21] Dikutip dari: http://
ratih1727.multiply.com/journal/item/171,
Tanggal 22 Oktober 2010
[22] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 147
[23] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 263
[24] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 74
[25] Ibid, Hal 217
[26] Ibid, Hal 217
[27] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs.
Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 239
[28] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 75
[29] Hakikat atau Haqiqah adalah kebenaran
yang bersifat essensial. Makna kaqiqah
menunjukkan kebenarana esoteris yang
merupakan batas-batas dari transedensi
manusia dan teologis. Haqiqah merupakan
unsur ketiga setelah syari ’ah (hukum) yang
merupakan kenyataan eksoteris, Thariqat
(jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan
yang ketiga adalah haqiqah, yakni
kebenaran yang essensial.
[30] Loc.cit. Hal. 71
[31] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 76
[32] Ibid, Hal 141
[33] Loc.cit Hal. 77
[34] Nama sufi berlaku pada pria atau
wanita yang telah menyucikan hatinya
dangan dzikrullah, menempuh jalan
kembali kepada Allah, dan sampai pada
pengetahuan hakiki (Ma ’rifat).
[35] Maqomat secara bahasa berate
kedudukan, secara istilah adalah kedudukan
manusia dihadapan Allah yang disebabkan
oleh ibadahnya, mujahadatnya,
riyadhahnya, dan pencurahan hatinya pada
Allah.

Rabu, 27 Juli 2011

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI)VIII.TANDA2 CINTA KEPADA ALLOH TERJEMAHAN KITAB KIMY ATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI)VIII.TANDA2 CINTA KEPADA ALLOH

TANDA-TANDA
CINTA KEPADA ALLOH
Ramai orang berkata ia Cinta kepada Alloh
Subhanahuwa Taala. Perkataan itu hendaklah diuji
terlebih dahulu adakah yang murni atau hanya
palsu.
Ujian pertama adalah : Dia hendaklah tidak benci
kepada mati karena tidak ada orang yang enggan
bertemu dengan sahabatnya.
Nabi Muhammad saw bersabda :
“Siapa yang ingin melihat Alloh, Alloh ingin
melihat dia.”
Memang benar ada juga orang yang ikhlas
cintanya kepada Alloh berasa gentar apabila
mengingat kedatangan mati sebelum ia siap
menyiapkan persediaan untuk pulang ke akhirat,
tetapi jika betul-betul ikhlas dia akan bertambah
rajin berusaha lagi untuk menyiapkan persediaan
itu.
Ujian kedua adalah : ia mestilah bersedia
mengorbankan kehendaknya untuk menurut
kehendak Alloh dan dengan daya upaya yang ada
menghampirkan diri kepada Alloh dan benci
kepada apa saja yang menjauhkan dirinya
dengan Alloh. Dosa yang dilakukan oleh
seseorang itu bukanlah bukti ia tidak cinta kepada
Alloh langsung tetapi itu membuktikan yang ia
tidak menyintai Alloh sepenuh jiwa raganya.
Fudhoil bin Iyadh seorang wali Alloh berkata
kepada seorang lelaki :
“Jika seseorang bertanya kepada mu apakah
kamu cinta kepada Alloh? hendaklah kamu diam
karena jika kamu kata: “Saya tidak cinta
kepadaNya”, maka kamu kafir dan jika kamu
berkata, “Saya cinta”, maka perbuatan kamu
berlawanan dengan katamu.”
Ujian yang ketiga adalah : ingat kepada Alloh itu
mestilah sentiasa ada dalam hati manusia itu
tanpa ditekan atau direkayasa kebenarannya,
karena apa yang kita cinta itu mestilah sentiasa
kita ingat. Sekiranya cinta itu sempurna, ia tidak
akan lupa yang dicintainya itu. Ada juga
kemungkinan bahwa sementara cinta kepada
Alloh itu tidak mengambil tempat yang utama
dalam hati seseorang itu, maka cinta kepada
menyintai Alloh itu mungkin mengambil tempat
juga, karena cinta itu satu hal dan cinta kepada
cinta itu adalah satu masalah yang lain pula.
Ujian yang keempat adalah : kemudian
menunjukkan adanya cinta kepada Alloh ialah
bahwa seseorang itu cinta kepada Al-Quran,
yaiitu Kalam Alloh, dan cinta kepada Muhammad
yaitu Rasul Alloh. Jika cintanya benar-benar kuat,
ia akan cinta kepada semua orang karena semua
manusia itu adalah hamba Alloh. Bahkan cintanya
meliputi semua makhluk, karena orang yang
kasih atau cinta kepada seseorang itu tentulah
kasih pula kepada kerja-kerja yang dibuat oleh
kekasihnya itu dan cintanya juga kepada tulisan
atau karangannya.
Ujian yang kelima adalah : ia suka duduk
bersendirian untuk maksud beribadat dan ia suka
malam itu cepat datang agar dapat berbicara
dengan rekan atau sahabatnya tanpa ada yang
menggangu. Jika ia suka berbual-bual di siang
hari dan tidur di malam hari maka itu
menunjukkan cintanya tidak sempurna. Alloh
berfirman kepada Nabi Daud :
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-
orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat lalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”.
Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya;
maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu
menyungkur sujud dan bertobat”. (Shaad:24)
Pada hakikatnya, jika cinta kepada Alloh itu benar-
benar mengambil tempat seluruhnya didalam hati
seseorang itu, maka cintanya kepada yang lain itu
tidak akan dapat mengambil tempat langsung ke
dalam hati itu. Seorang dari Bani Israel telah
menjadi kebiasaan sembahyang di malam hari.
Tetapi apabila melihat burung bernyanyian di
sebatang pohon dengan merdu sekali, dia pun
sembahyang di bawah pohon itu supaya dapat
menikmati nyanyian burung itu. Alloh menyuruh
Nabi Daud pergi berjumpa dia dan berkata :
“Engkau telah mencampurkan cinta kepada
nyanyian burung dengan cinta kepadaKu,
Martabat engkau di kalangan Auliya’ Alloh telah
diturunkan,”
Sebaliknya ada pula orang yang terlalu cinta
kepada Alloh, suatu hari sedang ia melakukan
ibadatnya kepada Alloh rumahnya telah terbakar,
tetapi ia tidak tahu dan sadar rumahnya terbakar.
Ujian yang keenam adalah : ibadahnya menjadi
senang sekali. Seorang Wali Alloh ada berkata :
“Dalam tiga puluh tahun yang pertama saya
melakukan sembahyang malam dengan susah
payah sekali, tetapi tiga puluh yang kedua
sembahyang itu menjadi indah dan nikmat pula
kepada saya.” Apabila cinta kepada Alloh itu
sempuna, maka tidak ada keindahan yang
sebanding dengan keindahan beribadah.
Ujian yang ke ketujuh adalah : Orang yang cinta
kepada Alloh itu akan cinta kepada mereka yang
taat kepada Alloh dan mereka benci kepada
orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka
kepada Alloh.
Al-Quran menyatakan :
” Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu
ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan)
kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-
orang yang mengikuti jalan yang
lurus, .” (Hujurat:7)
Suatu masa, Nabi bertanya kepada Alloh, “Wahai
Tuhan, siapakah kekasihmu?” Terdengarlah
jawaban,
“Siapa yang berpegang teguh kepadaKu seperti
bayi dengan ibunya, mengambil perlindungan
dengan MengingatiKu seperti burung mencari
perlindungan disarangnya, dan yang marah
melihat dosa seperti singa yang marah yang tidak
takut kepada apa dan siapa pun.

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI) VII.MEMERIKSA DIRI SENDIRI DAN MENGINGAT ALLOH

MEMERIKSA DIRI SENDIRI & MENGINGAT ALLOH
Ketahuilah wahai saudaraku, dalam Al-Qur’an
Alloh berfirman, lebih kurang maksudnya,
” Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya
dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya
diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan
mereka, Barang siapa yang mengerjakan
kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan) nya. ” (Al Zalzalah:6-7)
Tercantum juga dalam Al-Qur’an firman yang
berbunyi sebagai berikut :
” maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang
telah dikerjakannya. ” (At Takwir:14).
Khalifah Umar ada berkata, ” perhitunglah dirimu
sebelum engkau diperhitungkan”.
Alloh SWT berfirman :
” Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.
“.
Wali-wali Alloh sentiasa mengetahui bahwa
manusia datang ke dunia ini untuk menjalankan
pengembaraan keruhanian, yang akibatnya ialah
untung atau rugi dan tujuannya adalah neraka
atau syurga. Senantiasalah mereka itu
berwaspada terhadap kehendak-kehendak
jasamaniah (tubuh) yang diibaratkan sebagai
rekan dalam bisnis yang bersifat jahat dan ada
kalanya mendatangkan kerugian kepada bisnis itu.
Sebenarnya orang yang bijak itu adalah orang
yang mau merenung sebentar selepas
sembahyang subuh memikirkan hal dirinya dan
berkata kepada jiwanya :
“Wahai jiwaku, engkau hanya hidup sekali. Tiap-
tiap saat yang berlalu tidak akan datang lagi dan
tidak akan dapat diambil kembali kerena di Hadirat
Alloh Subhanahuwa Taala, bilangan nafas turun
naik yang dikurniakan kepada engkau itu telah
ditetapkan dan tidak boleh ditambah lagi. Inilah
perjalanan hidup dalam dunia hanya sekali, tidak
ada kali yang kedua dan seterusnya. Oleh itu, apa
yang engkau hendak perbuat, buatlah sekarang.
Anggaplah seolah-olah hidupmu telah berakhir,
dan hari ini adalah hari tambahan yang diberi
kepada engkau karena karunia Alloh
Subhanahuwa Taala juga. Alangkah ruginya
membiarkan hari ini berlalu dengan sia-sia. Tidak
ada yang lebih rugi dari itu lagi.”
Di hari berbangkit di akhirat kelak, seseorang itu
akan melihat semua waktu hidupnya di dunia ini
tersusun seperti susunan peti harta dalam satu
barisan yang panjang.
Pintu sebuah daripada peti itu terbuka dan
kelihatanlah penuh dengan cahaya: Ini
menunjukkan waktu yang dipenuhinya dengan
membuat amalan yang sholeh. Hatinya akan
terasa indah dan bahagia sekali, bahkan sedikit
saja rasa bahagia itu pun sudah cukup membuat
penghuni neraka melupakan api neraka yang
bernyala itu.
Kemudian peti yang kedua terbuka, maka
terlihatlah gelap gelita di dalamnya. Dari situ
keluarlah bau busuk yang amat sangat hingga
orang terpaksa menutup hidungnya: Ini
menunjukkan waktu yang dipenuhinya dengan
amal maksiat dan dosa. Maka akan dirasainya
azab yang tidak terhingga bahkan sedikit saja pun
dari azab itu sudah cukup menggusarkan ahli
syurga.
Selepas itu terbuka pintu peti yang ketiga, dan
kelihatanlah kosong saja, tidak ada gelap dan tidak
ada cahaya di dalamnya: Inilah melambangkan
waktu yang dihabiskannya dengan tidak
membuat amalan sholeh dan tidak juga
membuat amalan maksiat dan dosa. Ia akan
merasa sesal dan tidak tentu arah seperti orang
yang ada mempunyai harta yang banyak
membiarkan hartanya terbuang dan lepas begitu
saja dengan sia-sia.
Demikianlah seluruh waktu yang dijalannya itu
akan dipamerkan kepadanya satu persatu. Oleh
karena itu, seseorang itu hendaklah berkata
kepada jiwanya tiap-tiap pagi :
“Alloh telah mengkaruniakan engkau dua puluh
empat jam peti harta. Berhati-hatilah
mengawasinya supaya jangan kehilangan, karena
engkau tidak akan boleh menanggung rasa sesal
yang amat sangat jika engkau kehilangan harta
itu”.
Aulia Alloh ada berkata,
“Walaupun sekiranya Alloh mengampuni kamu,
setelah hidup disia-siakan, kamu tidak akan
mencapai derajat orang-orang yang Sholeh dan
pasti kamu akan meratapi dan manangisi
kerugianmu itu. Oleh itu jagalah lidahmu,
matamu dan tiap-tiap anggota mu yang tujuh itu
kerena semua itu mungkin menjadi pintu untuk
menuju ke Neraka”.
Katakanlah kepada tubuhmu; “Jika kamu
memberontak, sesungguhnya kamu akan
kuhukum”, karena meskipun tubuh itu kotor, ia
boleh menerima arahan dan boleh dijinakkan
dengan zuhud”. Demikianlah tujuan memeriksa
atau memperhitung diri sendiri.
Nabi Muhammad SAW. pernah bersabda :
“Berbahagialah orang yang beramal sekarang apa
yang menguntungkannya di akhirat kelak”.
Maka sekarang kita masuk pula kepada bagian
yang berhubungan dengan Zikirulloh
(mengenang atau mengingat Alloh). Manusia itu
hendaklah ingat bahwa Alloh Melihat dan
Memperhatikan semua tingkah laku dan
pikirannya. Manusia hanya melihat yang zhohir
saja, tetapi Alloh Melihat zhohir dan batinnya
manusia itu. Orang yang percaya dengan ini
sebenarnya dapatlah ia menguasai dan
mendisiplinkan zhohir dan bathinnya.
Jika ia tidak percaya ini, maka KAFIRLAH ia. Jika ia
percaya tetapi ia bertindak berlawanan dengan
kepercayaan itu, maka salah besarlah ia.
Suatu hari, seorang Negro menemui Nabi SAW.
dan berkata; “Wahai Rasulullah! Saya telah
melakukan banyak dosa.
Adakah taubatku diterima atau tidak?”. Nabi SAW.
menjawab; “Ya”. Kemudian Negro itu berkata lagi,
“Wahai Rasulullah! Setiap kali aku membuat dosa
adakah Alloh Melihatnya?”. Nabi SAW. menjawab
lagi; “Ya”
Negro itu pun menjerit lalu mati. Sehingga
seseorang itu benar-benar percaya bahwa ia
sentiasa dalam perhatian Alloh, maka tidaklah
mungkin baginya membuat amalan yang baik-
baik.
Seorang Sheikh ada seorang murid yang lebih
disayanginya daripada murid-murid yang lain.
Dengan itu murid-murid yang lain itu pun berasa
dengki kepada murid yang seorang itu. Suatu hari
Sheikh itu memberi kepada tiap-tiap murid itu
seekor ayam dan menyuruh mereka
menyembelih ayam itu di tempat yang tidak ada
seseorang pun melihat ia menyembelih itu. Maka
pergilah mereka tiap-tiap murid membawa
seekor ayam ke tempat yang sunyi dan
menyembelih ayam di situ. Kemudian
membawanya kembali kepada Sheikh mereka.
Semuanya membawa ayam yang telah
disembelih kepada Sheikh mereka kecuali seorang
yaitu murid yang lebih disayangi oleh Sheikh itu.
Murid yang seorang ini tidak menyembelih ayam
itu.
Ia berkata; “Saya tidak menjumpai tempat yang
dimaksudkan itu kerena Alloh di mana-manapun
Melihat”.
Sheikh itu pun berkata kepada murid-murid yang
lain: “Sekarang sekelian telah lihat sendiri derajat
pemuda ini. Dia telah mencapai ke taraf ingat
sentiasa kepada Alloh”.
Apabila Zulaiha coba menggoda Nabi Yusuf , ia
menutup dengan kain muka sebuah berhala yang
selalu disimpannya.
Nabi Yusuf berkata kepadanya :
“Wahai Zulaiha, adakah kamu malu dengan batu?
sedangkan dengan batu engkau malu, betapa aku
tidak malu dengan Alloh yang menjadikan tujuh
petala langit dan bumi”.
Ada seorang datang berjumpa dengan Sheikh
dan berkata; “Saya tidak dapat menghindarkan
mataku dari hal-hal yang membawa dosa.
Bagaimanakah saya hendak mengawalnya?”.
Sheikh menjawab; “Dengan cara mengingat Alloh
Melihat kamu lebih jelas dan terang lagi daripada
kamu melihat orang lain”.
Dalam hadis ada diterangkan bahwa Alloh ada
berfirman seperti demikian;
“Syurga itu adalah bagi mereka yang bersabar
hendak membuat suatu dosa, dan kemudian
mereka ingat bahwa Aku sentiasa Memandang
mereka, lalu mereka pun menahan diri mereka”.
Abdullah Ibnu Dinar meriwayatkan;
“Satu ketika saya berjalan dengan Khalifah Omar
menghampiri kota Mekah. Kami bertemu dengan
seorang gembala yang sedang membawa
gembalaannya.
Omar berkata kepada gembala itu : “Jualkan pada
saya seekor kambing itu”. Gembala itu
menjawab; “Kambing itu bukan saya punya, tuan
saya yang mempunyainya.” Kemudian untuk
mencobanya,
Omar berkata; “Baiklah, kamu katakanlah kepada
tuanmu bahwa yang seekor itu telah dimakan
oleh serigala” . Budak gembala itu menjawab;
“Tidak, sesungguhnya tuan saya tidak tahu tetapi
Alloh Mengetahuinya”.
Mendengar jawapan budak gembala itu,
bertetesanlah air mata Omar. Beliau pun pergi
berjumpa dengan tuan budak gembala kambing
itu lalu membelinya dan membebaskannya.
Beliau berkata kepada budak itu : “Karena kata-
katamu itu, engkau bebas dalam dunia dan akan
bebas juga di akhirat kelak”.
Ada dua derajat berkenaan Zikir Alloh
(mengenang Alloh) ini. Derajat pertama ialah
derajat Aulia Alloh. Mereka bertafakur dan
tenggelam dalam tafakur mereka dalam
mengenang Keagungan dan Kemuliaan Alloh. dan
tidak ada tempat langsung dalam hati mereka
untuk ‘gairuLlah” (selain dari Alloh). Ini adalah
derajat zikir Alloh yang bawah, karena apabila hati
seseorang itu telah tetap dan anggotanya
dikontrol penuh oleh hatinya hingga mereka
dapat mengawal mereka dari hal-hal yang halal
pun, maka tidak perlulah lagi ia menyediakan alat
atau penahan untuk menghalangi dosa.
Maka kepada zikir Alloh seperti inilah Nabi
Muhammad (S.W.T) maksudkan apabila ia
berkata,
“Orang yang bangun pagi-pagi dengan hanya
Alloh dalam hatinya, Alloh akan memeliharanya
didunia dan diakhirat.”
Setengah daripada mereka golongan ini sangat
asyik dan tenggelam dalam mengenang dalam
mengingati Alloh hingga kalau ada orang
berbicara kepada mereka tidaklah mereka dengar,
kalau orang berjalan dihadapan mereka tidaklah
mereka nampak. Mereka seolah-olah diam seperti
dinding. Seseorang Wali Alloh berkata : “Suatu
hari saya melintasi tempat ahli-ahli pemanah
sedang bertanding memanah. Tidak berapa jauh
dari situ ada seorang duduk seorang diri. Saya
pergi kepadanya dan coba hendak berbicara
dengannya.
Tetapi ia menjawab, “Mengenang Alloh itu lebih
baik dari berbicara”.
Saya bertanya, “tidakkah kamu merasa kesepian?”
“Tidak” jawabnya, “Alloh dan dua orang malaikat
ada bersamaku” .
Saya bertanya kepada beliau sambil menunjukkan
kepada pemanah-pemanah itu, “Antara mereka
itu, yang manakah akan menang?”
Beliau menjawab, “Yang itu, Alloh telah beri
kemenangan kepadanya.”
Kemudian saya bertanya, “dari manakah kamu
tahu ?”
Mendengar itu, ia merenung ke langit lalu berdiri
dan pergi sambil berkata, “Oh Tuhan! Banyak
hamba-hambamu mengganggu seorang yang
sedang mengingatimu!”
Seorang wali Alloh bernama Syubli satu hari pergi
berjumpa seorang sufi bernama Thauri. Beliau
lihat Thauri duduk dengan berdiam diri dalam
tafakkur hingga sehelai bulu romanya pun tidak
bergerak.
Syubili bertanya kepada Thauri, “Kepada siapa
anda belajar latihan bertafakkur dengan diam diri
seperti itu?” Thauri menjawab, “Dari seekor
kucing yang saya lihat menunggu di depan
lubang tikus. Kucing itu akan lebih diam dari apa
yang saya lakukan ini.”
Ibn Hanif meriwayatkan:
“Saya diberitahu bahwa di Bandar Thur ada
seorang Syeikh dan muridnya sentiasa duduk
dan tenggelam dalam zikir Alloh. Saya pergi ke
situ dan saya dapati kedua orang itu duduk
dengan muka mereka menghadap ke kiblat. Saya
memberi salam kepada mereka tiga kali. Tetapi
mereka tidak menjawab. Saya berkata, “Dengan
nama Alloh saya minta tuan-tuan menjawab
salamku”. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan
menjawab,
“Wahai Ibn Hanif! dunia ini untuk sebentar waktu
saja, dan yang sebentar itupun tinggal sedikit
saja. Anda mengganggu kami karena meminta
kami menjawab salammu itu”.
Kemudian dia menundukkan kepalanya lagi dan
terus berdiam diri. Saya rasa lapar dan dahaga
pada masa itu, tetapi dengan memandang
mereka itu saya lupa pada diri saya. Saya terus
bersama mereka dan sembahyang Dhuhur dan
Ashar bersama mereka. Saya minta mereka
memberi nasihat kepada saya berkenaan
kerohanian ini.
Pemuda itu menjawab, ” Wahai Ibni Hanif, kami
merasa susah, kami tidak ada lidah untuk
memberi nasihat itu.” Saya terus berdiri di
sepertiga malam. Kami tidak berbicara antara satu
sama lain, dan tidak tidur. Kemudian saya berkata
kepada diri saya sendiri, saya akan mohon
kepada Alloh supaya mereka menasihati saya.”
Pemuda itu mengangkat kepalanya dan berkata,
“Pergilah cari orang seperti itu, ia akan dapat
membawa Alloh kepada ingatan anda dan
melengkapkan rasa takut kepada hatimu, dan ia
akan memberi anda nasihat yang disampaikan
secara diam tanpa berbicara sembarangan.”
Demikianlah dzikir Alloh para Aulia yaitu
melenyapkan dan menenggelamkan pikiran dan
khayalan dalam Mengenang Alloh. Zikir
Mengenang Alloh (dzikir Alloh) yang kedua ialah
dzikirnya “golongan kanan” yaitu yang disebut
dalam Quran sebagai Ashabul Yamin. Mereka ini
tahu dan kenal bahwa Alloh sangat mengetahui
terhadap mereka dan mereka merasa tunduk dan
tawaduk di Hadirat Alloh SWT tetapi tidaklah
sampai mereka melenyapkan dan
menenggelamkan pikiran dan khayalan mereka
dalam mengenang Alloh saja sehingga tidak
peduli keadaan keliling mereka. Mereka sadar diri
mereka dan sadar terhadap alam ini. Keadaan
mereka adalah seperti seorang yang terkejut
karena didapati dalam keadaan telanjang dan
cepat-cepat menutup aurat mereka.
Golongan yang satu lagi adalah seperti orang
yang tiba-tiba mendapati diri mereka di majlis raja
yang besar lalu ia merasa tidak tentu arah dan
merasa takjub.
Golongan yang mula-mula itu memeriksa terlebih
dahulu apa yang memasuki hati mereka dengan
rapi sekali, karena di hari kiamat kelak tiga
persoalan akan ditanya terhadap tiap-tiap
perbuatan. Dan tindakan yang telah dilakukan.
Pertama: “Kenapa kamu membuat ini?” ,
Kedua: “Dengan cara apa kamu membuat ini?”,
dan
Ketiga: “Untuk tujuan apa kamu melakukan ini?”.
Yang pertama itu dipermasalahkan karena
seseorang itu hendaklah bertindak dari niat dan
dorongan Ketuhanan dan bukan dorongan
Syaitan dan hawa nafsu.
Jika masalah itu dijawab dengan memuaskan hati,
maka diadakan ujian kedua yaitu masalah
bagaiman tindakan itu dilakukan dengan bijak,
dengan cara baik, atau dengan cara tidak peduli
atau tidak baik.
Yang ketiga, adanya perbuatan dan tindakan itu
karena Alloh semataa atau bukan karena hendak
disanjung oleh manusia.
Jika seseorang itu memahami makna dari
masalah masalah ini, maka ia tentu berhati-hati
sekali terhadap keadaan hatinya dan bagaimana ia
melawan pikiran yang mungkin menimbulkan
tindakannya. Sebenarnya memilih dan menapis
pikiran dan khayalan itu sangatlah susah dan
rumit.
Barangsiapa yang tidak sanggup membuatnya
hendaklah pergi berguru dengan orang-orang
keruhanian. Mengaji dan berguru dengan mereka
itu dapat mendatangkan cahaya ke dalam hati. Dia
hendaklah menjauhkan diri dari orang-orang alim
kedunian kerena mereka ini adalah alat atau ujian
syaitan.
Alloh berfirman kepada Nabi Daud a.s.;
” Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan. “. (Shaad:26)
Nabi Muhammad SAW. pernah bersabda;
“Alloh kasih kepada orang yang tajam matanya
terhadap hal-hal yang menimbulkan syak-
wasangka dan tidak membiarkan akalnya
diganggui oleh serangan hawa nafsu”.
Akal dan pilihan sangat berkaitan, dan orang yang
akalnya tidak menguasai hawa nafsu tidak akan
dapat memilih yang baik dari yang jahat.
Disamping membuat pilihan dan berhati-hati
sebelum bertindak, maka seseorang itu hendaklah
menghitung dan menyadari apa yang telah
dilakukannya dahulu. Tiap-tiap malam periksalah
dengan hati dan lihatlah apa yang telah dilakukan
dan sama adanya untung atau rugi dalam bisnis
keruhaniaan ini. Ini adalah penting karena hati itu
ibarat rekan dalam berbisnis yang jahat yang
senantiasa hendak menipu dan menjilat. Kadang-
kadang ia menunjukkan diri jahatnya itu.
Sebaliknya topeng taat kepada Alloh, agar
manusia menganggap ia telah beruntung tetapi
sebenarnya ia telah rugi.
Seorang Wali Alloh bernama Amiya yang
berumur 60 tahun telah menghitung berapa hari
umurnya. Maka didapati umurnya ialah selama
21, 600 hari.
Beliau berkata kepada dirinya sendiri :
“Aduhai! jika saya telah melakukan satu dosa
dalam sehari, bagaimana saya hendak lari dari
beban 21, 600 dosa?”.
Beliau menjerit dan terus rebah. Apabila orang
datang hendak mengangkatkannya, mereka telah
mendapati beliau telah meninggal dunia. Tetapi
malang , kebanyakan orang telah lupa. Mereka
tidak memperhitung diri mereka sendiri. Jika tiap-
tiap satu dosa itu diibaratkan sebiji batu, maka
penuhlah sebuah rumah dengan batu itu. Jika
malaikat Kiraman Kaatibin meminta gaji karena
menulis dosa yang telah manusia lakukan, maka
tentulah habis uangnya bahkan tidak cukup untuk
membayar gaji mereka itu. Orang berpuas hati
membilang biji tasbih sambil berzikir nama Alloh,
tetapi mereka tidak ada biji tasbih untuk mengira
berapa banyak percakapan sia-sia yang telah
diucapkannya. Oleh karena itulah, Khalifah Omar
berkata :
“Timbanglah perkataan dan perbuatanmu
sekarang sebelum ia dipertimbangkan di akhirat
kelak”.
Beliau sendiri sebelum pergi tidur malam hari
memukul kakinya dengan cambuk sambil
berkata : “Apa yang telah engkau lakukan hari
ini?”.
Suatu hari Thalhah sedang sembahyang di
bawah pohon-pohon kurma dan terlihat olehnya
seekor burung yang jinak berterbangan di situ.
Karena memandang burung itu beliau terlupa
berapa kalikah beliau sujud. Untuk menghukum
dirinya karena kelalaian itu, beliau pun memberi
pohon-pohon khurma itu kepada orang lain.
Aulia Alloh mengetahui hawa nafsu mereka itu
selalu membawa kepada kesesatan. Oleh itu
mereka berhati-hati benar dan menghukum diri
mereka setiap kali mereka telah melanggar batas.
Jika seseorang itu mendapati diri mereka telah
terjauh dan menyeleweng dari sifat zuhud dan
disiplin diri, maka sepatutnya beliau belajar dan
meminta nasihat dari orang yang pakar dalam
latihan keruhanian, supaya hati mereka lebih
bersemangat kepada sifat zuhud, disiplin diri dan
akhlak yang suci itu.
Seorang Wali Alloh pernah berkata,
“Apabila saya berasa merosot dalam disiplin diri,
saya akan melihat Muhammad bin Abu Wasi, dan
melihat beliau itu bersemagatlah hatiku sekurang-
kurangnya seminggu”.
Jika seseorang itu tidak mendapati seseorang
yang zuhud di sekitarnya, maka indahlah
mengkaji riwayat Aulia Alloh. indah juga ia
menasihat jiwanya seperti demikian :
“Wahai jiwaku! engkau fikir dirimu cerdik pandai
dan engkau marah jika disebut bodoh. Maka
apakah engkau ini? Engkau sediakan kain baju
untuk melindungi dingin tetapi tidak bersedia
untuk kembali ke akhirat.
Keadaanmu adalah seperti orang dalam musim
sejuk berkata :
“Aku tidak pakai pakaian panas, cukuplah aku
bertawakkal kepada Alloh untuk melindungi aku
dari dingin”.
Dia telah lupa bahwa Alloh disamping menjadikan
dingin itu ada juga memberi petunjuk kepada
manusia bagaimana membuat pakaian untuk
melindungi dari dari sejuk dan dingin, dan
disediakan alat dan bahan-bahan untuk membuat
pakaian itu. Ingatlah jiwa! hukuman kepadamu di
akhirat kelak bukanlah karena Alloh murka karena
tidak patuhmu, dan janganlah berkata :
“Bagaimana pula dosaku boleh menyakiti Alloh?
Adakah hawa nafsumu sendiri yang menyalakan
api neraka di dalam dirimu sendiri, seperti orang
yang memakan makanan yang membawa
penyakit. adalah penyakit itu tejadi dalam tubuh
manusia, dan bukan karena dokter marah
kepadanya karena tidak mematuhi perintahnya.
“Tidak malukah kamu wahai jiwa! karena kamu
sangat cenderung kepada dunia!!!. Jika kamu tidak
percaya dengan Syurga dan Neraka, maka
sekurang-kurangnya percayalah kepada mati
yang akan merampas dari kamu semua
keindahan dunia dunia dan membuat kamu
merasa kepayahan berpisah dari dunia ini.
Semakin kuat keterikan kamu kepada dunia, maka
semakin pedihlah yang kamu rasakan.
Apakah dunia ini bagimu? Jika seluruh dunia ini
dari Timur ke Barat kepunyaanmu dan
menyembahmu, namun itu tidaklah lama. Akan
semuanya hancur jadi abu bersama dirimu
sendiri dan namamu makin lama makin
dilupakan, seperti Raja-raja yang dahulu sebelum
kamu. Setelah kamu melihat bagaimana kecil dan
kerdilnya kamu di dunia ini, maka kenapa kamu
bergila-gila benar menjual keindahan dan
kebahagiaan yang abadi dan memilih kebahagian
yang sementara seperti menjual intan berlian
yang mahal untuk mendapatkan kaca yang tidak
berharga, dan menjadikan kamu bahan ketawa
orang lain?”

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI) VI.MENGENAL AKHIRAT

Semua orang-orang yang percaya dengan Al-
Qur’an dan Hadis mengetahui tentang
kebahagiaan di Surga dan keazaban di Neraka
yang akan dirasakan di Akhirat kelak.
Tetapi banyak orang yang tidak mengetahui
adanya Surga dan Neraka Ruhaniah.
Berkenaan Surga Ruhaniah ini, Alloh pernah
berfirman kepada Nabinya :
“mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah
mendengar, dan hati tidak pernah berfikir tentang
hal-hal yang disediakan bagi orang-orang yang
sholeh.”
Dalam hati orang-orang yang diberi Nur (cahaya)
oleh Alloh s.w.t, ada satu pintu yang terbuka
menghadap kepada hakikat-hakikat Alam
Keruhaniaan, dan dengan itu ia tahu rasa
pengalaman sebenarnya, bukan omong-omong
kosong saja atau kepercayaan yang turun-
menurun, berkenaan apa yang mendatangkan
kerusakan dan apa yng mendatangkan
kebahagiaan dalam Jiwa (ruh) sebagaimana
terangnya dan pastinya dokter-dokter
mengetahui apa yang menyebabkan sakit dan
apa yang menyebabkan kesehatan pada tubuh.
Dia tahu bahwa mengenal Alloh dan ibadat itu
adalah obat penawar, dan jahat serta dosa itu
adalah racun bisa kepada ruh.
Banyak orang, bahkan orang-orang “Alim”,
karena membabi buta mencela pendapat orang
lain, tidak yakin sebenarnya dalam kepercayaan
mereka tentang kebahagiaan dan azab ruh di
Akhirat nanti. Tetapi orang yang penuh keyakinan
tanpa diganggui oleh perasangka akan mencapai
keyakinan penuh dalam hal ini.
Manusia ada dua jiwa (Ruh) yaitu Ruh Kehewanan
dan Ruh Insan (Ruh Keruhanian). Ruh Keruhanian
ini adalah tabiatnya bersifat malaikat. Tempat
duduk Ruh kehewanan ialah hati. Dari hati itu ruh
ini keluar seperti uap halus dan meliputi semua
anggota tubuh, yang memberi dan penglihatan
kepada mata, dia mendengar kepada telinga, dan
dia pada tiap-tiap anggota yang lain untuk
menjalankan tugasnya masing-masing. Ruh ini
bolehlah diibaratkan sebagai lampu rumah dalam
sebuah rumah. Cahayanya menyinari dinding
rumah itu. Hati itu ibarat sumbu lampu tersebut.
Apabila minyak terputus karena sebab-sebab
tertentu, maka padamlah lampu itu. Demikianlah
juga matinya ruh binatang (ruh kehewanan) itu.
Berlainan dengan Ruh Keruhanian. Ruh
Keruhanian itu tidak boleh dipecah-pecah atau
dibagikan-bagikan. Dengan ruh inilah manusia
mengenal Tuhannya. Bolehlah dikatakan bahwa
Ruh Keruhanian ini adalah penunggang ruh
kehewanan itu. Meskipun Ruh kehewanan mati
dan hancur binasa, namun Ruh Keruhanian itu
tetap hidup dan tidak binasa. Ruh keruhanian ini
ibarat penunggang yang telah turun dari kudanya
atau ibarat pemburu yang telah hilang senjatanya,
apabila seseorang itu meninggal dunia. Kuda dan
senjata itu diberi kepada ruh manusia itu supaya
dengan itu ia dapat memburu dan menangkap
Cinta dan Makrifat kepada Alloh. Jika buruan tadi
telah ditangkap, maka tidaklah ada sesal dan duka
lagi. Sebaliknya suka dan puas hatilah ia dan
dapatlah ia meletakkan senjata dan kuda keletihan
itu ke tepi Berhubung dengan hal ini,
Nabi pernah dan bersabda :
“Mati itu adalah hadiah dari Alloh kepada orang-
orang mukmin.”
Tetapi sayang sekali, seribu kali sayang bagi ruh
yang kehilangan kuda dan senjata sebelum ia
dapat menangkap barang buruan itu. Tidaklah
terkira lagi sesal dan dukanya.
Kita akan terangkan lebih lanjut bagaimana
berbedanya Ruh Insan atau Ruh Keruhanian itu
dari tubuh dan anggotanya. Anggota tubuh
mungkin lumpuh dan tidak berkerja lagi. Tetapi
ruh tidak rusak apa-apa. Begitu juga tubuh
sekarang ini, tidak lagi tubuh kita semasa bayi
dahulu, bahkan berbeda langsung. Tetapi
keperibadian kita sekarang adalah serupa dengan
keperibadian kita di masa bayi dahulu.
Nampaklah kepada kita betapa kekalnya ruh itu
meskipun tubuh telah hancur binasa.
Ruh ini kekal bersama dengan sifat-sifatnya yang
tidak bersangkutan dengan tubuh seperti Cinta
kepada Alloh dan Makrifat Alloh.
Inilah yang dimaksud oleh Al-Quran :
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-
orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara atau pun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang
datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya
mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan
mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah
itulah golongan yang beruntung. (Mujaadilah:22)
Tetapi jika kita meninggal dunia tidak membawa
ilmu atau pengenalan tentang Alloh (makrifat) dan
sebaliknya mati dalam Jahil tentang Alloh, di mana
Jahil itu adalah satu dari sifat penting juga, maka
teruslah kita dalam kegelapan ruh dan azab
sengsara. Sebab itu Al-Quran ada menyatakan:
Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini,
niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula)
dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). ( Al -
Israil:72)
Sebab Ruh lnsan kembali ke Alam Tinggi itu ialah
karena asalnya di sana dan tabiatnya bersifat
kemalaikatan. Ruh Insan itu dihantar ke alam
rendah atau dunia ini, berlawanan dengan
kehendaknya, dengan tujuan mencari
pengetahuan dan pengalaman, seperti firman
Alloh dalam Al-Qur’an :
Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari
surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
(Al Baqoroh:38)
dan firman Alloh lagi :
Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud. Al-Hijr:29)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa tempat asal
Ruh Insan itu ialah dari Alam Tinggi sana .
Kesehatan Ruh Kehewanan atas keseimbangan
bagian-bagian. Apabila keseimbangan ini telah
cacat, maka dapat diperbaiki dengan obat-obat
yang sesuai. Maka begitu jugalah kesehatan Ruh
Insan , ia terdiri ada keseimbangan akhlak.
Ke seimbangan akhlak ini dipelihara dan
diperbaiki. Dengan arahan-arahan kesusilaan
(akhlak) dan ajaran akhlak.
Berkenaan wujudnya Ruh Insan ini di akhirat
kelak, maka kita telah tahu bahwa Ruh Insan itu
adalah tidak terikat kepada tubuh. Segala bantahan
terhadap wujudnya ruh ini selepas mati adalah
berdasarkan pada prasangka, ia terpaksa
mendapatkan semula tubuhnya yang di dunia
dulu yang telah hancur menjadi tanah. Setengah
orang menyangka Ruh Insan itu binasa setelah
mati, kemudian diwujudkan dan dihidupkan
semula. Tetapi ini adalah berlawanan dengan Akal
dan juga Al-Qur’an. Akal membuktikan bahwa
mati itu tidak membinasakan hakikat seseorang
itu dan Al-Qur’an mengatakan :
“Janganlah kamu berkira-kira bahwa orang-orang
yang mati (gugur) di jalan Alloh mati, bahkan
mereka itu hidup di sisi TuhanNya dengan
mendapat rezeki” (Al-Imran:169)
Tidak ada satu perkataan pun yang tersebut
dalam hukum berkenaan orang-orang yang mati
itu telah binasa, dan orang itu baik atau jahat,
bahkan Nabi SAW. pernah bertanya kepada Ruh
orang-orang kafir yang terbunuh, apakah mereka
telah menjumpai hukum yang baginda katakan
kepada mereka itu, benar atau bohong. Apabila
sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada baginda
apakah faedahnya bertanya kepada mereka yang
telah mati, baginda menjawab :
“Mereka mendengar kata-kataku lebih jelas dari
kamu mendengarnya”.
Ada juga orang-orang Sufi yang dibukakan hijab
bagi mereka. Maka nampaklah oleh mereka
syurga dan neraka, dalam keadaan mereka itu
tidak sadar diri. Setelah mereka sedar semula,
muka mereka menunjukkan apa yang mereka
lihat itu, apakah syurga atau neraka. Jika muka
mereka menunjukkan tanda-tanda gembira dan
senang, maka itulah tanda mereka telah melihat
syurga. Jika mereka seperti orang ketakutan dan
cemas, itulah tanda mereka melihat neraka. Tetapi
pandangan seperti ini tidaklah perlu untuk
membuktikan apa yang akan terjadi itu kepada
tiap-tiap orang yang berfikir, yaitu apabila mati
telah melepaskan inderanya pergi dan segalanya
hilang kecuali peribadinya saja yang tinggal dan
jika semasa di dunia ini ia sangat terikat kepada
benda yang dipandang oleh indera saja seperti
isteri, anak, harta-benda, tanah, uang ringgit, dan
sebagainya, maka tentu sekali ia akan terazab
apabila semua itu telah hilang darinya.
Sebaliknya jika ia semampunya memalingkan
mukanya dari segala benda di dunia dan
menumpukan Cinta kepada Alloh Taala, maka
jadilah mati itu sebagai cara melepaskan diri dari
tanggapan dan kaitan dunia, dan teruslah ia
berpadu dengan Alloh yang diCintainya. Sebab
itulah Nabi SAW. pernah bersabda,
“Mati itu ialah jaminan yang menyambungkan
sahabat dengan sahabat”.
dan sabda beliau lagi :
“Dunia ini syurga bagi orang kafir, tetapi penjara
bagi orang mukmin”.
Sebaliknya pula, Azab sengsara yang dirasakan
oleh Ruh itu setelah mati adalah berpuncak dari
terlalu kasih kepada dunia.
Nabi pernah mengatakan bahwa tiap-tiap orang
kafir setelah mati akan diazab oleh 99 ekor ular.
Tiap-tiap seekor ada sembilan kepala.
Ada juga orang yang bodoh. Mereka menggali
kubur orang kafir dan melihat tidakpun ada ular di
situ. Mereka tidak sedar bahwa ular itu berada
dalam Ruh si Kafir dan ular itu telah ada di situ
bahkan sebelum ia mati lagi, kerena ular itu adalah
sebenarnya sifat-sifat jahat mereka sendiri.
Diperlambangkan yaitu sifat-sifat dengki, benci,
menafiq, sombong, penipu dan lain-lain. Semua
itu secara langsung atau tidak langsung adalah
karena terlampau Kasih Kepada Dunia. Itulah
akibat mereka yang digambarkan oleh Al-Qur’an
dengan:
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka
orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat,
hati mereka mengingkari (keesaan Allah),
sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang
yang sombong. (An Nahl:22)
Jika ular itu hal di luar diri mereka, bolehlah
mereka lepas dari siksaan itu barang sebentar,
tetapi sebenarnya ular itu ialah sifat-sifat mereka
sendiri. Bagaimana mereka hendak melepaskan
diri ???
Kita ibaratkan demikian, Katalah seorang yang
menjual hamba perempuan tanpa mengetahui
bagaimana kasihnya ia kepada si hamba itu
hinggalah hamba itu telah jauh darinya. Lama
kelamaan, cintanya itu bertambah hebat dan kuat
benar hingga maulah ia menyiksa dirinya. Cinta
itu menyiksanya seperti seekor ular yang telah
menggigitnya hingga pingsan, dan kemudian
coba menghujamkan dirinya ke dalam api atau
terjun ke air untuk lari dari siksaan itu.
Demikianlah misalnya akibat kasih kepada dunia
dan bagi mereka yang ada berperasaan itu selalu,
tidak sadar hinggalah ia meninggal dunia. Maka
kemudian itu siksaan rindu dam birahi yang sia-
sia bertambah hebat hingga ia lebih suka
menukarkannya dengan berapa banyak pun ular
dan kala.
Oleh karena itu, tiap-tiap orang berbuat dosa
membawa bersamanya ke akhirat alat-alat
penyiksaannya sendiri.
Al-qur’an ada menerangkan :
” dan sesungguhnya kamu benar-benar akan
melihatnya dengan `ainulyaqin, “. (Al-Takatsur:07)
dan firman Alloh Taala lagi;
” Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar
meliputi orang-orang yang kafir ” (Al-Taubah:49)
Dia (Alloh) tidak berkata;
“Akan meliputi mereka”. karena liputan itu telah
pun ada sekarang juga.
Mungkin ada orang yang membantah; “Jika
demikian keadaannya, siapakah yang akan dapat
melepaskan diri dari neraka, karena sedikit
sebanyak manusia itu pasti ada neraka di dunia?
Kami menjawab:
Ada juga orang, khususnya Faqir. Mereka ini
melaksanakan kaitan cintanya kepada dunia.
Walaupun begitu, ada juga orang yang beristeri,
beranak, berumah-tangga dan lain-lain lagi,
walaupun mereka ada kaitan dengan semua itu,
namun Cinta mereka terhadap Alloh tidak ada
tandingan dan mereka lebih Cinta kepada Alloh
melebihi dari yang lain.
Mereka ini adalah seperti orang yang ada
berumah-tangga di sebuah bandar yang
dicintainya. Tetapi apabila Raja atau Pemerintah
memberinya jabatan untuk bertugas di bandar
yang lain, dia rela berpindah ke bandar itu karena
jabatan itu lebih dicintai dari rumah-tangganya di
bandar itu. banyak Ambiya’ dan Aulia yang
sedemikian ini.
Sebagian besar pula manusia yang ada sedikit
Cinta kepada Alloh, tetapi sangat cinta kepada
dunia. Maka dengan itu mereka terpaksalah
menerima azab di akhirat sebelum mereka
dibersihkan dari karat-karat cinta kepada dunia itu.
Ramai orang yang mengaku Cinta kepada Alloh,
tetapi seseorang itu harus menilainya dan
menguji dirinya dengan memerhatikan
kemanakah cenderung lebih berat kalau perintah
Alloh bertentangan dengan kehendak nafsunya?
Orang yang mengatakan Cinta kepada Alloh tetapi
tidak dapat menahan dirinya darinya dan tidak
patuh kepada Alloh, maka orang itu sebenarnya
berbicara bohong.
Kita telah perhatikan di atas bahwa satu jenis
Neraka Keruhanian ialah berpisah secara paksa
dari keduniaan dengan keadaan itu sangat terkait
dan terikat dengan keduniaan itu. Banyak pula
orang yang membawa dalam diri mereka,
kuman-kuman neraka seperti ini tanpa mereka
sadari.
Di akhirat kelak, mereka akan merasa diri mereka
seperti Raja yang diturunkan dari takhta kerajaan
dan dijadikan alat gelak ketawa orang ramai, pada
hal sebelum ini mereka hidup dengan mewah
dan senang senang.
Jenis Neraka Keruhanian yang kedua ialah Malu,
yaitu apabila manusia itu tersadar dan melihat
keadaan perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
hakiki yang sebenarnya tanpa selindung lagi.
Orang yang membuat fitnah akan melihat dirinya
dalam bentuk orang yang memakan daging
saudaranya sendiri, dan orang yang iri dengki
seperti yang melempar batu kepada tembok dan
batu itu mental ke belakang lalu mengenai mata
anaknya sendiri.
Jenis neraka seperti ini, yaitu Malu, bolehlah
dilambangkan dengan ibarat berikut. Katakanlah
seorang Raja merayai perkawinan anak lelakinya.
Di waktu petang, orang muda itu pergi bersama
sahabatnya berjalan-jalan dan tidak lama
kemudian kembali ke Istana (dalam keadaan
mabuk) . Dia masuk ke sebuah Dewan di mana
api (lilin) sedang menyala. Ia berbaring.
Disangkanya ia berbaring dekat isterinya.
Besoknya, apabila ia sadar semula, terperanjatlah
ia apabila dilihatnya dirinya berada dalam Rumah
Mayat orang-orang Majusi. Tempat
berbaringannya itu ialah keranda mayat itu dan
bentuk orang yang disangkakan isterinya itu ialah
sebenarnya mayat seorang perempuan tua yang
mulai busuk dan keriput. Ia pun keluar dari
Rumah Mayat itu dengan pakaian yang kotor dan
rupa yang lusuh. Alangkah malunya ia berjumpa
dengan ayahnya, Raja itu bersama dengan
pengiring-pengiringnya. Demikianlah gambaran
Malu yang dirasakan di akhirat kelak oleh mereka
yang di dunia ini tamak dan sombong dan
menumpukan seluruh jiwa raga kepada apa yang
mereka sangka sebagai keindahan dan
kenikmatan.
Nereka Keruhanian Yang Ketiga ialah sesal dan
putus asa dan gagal mencapai tujuan hidup yang
sebenarnya.
Manusia dijadikan untuk Mencerminkan Cahaya
Makrifat Alloh. Tetapi jika ia kembali ke akhirat
dengan jiwanya penuh mabuk dan karat hawa
nafsu, maka gagal lah ia mencapai tujuan
hidupnya di dunia ini. Sesal atau putus asanya
boleh digambarkan demikian.
Katalah seseorang melewatii hutan yang gelap
bersama kawan-kawannya. Di sana sini terlihat
kilauan cahaya batu yang berwarna-warni.
Kawannya memungut batu itu dan menasihatnya
supaya berbuat demikian juga. Kawannya
berkata, “Batu ini sangat mahal harganya di
tempat yang kita akan pergi sana “. Tetapi beliau
mentertawakan mereka dan mengatakan mereka
bodoh karena mengharapkan keuntungan yang
sia-sia yang belum tentu lagi. Dia pun terus
berjalan. Akhirnya mereka pun keluarlah dari
hutan yang gelap itu setelah berjalan beberapa
lama. Mereka dapati batu itu sebenarnya batu
Delima, Intan Berlian dan sangat bernilai dan
berharga. Alangkah sesal dan putus asanya ia
karena tidak mahu mengutip batu-batu itu
dahulu. Begitulah ibaratnya orang yang sesal di
akhirat kelak karena semasa mereka hidup di
dunia ini mereka lalai dan tidak berusaha untuk
mendapatkan intan permata kebajikan dan
perbendaharaan agama.
Perjalanan Insan melalui dunia ini bolehlah di-
bahagi-bahagikan kepada empat peringkat :
Peringkat Nafsu,
Peringkat Percobaan,
Peringkat Naluri dan
Peringkat Berakal.
Dalam Peringkat Pertama, manusia itu adalah
ibarat keledai. Meskipun ia ada penglihatan, tetapi
tidak ada ingatan. Ia terus membakar dirinya
berkali-kali ke dalam api lampu yang sama itu
juga.
Dalam Peringkat Kedua, ia adalah ibarat anjing ,
apabila dipukul sekali akan lari apabila melihat
kayu selepas itu.
Dalam Peringkat Ketiga, manusia itu ibarat kuda
atau biri-biri. Kedua-duanya akan lari secara
naluri, apabila melihat singa atau serigala, karena
haiwan itu adalah musuhnya semula jadi. Tetapi
meeka tidak lari apabila melihat unta atau lembu,
meskipun binatang-binatang itu lebih besar dari
tubuhnya.
Dalam Peringkat Keempat, manusia itu
melampaui perbatasan binatang dan boleh sedikit
sebanyak melihat ke hari depan dan
mempersiapkan untuk hari yang akan datang.
Pergerakannya mula-mula bolehlah
diumpamakan seperti berjalan di atas tanah,
kemudian mengembara atas lautan dalam kapal,
kemudian ia mengenal hakikat-hakikat hingga
dapat berjalan di atas air lait. Di atas peringkat itu
ada satu taraf lagi yang diketahui oleh Ambiya
dan Aulia Alloh, kemajuan mereka diibaratkan
sebagai burung terbang.
Oleh yang demikian, manusia dapat wujud dalam
beberapa peringkat dari binatang hingga ke
Malaikat. Di sini juga terletak bahayanya, yaitu
mungkin terjatuh ke taraf yang paling bawah dan
rendah. Dalam Al-Qur’an ada tercantum,
” Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat
bodoh “. (Al-ahzab:72)
Binatang dan Malaikat tidak dapat merubah
peringkat atau pangkat yang ditetapkan kepada
mereka, tetapi manusia boleh turun ke tempat
atau peringkat yang paling bawah, atau pun naik
ke peringkat Malaikat. Inilah maksud “beban” yang
dimaksudkan itu. Kebanyakan manusia memilih
tempat dalam dua peringkat yang bawah seperti
tersebut dahulu. Tempat yang tetap selalunya
tidak disukai oleh orang yang mengembara.
Kebanyakan mereka dalam peringkat atau kelas
yang bawah itu karena tidak ada kepercayaan
yang penuh dan tetap tentang hari Akhirat itu.
Kata mereka, Neraka itu adalah rekaan orang-
orang Agama saja untuk menakut-nakutkan
orang ramai, dan mereka pandang hina terhadap
orang-orang Agama. Untuk bertengkar dengan
mereka ini tidaklah berguna. Cukuplah bertanya
kepada mereka demikian untuk membuat mereka
merenung sebentarnya,
“Adakah kamu anggap 124, 000 orang Nabi dan
juga Aulia Alloh itu semuanya percaya dengan
Hari Akhirat itu semuanya salah dan kamu itu saja
yang betul?”.
Jika ia menjawab, “Ya, saya percaya sebagaimana
percaya saya dua itu lebih dari satu. Saya penuh
yakin tidak ada Ruh dan tidak ada bahagia dan
hidup sengsara di Hari Akhirat”.
Maka orang seperti itu tidak ada harapan lagi.
Biarkanlah mereka di situ. Kenanglah nasihat Al-
Qur’an;
” Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang
yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari
Tuhannya lalu dia berpaling daripadanya dan
melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua
tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan
tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka
tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula)
sumbatan di telinga mereka, dan kendati pun
kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya
mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-
lamanya ” (Al-Kahfi:57)
Tetapi sekiranya orang itu berkata bahwa hidup di
Akhirat itu adalah satu kemungkinan tetapi doktrin
(kepercayaan) itu penuh dengan keraguan dan
kesulitan. Maka tidaklah mungkin untuk membuat
keputusan sama ada hal itu betul atau tidak. Maka
bolehlah dikatakan kepadanya,
“Lebih baik kamu fikirkan. Kalau kamu lapar
hendak makan dan tiba-tiba ada orang berkata
kepadamu dalam makanan itu ada racun yang
diludahkan oleh seekor ular yang bisa. Kamu
mungkin enggan memakan makanan itu dan
kamu rasa lebih baik tahankan saja lapar itu,
meskipun orang yang berkata itu mungkin
berbohong atau melawak saja”.
Atau pun katalah kamu sedang sakit dan seorang
pembuat Azimat berkata :
“Beri saya uang dan saya boleh tuliskan satu
Azimat untuk kamu gantung pada leher dan
Azimat itu akan menyembuhkan sakitmu”.
Mungkin kamu memberi orang itu uang untuk
membuat Azimat itu dengan harapan mendapat
faedah dari Azimat itu. Atau jika seorang ahli
Nujum berkata :
“Apabila bulan masuk ke falak bintang yang
tertentu, minumlah sekian-sekian obat, maka
sembuhlah kamu”.
Meskipun tidak percaya dengan Ilmu Nujum,
namun kamu mungkin mencobanya dengan
harapan supaya disembuhkan.
Tidakkah kamu berfikir bahwa adalah lebih baik
bergantung kepada perkataan para Ambiya’,
Auliya’ dan orang-orang Sholeh itu tentang Hari
Akhirat itu lebih baik daripada percaya akepada
penulis Azimat atau Ahli Nujum?
Ada orang yang belayar dalam kapal menembus
lautan yang penuh ombak gelombang yang
menelan manusia semata-mata dengan tujuan
untuk mendapat keuntungan yang sedikit, kenapa
pula kamu tidak kamu berkorban sedikit pun di
dunia ini karena untuk kebahgiaan yang abadi di
Akhirat kelak?
Pernah Sayyidina Ali berkata kepada seorang
Kafir; ” Jika pendapat kamu betul, kedua kita akan
merugilah di Akhirat kelak, tetapi jika kami betul,
maka terlepaslah kami dan kamulah yang akan
menderita”.
Beliau berkata demikian bukan karena beliau ragu-
ragu, tetapi semata-mata untuk menyadarkan
orang Kafir itu.
Dari apa yang kita baca di atas itu, maka tahulah
kita bahwa tugas utama hidup manusia di dunia
ini ialah untuk membuat persediaan bagi Akhirat.
Walaupun seorang itu ragu kehidupan di Akhirat
itu, Akal mencadangkan supaya orang itu
bertindak seolah-olah ianya ada, memandangkan
hal-hal besar yang akan ditempuh kelak. Selamat
sejahteralah mereka yang menurut ajaran Alloh
dan RasulNya.

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI) V.MENGENAL DUNIA INI

MENGENAL DUNIA INI
Dunia ini adalah ibarat pasar yang dilewati oleh
pengembara dalam perjalanannya menuju ke
suatu tempat. Di sinilah pengembara itu
mengumpulkan bekal untuk perjalanannya.
Pendeknya di sinilah manusia itu dengan
menggunakan indera jasmaninya, memperolehi
sedikit sebanyak pengetahuan tentang kerja-kerja
Alloh, dan melalui pengetahuan itu untuk
Mengenal Alloh. Pandangan terhadap Alloh inilah
yang menentukan kebahagiaan dan keselamatan
di hari kemudian, karena untuk mendapatkan
Ilmu Pengetahuan inilah, maka manusia turun ke
dunia dan tanah ini. Selagi inderanya ada bersama
dengannya, orang itu dikatakan berada “dalam
dunia ini”. Apabila indera ini meninggalkan jasad
dan hanya sifat-sifatnya yang perlu saja yang
tertinggal. maka orang itu dikatakan telah kembali
“ke akhirat”.
Semasa manusia itu berada dalam dunia ini, dua
hal perlu baginya.
Pertama , melindungi dan mengasuh
(memelihara) Ruhnya dan
Keduanya , memelihara dan menyelenggara
tubuhnya.
Makanan Ruh itu seperti yang tersebut sebelum
ini, ialah Mengenal dan Cinta kepada Alloh.
Jika cinta itu ditumpukan sepenuhnya kepada ”
ghair Alloh” (selain Alloh), maka binasalah Ruh itu.
Tubuh itu hanya ibarat binatang tunggangan bagi
Ruh. Tubuh itu akan hancur tetapi Ruh tetap
hidup. Ruh itu sepatutnya memelihara tubuh.
Ibarat orang yang hendak mengerjakan Haji ke
Mekah, ia perlu memelihara untanya, tetapi jika ia
menghabiskan masa dengan memberi makan
dan menghias untanya saja, maka kafilah akan
meninggalkan ia di belakang dan binasalah ia di
padang pasir.
Keperluan tubuh manusia itu terbagi kepada tiga
saja yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Tetapi keinginan tubuh yang ada pada seseorang
untuk mendapatkan tiga hal itu cenderung
melawan akal dan melebihkan dari tiga hal itu.
Oleh itu, perlulah kemauan itu disekat dan dibatasi
dengan undang-undang syariat yang dibawa oleh
Rasul-Rasul.
Berkenaan dunia ini pula, di mana kita tinggal ,
terbagi kepada tiga – yaitu binatang, tumbuh-
tumbuhan dan galian (logam). Hasil ketiga hal ini
sentiasa diperlukan oleh manusia dan melahirkan
tiga pekerjaan yang utama pada manusia yaitu :
• Kerja Menenun,
• Kerja Membina dan
• Kerja-kerja Logam.
Ini pula terbagi kepada beberapa cabang lagi
seperti Tukang Jahit, Tukang Batu, Tukang Besi
dan lain-lain lagi. Tidak ada yang bebas sendiri,
perlu saling berkaitan. Maka timbullah
perhubungan dan perkaitan perdagangan dan
perniagaan.
Di sini timbul pula keadaan-keadaan yang
menerbitkan Hasad, Dengki, Tamak, loba dan
berbagai-bagai penyakit Jiwa(Ruh). Dengan itu
timbul pula pertengkaran dan persengketaan serta
keperluaan untuk berpolitik, berkerajaan dan
pengetahuan tentang undang-undang.
Oleh yang demikian, pekerjaan dan perdagangan
di dunia ini makin bertambah rumit dan kusut
dan kompleks. Ini karena manusia telah lupa
bahwa keperluan mereka yang utama adalah
hanya tiga hal saja yaitu pakaian, makanan dan
tempat tinggal.
Diri ini hanya bertujuan untuk menjadikan tubuh
itu layak bagi tunggangan Ruh dalam perjalanan
menuju ke akhirat. Mereka telah sama terlena
seperti orang yang pergi ke Mekah, mereka telah
lupa tujuan perjalanan dan dirinya sendiri, lalu
menghabiskan masa memberi makan dan
menghias untanya. Manusia pasti terpesona dan
terpikat oleh dunia kecuali ia berhati-hati benar
supaya tidak tergoda. Nabi ada bersabda
mengatakan bahwa dunia ini ibarat Tukang Sihir
yang lebih pintar dari Harut dan Marut.
Dunia ini menipu kita dengan cara sebagai
berikut :
Pertama, ia berpura-pura kekal bersama kita
padahal sebenarnya ia sentiasa berlalu saat demi
saat sambil melambaikan tangan mengatakan
Selamat Tinggal kepada kita, seperti bayang-
bayang yang nampaknya tetap tetapi sebenarnya
bergerak.
Kedua, Dunia ini berpusing seperti seperti Ahli
Sihir yang menarik tetapi jahat. Ia berpura-pura
Cinta kepada kita, suka kepada kita, tetapi
kemudian ia pergi kepada musuh dan
meninggalkan kita manusia kesedihan dan putus
asa. Nabi Isa Alaihissalam melihat dunia ini seperti
bentuk nenek berkebaya tua yang buruk. Beliau
bertanya kepada dunia itu berapakah suami yang
ia ada. Dunia itu menjawab suaminya tidak terkira
banyaknya. Beliau bertanya lagi adakah suaminya
itu telah mati atau telah diceraikan. Katanya semua
mereka itu telah dibunuhnya.
Nabi Isa Alaihissalam berkata :
“Aku heran kenapa manusia bodoh, telah melihat
bagaimana anda melakukan kekejaman itu
namun masih juga mereka suka dan cinta kepada
anda”.
Nenek berkebayan yang jahat ini memakai
pakaian yang indah-indah dan menutup
mukanya. Kemudian ia pergi menggoda
manusia. Banyaklah manusia yang tergoda dan
tertipu dan dibinasakannya. Nabi SAW. pernah
bersabda bahwa di hari Qiyamat kelak, dunia ini
akan berupa dengan bentuk Ahli Sihir, matanya
hijau dan giginya menonjol keluar. Orang yang
melihatnya akan berkata :
“Kasihanilah kami! Siapakah ini?”
Malaikat akan menjawab;
“Inilah dunia yang kamu perbuat dan
pertengkarkan, yang kamu bunuh-membunuh
dan sembelih-menyembelih antara satu sama
lain”.
Kemudian dia akan dilemparkan ke Neraka dan di
situlah ia akan menjerit :
Oh Tuhan!!! Di manakah mereka yang mencintai
aku dahulu”.
Kemudian Alloh perintahkan mereka itu
dilemparkan juga ke dalam Neraka itu.
Barangsiapa bertafakur dengan serius bahwa
dahulunya dunia ini tidak wujud dan di masa
akan datang ia akan hilang sirna, maka nampaklah
ia bahwa dunia ini ibarat perjalanan di mana
peringkat-peringkatnya berupa tahun, bulan dan
batunya dengan harinya, dan langkahnya dengan
saat. Tidak dapat hendak diceritakan bagaimana
ruginya mereka yang menganggap dunia ini
tempat kediamannya yang kekal dan membuat
rancangan untuk sepuluh tahun yang akan
datang pada mungkin ia akan berada dalam
kubur dalam tempo sepuluh hari lagi. Siapa
tahu ??.
Siapa yang meninggalkan dirinya dalam lautan
keindahan dunia fana ini, di masa matinya akan
jadi seperti orang yang menyumbatkan mulut
dan perutnya dengan makanan dan kemudian ia
memuntahkan semula. Kelazatannya hilang sirna.
Yang tertinggal hanyalah dan aib.
Makin banyak harta-benda, uang, rumah dan
taman yang indah dimilikinya, makin pedih dan
payahlah ia hendak meninggalkan semua itu.
Kepedihan dan kesusahan ini akan dibawa hingga
selepas mati karena jiwa yang sudah biasa
dengan nafsu dunia itu akan menjadi sombong
juga selepas mati dan di Akhirat kelak akan
merasakan kesusahan dan kepedihan karena
kemauan dan keinginan yang tidak merasa puas.
Satu daripada ciri atau sifat hal keduniaan ini ialah
pada mulanya nampak seperti hal kecil saja, tetapi
tiap-tiap hal yang nampak “kecil” ini bercabang
hingga tidak terhingga lagi banyaknya, hingga ia
menelan dan membolot seluruh masa dan tenaga
manusia itu.
Nabi Isa Alaihissalam pernah berkata :
“Orang yang cinta kepada dunia itu ibarat orang
yang
meminum air laut, makin diminum makin haus
hingga akhirnya ia binasa, namun dahaga tidak
juga hilang”.
Nabi SAW. pernah bersabda;
“Tidaklah kamu bercampur dengan keduniaan itu
melainkan kamu dikotori sebagaimana orang
yang masuk ke air, pasti akan basah”.
Dunia ini ibarat meja yang di atasnya ada
hidangan untuk tamu yang datang silih berganti.
Di atasnya ada pinggan mangkuk emas dan
perak, penuh dengan makanan yang sedap-
sedap, dan bau-bauan yang harum mewangi.
Tetapi seorang yang bijak akan makan
seperlunya, menghirup wangi-wangian itu,
mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah,
dan kemudian pergi.
Tetapi tamu yang bodoh, sebaliknya hendak
membawa pulang pinggang mangkuk emas dan
perak itu, tetapi benda-benda itu dirampas balik
darinya. Ia suruh pergi. Maka malu dan hina serta
putus asa saja yang diperolehnya.
Sekarang kita tutup penerangan kita tentang tipu
muslihat dunia ini dengan ibarat yang berikut.
Katalah sebuah kapal tiba di sebuah pulau yang
penuh sesak dengan penumpang. Nakhoda kapal
itu memberitahu penumpang-penumpang kapal
itu ia hendak singgah bebarapa jam saja di pulau
itu, dan mereka boleh naik ke pantai untuk
sementara waktu tetapi jangan terlampau lama.
Maka turunlah penumpang-penumpang itu ke
pantai dan masing-masing pergi ke sana dan
kemari sesuka hatinya.
Orang yang bijak di antara mereka itu akan
kembali ke kapal dalam masa yang singkat saja
dan apabila melihat kapal itu lapang mereka pun
mencari tempat yang nyaman untuk duduk.
Kumpulan penumpang yang kedua pula berjalan
ke sana ke mari lama sedikit sambil menikmati
keindahan pokok-pokok dan bunga-bunga dan
mendengar burung-burung menyanyi. Setelah
kembali ke kapal, mereka mendapatkan tempat-
tempat yang baik di kapal itu telah diduduki dan
terpaksalah mereka berpuas hati dengan tempat
yang kurang nyaman itu.
Kumpulan yang ketiga berjalan dan bersiar makin
jauh di pulau itu dan mereka membawa batu-
batu yang beraneka warna untuk dibawa ke
kapal. karena mereka lambat kembali ke kapal itu,
terpaksalah mereka duduk di tempat-tempat yang
kurang baik di dalam perut kapal itu. Mereka
dapati batu yang berkilauan yang mereka bawa
itu telah hilang kilauan dan warna-warninya.
Kemudian yang terakhir pula telah merayau-
rayau terlalu jauh ke tengah pulau itu hingga tidak
sadar masa untuk belayar telah hampir tiba dan
tidak pula mendengar panggilan nakhoda itu
karena mereka terlampau jauh. Maka terpaksalah
kapal itu belayar lagi tanpa mereka. Maka
menyesalah mereka dengan putus asa dan
dukacita dan akhirnya binasalah mereka karena
dahaga dan kepalaran ataupun dimakan oleh
binatang-binatang buas.
Kumpulan pertama itu ibarat orang-orang yang
beriman yang menjauhkan diri dari pengaruh
keduniaan; dan kumpulan yang terakhir ialah
ibarat orang-orang kafir yang hanya memandang
dunia ini saja dan lupa akhirat. Dua golongan
yang di antara itu adalah mereka yang
memelihara Imannya mereka tetapi mengikut
kata hati dengan mengurangi hal-hal yang tidak
berfaedah di dunia ini.
Meskipun kita telah bercakap banyak mengecam
dunia ini, tetapi hendaklah diingat bahwa ada juga
hal-hal di dunia ini yang bukan terdiri dari benda
keduniaan, seperti Ilmu Pengetahuan dan Amal
Sholeh. Manusia akan membawa bersamanya
apa-apa Ilmu yang ia punyai masuk ke Alam
Akhirat.
Meskipun amal sholehnya telah berlalu, namun
kesannya tetap tinggal dalam wataknya atau
keperibadiannya khususnya dalam hal
peribadatan, yang menghasilkan Cinta kepada
Alloh dan mengenangNya sentiasa. Inilah
sebagian dari “hal-hal yang baik” yang tersebut di
dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu
ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan)
kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-
orang yang mengikuti jalan yang lurus,
(Hujurat:7)
Lain-lain hal baik dalam dunia ini, seperti nikah,
makanan, pakaian dan sebagainya digunakan oleh
orang-orang yang bijaksana menurut kadarnya
kerena ini semua menolongnya untuk mencapai
ke Alam akhirat. Apa saja yang menarik seluruh
perhatian hati yang menyebabkan tertambat ke
dunia ini dan lupa ke Akihrat, adalah sebenarnya
jahat semata-mata. Ini diibaratkan oleh Nabi SAW
demikian;
“Dunia ini celaka dan semua hal dalam dunia ini
celaka, kecuali Zikir Alloh (mengenang Alloh) dan
apa-apa saja yang membantu (untuk mengingati
Alloh) ”
Firman Alloh SWT dalam Al-Quran :
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah (Zikir). Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah (Zikir) hati menjadi tenteram.(AR RAD:38

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI) IV.MENGENAL ALLOH

Satu Hadis Nabi Muhammad SAW. yang
masyhur ialah;
“Siapa yang mengenal dirinya, mengenal ia akan
TuhanNya”
Ini berarti dengan mematuhi dan memikirkan
tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu bisa
sampai mengenal Alloh. Tetapi oleh karena
banyak juga orang yang memikirkan tentang
dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka
tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi
mengenal ini.
Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai
pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya
sangat sulit dan sukar difahami oleh orang-orang
biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita
terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah
seperti berikut:
Apabila seseorang memikirkan dirinya, dia tahu
bahwa ada suatu ketika ia tidak berwujud, seperti
tersebut dalam Al-Quran:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu
sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)
Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri
setitik air yang tidak ada akal, pendengar,
penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya,
dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun
seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan,
tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri
meeskipun hanya sehelai rambut.
Kemudian pula jika ia setitik air, alangkah
lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat di
bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya
kekuasaan, kebijaksanaan dan kecintaannya
terhadap Alloh terbayang dalam bentuk yang
kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini
berkumpul dan mereka tidak mati, niscaya
mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki
bentuk walau satu bagian dari tubuhnya itu.
Misalnya, dalam penggunaan gigi depan dan gigi
samping untuk menghancurkan makanan,
penggunaan lidah, air liur, tengkuk, kerongkong,
kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki
lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan jari kita.
Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat
daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan
ibu jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula
bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang,
mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas
sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian,
meski hendak menambah atau mengurangkan
jumlah jari itu dan susunannya .
Lihat pula makanan, tempat tinggal kita dan
sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh
Alloh yang maha kaya. Tahulah kita bahwa
rahmat atau Kasih Sayang Alloh itu sama dengan
Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya, seperti firman
Alloh Subhanahuwa Taala.
“RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu”
Dan sabda Nabi SAW:
“Alloh itu sayang kepada hamba-hambanya lebih
dari sayang ibu kepada anaknya”
Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya,
manusia bisa tahu tentang wujud Alloh, dari
keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang
Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Alloh; dan dari
kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu,
nampaklah Cinta Alloh kepada hambaNya.
Dengan cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi
anak kunci kepada pintu untuk mengenal Alloh
Subhanawa Taala.
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat
Alloh. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu
memberi kita sedikit pandangan tentang wujud
Alloh, yaitu Alloh dan ruh itu tidak kelihatan, tidak
bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak
tunduk kepada ruang dan waktu, diluar
kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan
tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau
ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk
satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena
ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan
kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan
betapa susah dan payahnya memberi konsep
tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah,
suka, cinta dan sebagainya.
Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan
khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera.
kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah
konsep indera (tanggapan pancaindera).
Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal
warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi,
maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Alloh itu
bukanlah dengan inderanya.
Alloh itu adalah Pemerintah alam semesta raya
ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu,
kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala
makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah
tubuh dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak
bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak
tunduk kepada tempat tertentu.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak
bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam sesuatu
yang bisa dibagi atau dipecah?
Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah
kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:
” Alloh jadikan manusia menurut rupanya”.
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Alloh hasil dari
bertafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka
sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja
dan pemerintahan Alloh Taala dan bagaimana ia
mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada malaikat-
malaikat, dan lain-lain.
Dengan cara bertafakur tentang bagaimana diri
kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh:
Katakanlah seorang manusia hendak menulis
nama Alloh. Mula-mulanya kehendak atau
keinginan itu terkandung dalam hatinya.
Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka
bentuk perkataan “Alloh” itu terdapat dalam
khayalan atau pikiran otak itu. Selepas itu ia
mengembara melalui saluran urat saraf, lalu
menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan
pena. Maka tertulislah nama “Alloh” atas kertas,
serupa seperti yang ada didalam otak penulis itu.
Begitu juga apabila Alloh Subahanahuwa Taala
hendak menjadikan sesuatu hal, Ia mula-mulanya
nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut
didalam Quran sebagai “Al-’Arasy”. Dari situ ia
turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat
yang di bawahnya yang digelar “Al-Kursi”.
Kemudian bentuknya nampak dalam “Al-Luh Al-
Mahfuz”. Dari situ dengan perantaraaan tenaga-
tenaga “Malaikat” terbentuklah hal itu dan
kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk
tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang,
yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat
dan Ilmu Alloh.
Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis,
yang menggambarkan keinginan dan kemauan
yang terbit dan terkandung dalam hati, dan
bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan
Raja itu sendiri. Alloh telah memberi kita Raja
dalam bentuk yang kecil yang memerintah
kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu salinan
kecil Diri (Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam
kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah
Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya,
Kursi itu otaknya, Luh Mahfuz itu ruang khazanah
khayalan atau pikirannya. Ruh itu tidak bertempat
dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah
tubuhnya sebagaimana Alloh memerintah Alam
Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang
manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan
kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan
lalai mengatur kerajaan itu.
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Alloh
Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat
pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah
ibarat semut yang merangkak atas sekeping
kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam
terbentang di atas kertas itu dan merujukkan
sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas
sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan
yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa
unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang,
tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di
bawah kuasa Malaikat.
Oleh karena berbeda-bedanya derajat pandangan
manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan
hasil atau kesan. Mereka yang tidak memandang
lebih jauh dari fenomena alam nyata ini adalah
ibarat orang yang mengganggap hamba abdi
yang paling rendah itu sebagai raja.
Walau bagaimanapun, adalah salah besar
menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perbedaan ini, maka pertengkaran
akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta
yang hendak mengenal gajah. Seseorang
memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah
itu seperti tiang. Seorang lain memegang
gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu
bulat yang keras. Seorang lagi memegang
telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.
Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian
itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu
alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-
hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum.
Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga
kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam
Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada
bintang, bulan dan matahari untuk disembah.
Lama kelamaan beliau sadar siapa yang
menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa
berkata,
“Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
Kita selalu mendengar orang merujuk kepada
sebab yang kedua bukan kepada sebab yang
pertama dalam hal apa yang digelar sakit.
Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi cenderung
kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi
dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka
dokter mengatakan, “Ini adalah penyakit gundah
gulana, dan ia perlu obat ini A”
Ahli fisika akan berkata “Ini adalah kekeringan otak
yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak
dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab.”
Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah
pengaruh bintang-bintang.
“Hanya itulah kebijaksanaanya mereka” Kata Al-
Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya
apa yang terjadi ialah: Alloh Subahana Wataala
memberi kebajikan orang yang sakit itu dan
dengan itu memerintahkan hamba-hambanya
seperti bintang-bintang atau unsur-unsur,
mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang
itu agar ia berpaling dari dunia ini mengadap
kepada Tuhan yang menjadikannya.
Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah
mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang
berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika
dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat
pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Dokter, Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang
betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing.
Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa
dikatakan sebagai “Tali Cinta” , yang dengan tali itu
Alloh menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini
Alloh ada berfirman yang bermaksud;
“Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku”.
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman
yang dengannya manusia itu bisa mencapai
pengetahuan tentang Alloh sebagaimana firman
Alloh melalui mulut Rasul-rasulNya,
“Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan
kepada orang-orang pilihanKu”.
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah
kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-
kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang
yang beriman yaitu,
“Maha Suci Alloh” (SubhanAlloh)
“Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
“Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
“Alloh Maha Besar” (Allohu Akbar).
Berkenaan dengan “Allohu Akbar” itu bukanlah
bermaksud Alloh itu lebih besar (secara fisik) dari
makhluk, karena makhluk itu adalah
penampakan-Nya sebagaimana cahaya
memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan
matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia
bermaksud yaitu Kebesaran Alloh itu tidak dapat
diukur dan melampaui jangkauan kesadaran, dan
kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak
sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita
untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat
yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti
perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain
bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak
ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-
dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.
Oleh yang demikian, kata-kata “Allohu Akbar” itu
berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa
pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak
sempurna pengenalan kita berkenaan Alloh itu,
bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai
oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia berhubungan
dengan Alloh saja. Jika kita hidup dengan orang
lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat
kemesraan kita terhadap orang itu.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta
kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui
ibadat.
Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu
memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan
mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini
bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu
dihapuskan; karena itu akan menyebabkan
punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah
membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh
karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling
bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas
itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-
pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-
hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi
menentukan batas yang harus diperhatikan dalam
hal ini.
…., Barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Al-
Baqarah; 229).
Walaupun Al-Qur’an telah memberi keterangan
yang nyata, masih ada juga orang yang
melanggar batas karena kejahilan mereka tentang
Alloh dan kejahilan ini adalah karena beberapa
sebab,
Pertama, ada golongan manusia yang terus
mencari Alloh melalui pikiran, lalu mereka
membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak
ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya
atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini
seperti orang yang melihat surat yang tertulis
dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat
itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu
saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan
tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan
mereka. Setengah daripada orang-orang seperti
ini adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah
kita sebutkan di atas tadi.
Kedua, orang karena kejahilan tentang keadaan
sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya
hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu
diadili di sana . Mereka anggap diri mereka itu satu
taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan
dan akan hancur begitu saja.
Ketiga, orang yang percaya dengan Alloh dan
Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman
mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada
diri mereka sendiri,
Pikiran mereka ini seperti orang sakit yang
disuruh makan obat, tetapi ia berkata,
“Apa untung atau ruginya dokter itu jika aku
makan obat atau tidak makan obat?” .
Memang tidak terjadi apa-apa kepada dokter itu
tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit
karena bodohnya. Tubuh yang sakit berakhir
dengan mati. Maka Ruh atau Jiwa yang sakit
berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat
nanti, seperti firman Alloh Taala dalam Al-Qur’an
yang bermaksud :
“Hanya Dan barang siapa kafir maka kekafirannya
itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada
Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan
kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi
hati.” (Luqman-23)
Keempat, ialah mereka yang berkata;
“Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah,
jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik.
Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang
telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan
suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih”.
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil
dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak
menyuruh manusia membuang sama sekali
perasaan itu, tetapi hendaklah dikendalikan supaya
tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya
terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon
keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil.
Sedangkan Rasulullah ada bersabda,
“Saya ini manusia juga seperti kamu, dan marah
juga seperti orang lain”.
Firman Alloh dalam Al-Qur’an:
Dan berapa banyak nabi yang berperang
bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak
menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
(pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai
orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146)
Ini berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan
marah.
Kelima, ialah mereka yang menekankan
Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan
KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri
mereka sendiri,
“Kami buat apa saja karena Alloh itu Maha
Pemurah dan Maha Penyayang”.
Mereka tidak ingat meskipun Alloh itu Pengasih
dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia
mati kelaparan dan karena penyakit. Meraka tahu,
barang siapa hendak hidup atau hendak kaya,
atau hendak belajar, mestilah jangan hanya
berkata, “Alloh itu Kasih Sayang”. tetapi perlulah ia
berusaha sungguh-sungguh. Meskipun ada
firman Alloh dalam Al-Qur’an :
Dan tidak ada suatu mahluk pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan
Dia mengetahui tempat berdiam mahluk itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (Hud:06)
tetapi hendaklah juga ingat Alloh juga berfirman :
Dialah yang menjadikan untukmu malam
(sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan
Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.
(Furqon:47)
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu
adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka
berkata di mulut saja, bukan di hati.
Keenam, pula menganggap mereka telah sampai
ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi
kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak
hormat, anda akan dengar mereka marah dan
bertahun-tahun mencela anda. Dan jika anda
ambil makanan sesuap saja yang patut, seluruh
alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan
mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat
menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak
berhak menganggap dan mengatakan diri mereka
itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad
SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi
darajatnya, sentiasa mengaku salah dan
memohon ampun kepada Alloh. Setengah
daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa
sehingga pada hal- hal yang halal pun mereka
menghidarkan diri .
Diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW.
telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan
memakannya kerena beliau tidak pasti Tamar itu
didapati secara halal atau tidak. Tetapi mereka
menelan arak berbotol-botol banyaknya dan
berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya
gemetar semasa menulis ini) . Pada hal sebutir
Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum
pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya
mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis.
Aulia Alloh yang sebenarnya mengetahui bahwa
orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya
tidak patut dipanggil “orang” dan orang Islam
yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela
hati, tidak mahu melanggar Syariat.
Mereka yang melanggar Syariat adalah
sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka
ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena,
tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-
pura tenggelam dalam lautan keheranan atau
tidak sadar, tetapi jika anda tanya mereka apakah
yang mereka heirankan itu, mereka tidak tahu.
Sepatutnya mereka disuruh menungkan
keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka,
tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Alloh
Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka
dan mereka itu adalah hamba Alloh saja.