Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Rabu, 26 Januari 2011

Ma'rifat : Titik Kulminasi sainsBy Aboe Roehoel

Ma’rifat :


Titik Kulminasi Saint


Makhluk yang namanya manusia “diturunkan” di
muka bumi ini tidak lain untuk mengemban tugas
kekhalifahan yang diberika Allah kepadanya.
Kemampuan manusia menerima tugas, yang
enggan diambil makhluk lainnya adalah satu bukti
kelebihan manusia atas yang lainnya, yakni
memiliki ‘pengetahuan’. Ini baru disadari para
malaikat ketika Allah memerintahkan Adam As
(sebagaima manusia pertama) untuk menyebutkan
nama objek yang ditunjuk oleh Allah kepadanya.

Sebelumnya, para malaikat meragukan kualitas
manusia mengemban tugas kekhalifahan yang
diberiian Allah tersebut. Kelebihan atas
pengetahuan inilah yang menjadikan manusia
menjadi lebih mulia, atas perintah Allah,
bersujudlah para malaikat.
Di dalam dunia tasawuf, pengetahuan sendiri dapat
diperoleh dengan 3 (tiga) alat atau karunia yang
sudah diberikan Allah Swt kepada manusia. 3 (tiga)
alat tersebut adalah; 1. Indera, 2. Akal dan 3. Hati.

Indera merupakan pemberian Allah yang besar
sekali manfaatnya bagi manusia. Dan dalam indera
sendiri terbagi menjadi 5 (lima) kualitas, yang
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
Kualitas indera tersebut adalah 1. Indera penglihat
(mata), 2. Indera pendengar (telinga), 3. Indera
perasa/peraba (kulit/tangan), 4. Indera pencium
(hidung) dan 5. Indra pengecap (lidah). Tetapi, di
dalam hal mencari pengetahuan, manusia tidak
akan berhasil jika hanya mengandalkan indera.
Sering manusia terjebak dengan pengetahuan
yang diterima oleh indera, sebagai suatu
pengetahuan yang bisa dikatakan terpotong.
sebagaimana yang diceritakan oleh al Ghozali, sang
Hujjatul Islam, dalam kitabnya Munqiz minadl
dlolal. Dalam kitabnya tersebut dijelaskan, bahwa
pada tahap awal kita (manusia) akan mengira,
bahwa inderalah satu-satunya alat pengetahuan
yang mampu membawa manusia pada kepastian
(pengetahuan), sebagaimana kita telah begitu yakin
dengan sebuah gelas yang berada di hadapan kita,
bahwa gelas tersebut betul-betul ada. Darimana
keyakinan itu lahir, tentunya dari indera peraba dan
indera penglihat yang ada pada diri kita. Karena
kualitas indera-indera tersebutlah, tidak mungkin
kita meragukan keberadaan gelas tersebut. Tetapi
jika kita bawa kualitas indera-indera tersebut dalam
objek yang lain, semisal bentuk rel kereta yang kita
lihat ketika kita berdiri di tengah-tengah jalan kereta
tersebut, atau objek bintang gemintang yang
secara kasat mata kita lihat di malam hari yang
kelam, bagaimana hasilnya? Disinilah letak
kelemahan indera, dalam hal kepastian
pengetahuan yang didapat masih belum bisa
dikatakan ‘final’
.Yang
kedua adalah akal, dalam salah satu
karyanya, al Ghozali pernah mengungkapkan “akal
lebih berhak disebut cahaya dari pada indera”.
Pernyataan tersebut dalam pengertian beliau adalah
akal patut disebut sebagai cahaya. Alasannya,
ketika indera tidak mampu menakar sejatinya objek
yang terlampau jauh, akal mampu
membuktikannya. Tetapi, lagi-lagi alat pencari
pengetahuan kedua ini pun lemah, dikarenakan akal
begitu tunduk pada subyeknya saja, yakni kita,
manusia. Kondisi seperti ini hanya mengakibatkan
akal harus rela terkurung dalam buih subyektifitas.
Dalam kondisi seperti ini pulalah lahir kebenaran
yang subyektif dan fragmenter. Karena kondisi
semacam inilah sejarah mencatat, betapa banyak
perbedaan yang telah dilahirkan dari pengagung
akal. Pebedaan ini pulalah yang memberikan begitu
banyak warna pada manusia pada format aliran-
aliran pemikiran (isme), yang celakanya lagi,
masing-masing dari aliran tersebut mengklaim
sebagai yang ‘benar’. Entah mereka sebagai teolog,
filsuf, politisi, mahasiswa, ulama dan bahkan kita
sendiri sebagai orang awam, tergelincir dengan
kesubjektifan dari akal.
Dan yang terakhir dari alat pencari pengetahuan
adalah hati. Ketika kita membahas tentang hati,
mungkin konotasi yang berada dibenak kita adalah
kepada hal yang bersifat batiniyah, atau mungkin
hati yang besarnya tidak lebih dari sekepal tangan
kita, yang berada di dada. Tapi kita tegaskan disini,
bahwa hati yang dimaksud dengan alat
pengetahuan disini adalah lebih dari sekadar kondisi
fisik, melainkan pada dataran rasa (dzauq).
Ketika indera mampu mendefinisikan objek, akal
menjabarkannya dengan tehnologi, dan jangan
dikira hati (qolb) tidak mempunyai kualitas-kualitas
yang dimiliki kedua alat pencari pengetahuan
sebelumnya tersebut. Sebagaimana kualitas pada
indera, hatipun memiliknya. Dengan indera hati,
objek-objek serupa yang ditangkap oleh indera,
mampu pula ditangkap oleh hati, bahkan lebih
sempurna kualitasnya. Kualitas hati seperti itu
disebut dengan musyahadah, ketika objek tidak
mampu tertakar oleh indera, dengan kualitas
musyahadah, objek yang tidak mampu ter cover
indera, mampu ditangkap secara sempurna oleh
hati. Sesuatu yang tidak mampu dilihat secara
sempurna oleh indera, mampu dengan mudah
ditangkap oleh hati pula (mukasyafah).
Jika pengagung akal membanggakan metode
diskursifnya, hati menyodorkan metode intuitifnya
(dzauqiyah). Dalam metode diskursif sendiri,
ternyata ditemukan adanya jurang pemisah yang
begitu curam dan lebar antara subjek dan objek.
Menurut Iqbal, akal cenderung meruang-ruangkan
(spatiatisasi) objek-objek fisik, bahkan pada objek-
objek non fisik pun tidak terlepas dari spatiatisasi
akal. Berbeda dengan metode yang digulirkan oleh
hati, yakni metode intuitif, karena sifatnya yang
‘ langsung’, maka pengetahuan yang dihasilkannya
pun menjadi memiliki keintiman dengan objek-
objeknya.
Sering kita mendengar atau mengetahui dari
orang-orang, atau guru-guru sufi yang berbicara
tentang adanya kesatuan dari pengetahuan (unity
of knowledge), yang mengetahui dan yang
diketahui. Bentuk penyatuan ini dijelaskan dalam
suatu ilmu, yang dinamakan ilmu hudluri; dimana
objek-objek pengetahuan dihadirkan secara
langsung dalam kesadaran seseorang. karena
itulah orang tersebut mampu mengidentifikasi
objek-objek pengetahuan secara baik. Melalui
penalaran intuitif atau dzauqiyah inilah pengetahuan
mampu tersingkap dari tabir-tabir yang
menutupinya.
Dengan kekuatan hati (batiniyah) yang dibarengi
dengan mujahadah, sebagai pembuka pintu
hidayah, semua pengetahuan akan tersibak secara
kasat mata (mukasyafah). Dan karena kualitas hati
ini pulalah, realitas-realitas yng sebenarnya
(musyahadah) mampu dibedakan, mana yang
benar-benar dan mana yang ilusif belaka, dan
metode dari hati inilah yang ujungnya dinamakan
‘ Ma’rifat”. Wa Alloohu ‘alam. oleh : Aboe M. Aqeel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar