Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Sabtu, 01 Januari 2011

HARTA TERMAHAL KITA

Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja atas
mereka, apakah kamu beri peringatan atau kamu
tinggalkan. Tetap saja mereka tidak akan beriman.
Allah telah menutup hati dan pandangan mereka.
Dan pada mata mereka terdapat penutup. Dan Bagi
merekalah siksa yang pedih. ”(QS. Al Baqarah: 6-7).
Kata kafir berasal dari fi’il madhi: kafaro, yang artinya
menentang atau mengingkari. Satu hal yang perlu
menjadi perhatian kita adalah kata kafir tidak selalu
indentik dengan kaum nonmuslim. Sebab
adakalanya kata kafir yang memilki pengertian
mengingkari nikmat Allah. Sebagaimana firman-
Nya: ”Jika kalian bersyukur, sungguh akan AKU
tambah (nikmat-KU) atas kalian. Namun jika kalian
mengingkari (kafir/kafartun) terhadap nikmat-KU,
maka sesungguhnya siksa-KU sangatlah
pedih. ” (QS. Ibrahim: 7)
Syekh Ismail Haqqy Al Bursawi dalam kitabnya
Ruuhul Bayaan mengatakan bahwa dalam ayat ini
artinya menentang sifat Allah. Atau dalam
pengertian lain, kafir dalam ayat ini mengacu kepada
mereka yang berada di luar garis Islam
(nonmuslim).
Ayat di atas secara samar menginformasikan
kepada kita bahwa Rasulullah SAW adalah seorang
Rasul yang welas asih kepada seluruh umat. Di
antara sesuatu yang menjadi pokok pemikiran beliau
adalah bagaimana menyelamatkan seluruh umat
manusia dari siksa neraka yang dahsyat. Karena
itulah, hari-hari beliau senantiasa tidak pernah
kosong dari upaya mengajak kepada umat manusia
agar kembali ke jalan Islam. Allah menggambarkan
kepribadian beliau yang luhur ini dalam firman-
Nya: ”Benar-benar telah datang kepada kalian
seorang utusan dari kalangan kalian. Berat sekali
baginya apa-apa yang menimpa kalian. Ia ingin
sekali kalian mendapatkan keselamatan. Dan
terhadap kaum mukmin ia sangat mengasihi dan
menyayangi. ” (QS. At-Taubah: 128).
Sudah tentu, Rasulullah SAW sangat sedih dan
prihatin jika panggilan tersebut tidak mendapatkan
sambutan yang semestinya, atau bahkan ditolak.
Apalagi jika yang menolak itu adalah keluarga beliau
sendiri. Seperti Abu Lahab. Atau bahkan Abu Thalib,
paman beliau yang selama ini menjadi pengasuh
beliau dan melindungi beliau dari kekejaman kaum
kafir Quraisy.
Karena itulah, Allah SWT dalam ayat di atas
memberitahukan bahwa perkara iman atau kafir
adalah urusan Allah. Dalam sebuah hadits shahih,
Rasulullah SAW besabda :
”Sesungguhnya kalian dikumpulkan bahanya di
dalam perut ibunya selam empat puluh hari dalam
bentuk mani. Kemudian setelah itu menjadi alaqoh
(darah kental) selama itu pula. Demikian juga selama
itu pula kemudian menjadi mudghoh (daging).
Kemudian dikirimkan kepadanya malaikat yang
meniupkan ruhnya dan diperintahkan untuk menulis
empat hal. Rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka
atau bahagia. Demi Allah, sesungguhnya seorang
beramal dengan amalan ahli surga sehingga diantara
dia dan surga hanya sejarak sehasta. Namun karena
Al kitab telah mendahuluinya, maka kemudian ia
melakukan pekerjaan ahli neraka hingga akhirnya
kemudian ia memasukinya. Demi Allah,
sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan
ahli neraka sehingga antara dia dan neraka hanya
berjarak sehasta. Namun karena Al kitab
mendahuluinya, maka ia kemudian melakukan
pekerjaan ahli surga hingga akhirnya kemudian
melakukan pekerjaan ahli surga hingga akhirnya
kemudian memasukinya. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena itu tugas sebenarnya seorang Rasul tiada lain
hanyalah menyampaikan. Sebagaimana firman
Allah: ”…Dan jika mereka berpaling, maka tiada lain
kewajibanmu kecuali hanya menyampaikan…” (QS.
Ali Imran: 20).
Sedangkan masalah seseorang itu menjadi mukmin
atau kafir, semuanya adalah Allah yang
menentukan.
Inilah yang seharusnya menjadi spirit para juru
dakwah dimanapun berada. Bahwa setiap da ’i
haruslah ada rasa kasih-sayang kepada umat.
Bahwa setiap da ’i harus memusatkan perhatianya
untuk mengajak umat kejalan Allah. Bahwa setiap da
‘ i haruslah tiada bosan-bosan untuk berdakwah.
Namun semua aktivitas tersebut haruslah dengan
niat karena atas menaati perintah Allah semata
(Lillah). Sedangkan diterima atau ditolaknya dakwah
yang dilakukan oleh seorang da ’i, itu menjadi urusan
Allah atau Billah. Iman dan kafir bukan da’i yang
menentukan. Bahkan seorang Nabi dan Rasul pun
tidak mampu membuat seseorang menjadi
mukmin. Sekali lagi, semua hal yang berkaitan
dengan iman dan kafir semata-mata adalah
wewenang dan hidayah Allah Ta ’ala.
Satu hal lagi yang menarik dari ayat ini adalah
bahwa iman kita ini benar-benar menunjukan kasih-
sayang Allah kepada kita. Hal ini seharusnya
membuat kita semakin banyak merunduk kepada
Allah. Semakin cinta kepada Allah. Semaikn
menyadari bahwa kita ini mendapat fasilitas yang
istemewa dari Allah. Bukankah Abu Thalib, paman
sekaligus besan Rasulullah SAW, ayah dari Khalifah
Ali KW sekaligus kakek dari Hasan dan Husein serta
leluhur dari para Habaib dan Syarif tiada
mendapatkan anugerah iman sebagaimana kita?
Bukankah Kan ’an, putera dari Nabi Nuh AS, salah
seorang Ulul Azmi tiada mendapatkan keimanan
sebagaimana kita? Bukankah Azar, ayahanda Nabi
Ibrahim AS tiada mendapatkan iman sebagaimana
kita? Karena itulah, seharusnya sehari-hari kita selalu
dipenuhi oleh rasa syukur terhadap nikmat iman ini.
Hingga akibat rasa syukur ini, kesedihan kita
terhadap berbagai problem materi kita menjadi
tertutupi. Bahkan kemudian dihilangkan oleh Allah
Ta ’ala.
Ayat ini seharusnya membuat kita semakin cemas
kepada keputusan Allah. Sebab kita tidak tahu,
adakah iman kita masih akan tetap menyertai kita
saat kita meninggal nanti? Bukankah banyak orang
yang tidak mendapatkan keabadian iman? Qarun,
yang sebelumnya ahli Taurat, mengakhiri hidupnya
dengan kekafiran. Barshisho, seorang wali penuh
karomah mengakhiri hidupnya dengan kekafiran.
Bal ’aam, seorang wali dan ulama juga mengakhiri
hidupnya dengan kekafiran. Siapa yang menjamin
keimanan kita akan tetap menyertai kematian kita?
Allah SWT memperingatkan hal ini dalam firman-
Nya: “Adakah mereka merasa aman dari makar/
jebakan/ azab Allah? Maka tidaklah merasa aman
dari jebakan Allah kecuali orang-orang yang
merugi. ” (QS. Al A’raf: 99).
Inilah sikap hati kita sebagai seorang mukmin. Selalu
merendah. Selalu cemas. Selalu takut kepada Allah.
Wallahu a ’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar