Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Rabu, 27 Juli 2011

TERJEMAHAN KITAB KIMYATUSY SYA'ADAH (IMAM AL GHAZALI) IV.MENGENAL ALLOH

Satu Hadis Nabi Muhammad SAW. yang
masyhur ialah;
“Siapa yang mengenal dirinya, mengenal ia akan
TuhanNya”
Ini berarti dengan mematuhi dan memikirkan
tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu bisa
sampai mengenal Alloh. Tetapi oleh karena
banyak juga orang yang memikirkan tentang
dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka
tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi
mengenal ini.
Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai
pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya
sangat sulit dan sukar difahami oleh orang-orang
biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita
terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah
seperti berikut:
Apabila seseorang memikirkan dirinya, dia tahu
bahwa ada suatu ketika ia tidak berwujud, seperti
tersebut dalam Al-Quran:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu
sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)
Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri
setitik air yang tidak ada akal, pendengar,
penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya,
dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun
seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan,
tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri
meeskipun hanya sehelai rambut.
Kemudian pula jika ia setitik air, alangkah
lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat di
bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya
kekuasaan, kebijaksanaan dan kecintaannya
terhadap Alloh terbayang dalam bentuk yang
kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini
berkumpul dan mereka tidak mati, niscaya
mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki
bentuk walau satu bagian dari tubuhnya itu.
Misalnya, dalam penggunaan gigi depan dan gigi
samping untuk menghancurkan makanan,
penggunaan lidah, air liur, tengkuk, kerongkong,
kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki
lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan jari kita.
Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat
daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan
ibu jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula
bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang,
mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas
sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian,
meski hendak menambah atau mengurangkan
jumlah jari itu dan susunannya .
Lihat pula makanan, tempat tinggal kita dan
sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh
Alloh yang maha kaya. Tahulah kita bahwa
rahmat atau Kasih Sayang Alloh itu sama dengan
Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya, seperti firman
Alloh Subhanahuwa Taala.
“RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu”
Dan sabda Nabi SAW:
“Alloh itu sayang kepada hamba-hambanya lebih
dari sayang ibu kepada anaknya”
Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya,
manusia bisa tahu tentang wujud Alloh, dari
keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang
Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Alloh; dan dari
kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu,
nampaklah Cinta Alloh kepada hambaNya.
Dengan cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi
anak kunci kepada pintu untuk mengenal Alloh
Subhanawa Taala.
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat
Alloh. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu
memberi kita sedikit pandangan tentang wujud
Alloh, yaitu Alloh dan ruh itu tidak kelihatan, tidak
bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak
tunduk kepada ruang dan waktu, diluar
kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan
tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau
ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk
satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena
ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan
kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan
betapa susah dan payahnya memberi konsep
tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah,
suka, cinta dan sebagainya.
Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan
khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera.
kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah
konsep indera (tanggapan pancaindera).
Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal
warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi,
maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Alloh itu
bukanlah dengan inderanya.
Alloh itu adalah Pemerintah alam semesta raya
ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu,
kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala
makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah
tubuh dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak
bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak
tunduk kepada tempat tertentu.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak
bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam sesuatu
yang bisa dibagi atau dipecah?
Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah
kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:
” Alloh jadikan manusia menurut rupanya”.
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Alloh hasil dari
bertafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka
sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja
dan pemerintahan Alloh Taala dan bagaimana ia
mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada malaikat-
malaikat, dan lain-lain.
Dengan cara bertafakur tentang bagaimana diri
kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh:
Katakanlah seorang manusia hendak menulis
nama Alloh. Mula-mulanya kehendak atau
keinginan itu terkandung dalam hatinya.
Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka
bentuk perkataan “Alloh” itu terdapat dalam
khayalan atau pikiran otak itu. Selepas itu ia
mengembara melalui saluran urat saraf, lalu
menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan
pena. Maka tertulislah nama “Alloh” atas kertas,
serupa seperti yang ada didalam otak penulis itu.
Begitu juga apabila Alloh Subahanahuwa Taala
hendak menjadikan sesuatu hal, Ia mula-mulanya
nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut
didalam Quran sebagai “Al-’Arasy”. Dari situ ia
turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat
yang di bawahnya yang digelar “Al-Kursi”.
Kemudian bentuknya nampak dalam “Al-Luh Al-
Mahfuz”. Dari situ dengan perantaraaan tenaga-
tenaga “Malaikat” terbentuklah hal itu dan
kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk
tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang,
yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat
dan Ilmu Alloh.
Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis,
yang menggambarkan keinginan dan kemauan
yang terbit dan terkandung dalam hati, dan
bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan
Raja itu sendiri. Alloh telah memberi kita Raja
dalam bentuk yang kecil yang memerintah
kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu salinan
kecil Diri (Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam
kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah
Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya,
Kursi itu otaknya, Luh Mahfuz itu ruang khazanah
khayalan atau pikirannya. Ruh itu tidak bertempat
dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah
tubuhnya sebagaimana Alloh memerintah Alam
Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang
manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan
kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan
lalai mengatur kerajaan itu.
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Alloh
Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat
pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah
ibarat semut yang merangkak atas sekeping
kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam
terbentang di atas kertas itu dan merujukkan
sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas
sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan
yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa
unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang,
tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di
bawah kuasa Malaikat.
Oleh karena berbeda-bedanya derajat pandangan
manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan
hasil atau kesan. Mereka yang tidak memandang
lebih jauh dari fenomena alam nyata ini adalah
ibarat orang yang mengganggap hamba abdi
yang paling rendah itu sebagai raja.
Walau bagaimanapun, adalah salah besar
menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perbedaan ini, maka pertengkaran
akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta
yang hendak mengenal gajah. Seseorang
memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah
itu seperti tiang. Seorang lain memegang
gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu
bulat yang keras. Seorang lagi memegang
telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.
Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian
itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu
alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-
hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum.
Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga
kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam
Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada
bintang, bulan dan matahari untuk disembah.
Lama kelamaan beliau sadar siapa yang
menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa
berkata,
“Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
Kita selalu mendengar orang merujuk kepada
sebab yang kedua bukan kepada sebab yang
pertama dalam hal apa yang digelar sakit.
Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi cenderung
kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi
dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka
dokter mengatakan, “Ini adalah penyakit gundah
gulana, dan ia perlu obat ini A”
Ahli fisika akan berkata “Ini adalah kekeringan otak
yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak
dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab.”
Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah
pengaruh bintang-bintang.
“Hanya itulah kebijaksanaanya mereka” Kata Al-
Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya
apa yang terjadi ialah: Alloh Subahana Wataala
memberi kebajikan orang yang sakit itu dan
dengan itu memerintahkan hamba-hambanya
seperti bintang-bintang atau unsur-unsur,
mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang
itu agar ia berpaling dari dunia ini mengadap
kepada Tuhan yang menjadikannya.
Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah
mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang
berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika
dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat
pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Dokter, Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang
betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing.
Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa
dikatakan sebagai “Tali Cinta” , yang dengan tali itu
Alloh menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini
Alloh ada berfirman yang bermaksud;
“Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku”.
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman
yang dengannya manusia itu bisa mencapai
pengetahuan tentang Alloh sebagaimana firman
Alloh melalui mulut Rasul-rasulNya,
“Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan
kepada orang-orang pilihanKu”.
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah
kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-
kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang
yang beriman yaitu,
“Maha Suci Alloh” (SubhanAlloh)
“Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
“Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
“Alloh Maha Besar” (Allohu Akbar).
Berkenaan dengan “Allohu Akbar” itu bukanlah
bermaksud Alloh itu lebih besar (secara fisik) dari
makhluk, karena makhluk itu adalah
penampakan-Nya sebagaimana cahaya
memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan
matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia
bermaksud yaitu Kebesaran Alloh itu tidak dapat
diukur dan melampaui jangkauan kesadaran, dan
kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak
sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita
untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat
yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti
perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain
bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak
ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-
dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.
Oleh yang demikian, kata-kata “Allohu Akbar” itu
berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa
pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak
sempurna pengenalan kita berkenaan Alloh itu,
bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai
oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia berhubungan
dengan Alloh saja. Jika kita hidup dengan orang
lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat
kemesraan kita terhadap orang itu.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta
kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui
ibadat.
Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu
memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan
mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini
bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu
dihapuskan; karena itu akan menyebabkan
punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah
membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh
karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling
bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas
itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-
pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-
hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi
menentukan batas yang harus diperhatikan dalam
hal ini.
…., Barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Al-
Baqarah; 229).
Walaupun Al-Qur’an telah memberi keterangan
yang nyata, masih ada juga orang yang
melanggar batas karena kejahilan mereka tentang
Alloh dan kejahilan ini adalah karena beberapa
sebab,
Pertama, ada golongan manusia yang terus
mencari Alloh melalui pikiran, lalu mereka
membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak
ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya
atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini
seperti orang yang melihat surat yang tertulis
dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat
itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu
saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan
tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan
mereka. Setengah daripada orang-orang seperti
ini adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah
kita sebutkan di atas tadi.
Kedua, orang karena kejahilan tentang keadaan
sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya
hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu
diadili di sana . Mereka anggap diri mereka itu satu
taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan
dan akan hancur begitu saja.
Ketiga, orang yang percaya dengan Alloh dan
Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman
mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada
diri mereka sendiri,
Pikiran mereka ini seperti orang sakit yang
disuruh makan obat, tetapi ia berkata,
“Apa untung atau ruginya dokter itu jika aku
makan obat atau tidak makan obat?” .
Memang tidak terjadi apa-apa kepada dokter itu
tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit
karena bodohnya. Tubuh yang sakit berakhir
dengan mati. Maka Ruh atau Jiwa yang sakit
berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat
nanti, seperti firman Alloh Taala dalam Al-Qur’an
yang bermaksud :
“Hanya Dan barang siapa kafir maka kekafirannya
itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada
Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan
kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi
hati.” (Luqman-23)
Keempat, ialah mereka yang berkata;
“Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah,
jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik.
Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang
telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan
suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih”.
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil
dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak
menyuruh manusia membuang sama sekali
perasaan itu, tetapi hendaklah dikendalikan supaya
tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya
terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon
keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil.
Sedangkan Rasulullah ada bersabda,
“Saya ini manusia juga seperti kamu, dan marah
juga seperti orang lain”.
Firman Alloh dalam Al-Qur’an:
Dan berapa banyak nabi yang berperang
bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak
menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
(pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai
orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146)
Ini berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan
marah.
Kelima, ialah mereka yang menekankan
Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan
KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri
mereka sendiri,
“Kami buat apa saja karena Alloh itu Maha
Pemurah dan Maha Penyayang”.
Mereka tidak ingat meskipun Alloh itu Pengasih
dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia
mati kelaparan dan karena penyakit. Meraka tahu,
barang siapa hendak hidup atau hendak kaya,
atau hendak belajar, mestilah jangan hanya
berkata, “Alloh itu Kasih Sayang”. tetapi perlulah ia
berusaha sungguh-sungguh. Meskipun ada
firman Alloh dalam Al-Qur’an :
Dan tidak ada suatu mahluk pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan
Dia mengetahui tempat berdiam mahluk itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (Hud:06)
tetapi hendaklah juga ingat Alloh juga berfirman :
Dialah yang menjadikan untukmu malam
(sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan
Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.
(Furqon:47)
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu
adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka
berkata di mulut saja, bukan di hati.
Keenam, pula menganggap mereka telah sampai
ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi
kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak
hormat, anda akan dengar mereka marah dan
bertahun-tahun mencela anda. Dan jika anda
ambil makanan sesuap saja yang patut, seluruh
alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan
mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat
menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak
berhak menganggap dan mengatakan diri mereka
itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad
SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi
darajatnya, sentiasa mengaku salah dan
memohon ampun kepada Alloh. Setengah
daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa
sehingga pada hal- hal yang halal pun mereka
menghidarkan diri .
Diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW.
telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan
memakannya kerena beliau tidak pasti Tamar itu
didapati secara halal atau tidak. Tetapi mereka
menelan arak berbotol-botol banyaknya dan
berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya
gemetar semasa menulis ini) . Pada hal sebutir
Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum
pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya
mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis.
Aulia Alloh yang sebenarnya mengetahui bahwa
orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya
tidak patut dipanggil “orang” dan orang Islam
yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela
hati, tidak mahu melanggar Syariat.
Mereka yang melanggar Syariat adalah
sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka
ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena,
tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-
pura tenggelam dalam lautan keheranan atau
tidak sadar, tetapi jika anda tanya mereka apakah
yang mereka heirankan itu, mereka tidak tahu.
Sepatutnya mereka disuruh menungkan
keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka,
tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Alloh
Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka
dan mereka itu adalah hamba Alloh saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar