Lillah Billah Lirrosul Birrosul Lilghouts bil ghouts.

Jumat, 24 Desember 2010

ASING

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW pernah
bersabda: ”Kemunculan Islam (pertama kali)
dianggap oleh orang-orang waktu itu sebagai
sesuatu yang asing. Dan, suatu saat nanti, Islam
akan kembali dianggap asing sebagaimana awal
kemunculanya. Maka alangkah untungnya orang-
orang yang di-cap asing itu. ” (Al Hadits)
Di zaman sekarang, menjadi orang yang ingin
meneladani Rasul dan salafus shalih kadang sama
artinya menjadi orang asing. Apalagi bila teladan itu
berupa perbuatan yang jarang dilakukan orang
kebanyakan. Terlebih lagi bila orang-orang yang
meneladani sunah Rasul itu ’dipandang’ sebagai
komunitas kecil dalam masyarakat. Mereka marjinal
secara profesi dan kumal secara status sosial.
Pengajian, dzikir, mujahadah, mendengarkan fatwa
seorang ulama hingga menangis tersedu-sedu,
dianggap asing. Asing, sebab orang-orang sekarang
jarang melakukanya. Asing, karena menyesali dosa
hingga menangis tidaklah umum. Hari-hari bagi
orang sekarang adalah waktu untuk tertawa,
bersenang-senang, bercanda ria, bersuka cita.
Katanya, hidup hanya sekali, kenapa dibuat sedih.
Hingga akhirnya, seluruh umur mereka habis untuk
bersenang-senang. Barulah kalau mereka tertimpa
musibah, tangis mereka pun mulai terdengar.
Padahal dalam beberapa haditsnya Rasulullah SAW
pernah mengecam: ”Barangsiapa berbuat dosa ia
masih sempat tertawa, maka ia kelak masuk neraka
dengan menangis. ” (HR. Abu Nu’aem dari Ibnu
Abbas RA).Dalam hadist lainya beliau bersabda:”Dua
jenis mata yang tidak akan menyentuh api neraka.
Pertama; mata yang menangis karena takut kepada
Allah. Kedua; mata yang semalaman tidak tidur
dalam sabilillah. ” (HR. Thabrani dari Anas bin Malik)
Di masa lalu, kita punya Umar bin Abdul Aziz,
seorang penguasa yang selalu menangisi dosa-
dosanya. Begitu juga dengan salafus salih yang lain.
Tetapi di masa kini, untuk melakoni ibadah seperti itu
sedemikian asing. Kalaupun pernah kita lakukan,
jangka waktu terhentinya mungkin demikian lama.
Hingga makna dan pengaruhnya tidak begitu besar.
Saat ini, betapa dunia yang kita huni terasa asing.
Asing, kala suatu hari kita pernah melihat orang-
orang melakukan amal shaleh. Asing, karena suatu
saat kita pernah mendapati sesama muslim
bersaudara. Asing, ketika di suatu tempat kita
menemukan seorang ulama tengah berjuang
menghidupkan kembali sunah Rasul. Asing, kala
suatu waktu kita melihat sekelompok orang tengah
berdzikir dengan menyebut-nyebut Raslulullah
SAW.
Lalu, apakah memang kebaikan itu disediakan untuk
orang-orang yang asing? Asing dari hiruk-pikuk
dunia yang panas. Dan kelupaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Disini, kita mungkin bisa merenungi kekuatan tekad
yang tersembul dibalik pernyataan Rasulullah SAW
” Kalau saja seluruh manusia menempuh jalan yang
nyaman, sementara kaum Anshar menempuh
lembah yang berduri-duri, aku akan memilih jalanya
orang-orang Anshar. ”
Ini ungkapan keimanan, sekaligus pernyataan
tentang kesiapan menghadapi keterasingan.
Terasing bila hidup hanya harus dengan orang-
orang Anshar itu. Maka Rasulullah pun tak kuasa
menahan tangis. Pipi dan janggut beliau basah oleh
air mata. Akhirnya, orang-orang Anshar itupun
turut menangis sesenggukan.
Jalan orang-orang Anshar itulah jalan ”Orang-orang
asing”. Tidak banyak yang mau melewati lembah
belukar yang memang dipenuhi onak dan duri.
Tetapi sekali lagi, itulah pilihan hidup Rasulullah dan
para sahabatnya. Pilihan untuk tetap berada dalam
jalur kebaikan, meskipun dianggap asing.
Bagian dari hidup dalam kebaikan adalah adanya
rasa terasing. Apalagi di tengah alunan badai
kemaksiatan yang banyak orang terlena dan hanyut.
Terasing, sebab tidak banyak yang mau berjalan
sealur. Malah mungkin kita dikucilkan. Hingga tak
jarang, banyak yang kemudian mundur teratur.
Mereka lebih memilih membunuh keterasingan itu.
Padahal keterasingan adalah pilihan hidup orang-
orang shaleh.
Bagi yang melihat dari luar, jalan ini memang
menyesakkan, menakutkan, serba tidak boleh.
Mungkin ia memang terasing. Tetapi mereka yang
merasakan ketentraman di jalan ini, tidak mau
dibelokkan ke jalan lain. Seperti dalam fragmen kisah
para sahabat Anshar di atas. Walau dibeli dengan
seluruh dunia. Karena diatas jalan inilah, orang-
orang asing itu bisa menghirup nafas sepuasnya.
Tanpa takut kepada siapapun, kecuali kepada
pemberi nafas, Allah SWT.
Kesiapan kita untuk menanggung hidup dalam
keterasingan sangat tergantung seberapa kuat kita
menempa diri dan mengasingkan diri dari nafsu
duniawi yang memperdayai kita. Tugas yang berat
ini, memang harus ditopang dengan aktifitas ibadah,
riyadhah dan mujahadah. Agar jiwa terkontrol,
langkah tidak terpeleset dan pandangan tidak cepat
silau. Saat itu pula kita dapat mengintropeksi diri. Kita
bisa menangisi dosa. Kita bisa merendahkan jiwa.
Orang-orang yang terasing itu, mereka ibarat
sedang mendaki ke atas gunung yang tinggi.
Semakin keatas, semakin sunyi dan sepi. Tetapi
udara semakin bersih dan sejuk. Di sini ada kekuatan
dahsyat di balik keterasingan itu. wallahu a ’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar